Thursday, May 8, 2008

KABAR DARI LA JOLLA, CALIFORNIA (4)

KAFadl Bersama Prof. Khaled Abou El Fadl di UCSD

1. Senin, 6 Mei 2008, jam 19.00: Ballroom gedung Price Center di jantung kampus UCSD, malam ini cukup ramai. Tak seperti biasanya di musim mid term seperti ini, ceramah untuk memperingati alm. Eugene Burke (Burke Lecture) kali ini banyak dihadiri pengunjung sehingga kelihatan meriah. Burke Lecture, adalah acara yang digelar khusus untuk menghadirkan para pembicara kondang dalam bidang kemasyarakatan dan keagamaan di UCSD dan didukung sepenuhnya oleh Yayasan Eugene Burke C.S.P Lectureship. Ini adalah yayasan yang didirikan untuk mengenang perjuangan Pastor Burke yang sangat gigih memperjuangkan pendekatan dialogis dalam hubungan antar-umat beragama ketika beliau masih mengajar di UCSD. Sebagai seorang Pastor Katolik dari Ordo Paulis, Eugene M. Burke menjadi teolog, pendidik, ilmuan, dan sejarawan Gereja yang hampir sepanjang hidupnya mengabdikan diri di sebuah lembaga pendidikan "sekular" Universitas California, San Diego. Beliau wafat pada 29 Januari 1984 dan atas jasa-jasa beliau yang dianggap luar biasa dalam bidang pengembangan dialog peradaban dan agama-agama, pihak Universitas merasa perlu membuat sebuah Yayasan yang salah satu kiprahnya adalah Burke Lecture itu. Semenjak didirikan sampai sekarang tak kurang dari limapuluhan pakar, ilmuan, pemimpin agama, budayawan dengan reputasi nasional dan internasional telah memberikan pidato dan ceramahnya di sini. Nama-nama seperti Robert N Bellah, Elie Wiesel, James H. Cone, Seyyed Hossein Nasr, Abdul Raheem Yaseer, Marcus Borg, Michael Lerner, Joseph Cardinal Berbardin, untuk menyebut beberapa nama besar, telah diundang dan berbicara di forum ini. Malam ini, Prof. Khaled Abou El Fadl dari UCLA mendapat giliran menjadi undangan terhormat untuk berbicara dengan topik Hukum Islam dan Tantangan dari Islamofobia (Islamic Law and the Challenge of Islamophobia).

Prof Abou El Fadl jelas sangat tepat untuk memberikan ceramah di forum prestisius ini. Bukan saja karirnya dalam dunia akademis sangat cemerlang, sebagai Mahaguru Hukum di UCLA (The Omar and Azmeralda Alfi Professor of Law), beliau juga seorang pemikir tentang Islam terkemuka di AS di samping pekerja pembela HAM yang disegani dan dihormati. Sebagai Mahaguru, Prof Abou El Fadl mengajar Hukum Islam, Hukum Keamanan Nasional, Hukum dan Terorisme, HAM, dll. Sebelum di UCLA, beliau pernah menjadi pengajar di bebarapa Universitas top di AS seperti University of Texas at Austin, Yale University, dan Princeton University. Dalam kiprah akademis yang panjang dan cemerlang itu, beliau membuktikan diri sebagai penulis yang prolifik sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai buku yang dipublikasikan dan mendapat sambutan luas baik dari para ilmuan maupun publik. Buku-buku beliau telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia dan Malaysia karena relevansi dan cakupannya yang luas khususnya mengenai Islam dan masalah-masalah HAM. Buku-buku yang termasuk laris adalah, misalnya, The Search of the Beauty in Islam: A Conference of the Books (2006); The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremism (2005); Islam and the Challenge of Democracy (2004); The Place of Tolerance in Islam (2002); And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses (2001); Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority, and Women (2001); dan Rebellion and Violence in Islamic Law (2001). Sebagai aktivis pembela HAM, beliau pernah diangkat oleh Presiden George W. Bush sebagai anggota komisi untuk kebebasan beragama internasional(Commission on International Religious Freedom) AS, anggota Dewan Direktur the Human Rights Watch, dan anggota dewan penasehat pada the Middle East Watch. Selain sederet kiprah alademis dan advokasi, Prof. Abou El Fadl juga langganan sebagai narasumber di media elektonik dan cetak seperti Radio NPR, TV PBS, CNN, dan NBC, serta koran-koran mainsteram semacam The New York Times dan the Washington Post.

Bagi saya, yang sangat memikat dari Prof El Fadl adalah kesamaan pemikirannya dengan para pemikir progressif Islam yang berakar dari kaum tradisional atau yang dalam istilah beliau, Islam klasik. Menyimak dan mendengarkan pemikiran beliau serasa mendengarkan dan menyimak kembali pemikiran tokoh semacam Gus Dur semasa beliau masih malang melintang di dunia pemikiran dan advokasi, sekitar akhir tujuh puluhan sampai akhir sembilanpuluhan. Professor kelahiran Kuwait dan lulus dari Yale University (BA), University of Pennsylvania (JD-Law), dan Princeton University (MA dan Ph.D) ini tidak menyembunyikan sikapnya yang menolak ekstremisme dan kritis terhadap paham Fundamentalisme agama, termasuk Fundamentalisme Islam. Pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Oslo dan Ilmuan Yayasan Carnegie (Carnegie Scholar) dalam bidang Keislaman ini menolak pengaruh pemikiran dan kiprah kelompok Wahabi yang dianggapnya telah melakukan "pencurian" terhadap khazanah keislaman yang sebenarnya sangat toleran dan menjunjung inggi pluralisme dan hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak perempuan. Pemikiran Islam dari Prof El Fadl senantiasa berpangkal pada landasan khazanah pemikiran klasik sebagaimana tradisi kaum ulama NU di Indonesia, yang kemudian dibawa dan dikaitkan dengan tantangan dunia modern di negara seperti AS dan Eropa. Sama dengan pandangan inti dari kalangan NU, landasan utama ajaran Islam adalah pada tataran etik dan moralitas. Berangkat dari landasan inilah beliau mampu mengksplorasi berbagai relevansi Islam dan ajarannya, termasuk hukum Islam (Syariah dan fiqh), dalam konteks modern secara gamblang dan kritis. Penolakannya terhadap paradigma Wahabisme dan aliran-aliran puritan semacamnya memungkinkan  Prof. El Fadl mengeksplorasi mutiara keislaman dalam bentuk seni dan keindahan, selain universalitas norma-norma dan nilai-nilai ajarannya sehingga Islam muncul sebagai salah satu bagian kekayaan dunia yang harus diketahui dan diperankan dalam kehidupan manusia modern. Paradigma Wahabisme dan puritanisme Islam telah membuat wacana dan praksis Islam di dunia internasional penuh dengan stereotype dan syak wasangka negatif, berikut kekerasan dan sikap anti hak-hak asasi manusia. Mungkin karena pengalaman pendidikan yang merupakan gabungan antara pendidikan Islam klasik selama di Timur Tengah dan pendidikan "sekular" di AS dari beliau yang membuat saya merasa memiliki afinitas karena ada semacam kesinambungan intelektual dan pemikiran. Mendengarkan ceramah beliau malam itu, rasanya saya kembali mengikuti kelas filsafat dan teori politik di Universitas Hawaii, dimana para Profesor saya Manfred Henningsen, Henri Kariel, Michael Shapiro, Robert Stauffer, Kathy Ferguson, Farideh Farhi dll. mengupas tuntas epistemologi modern dan paska modern yang dijukatposisikan dengan pandangan-pandangan agama dan ideologi.

2. Sebetulnya, Prof. El Fadl memberikan dua kali ceramah. Esok, Selasa tgl 6 Mei, beliau akan memberi kuliah umum di IICAS-UCSD, dengan topik "What Has Become of Islamic Law: Some Selected Reflections" (Apa yang Sedang Terjadi dengan Hukum Islam: Beberapa Refleksi Pilihan). Kendati hampir sama, tetapi untuk ceramah Burke Lecture, saya melihat paparan yang diberikan cenderung lebih umum dan ditujukan kepada publik yang bukan para scholar atau mahasiswa semata-mata. Oleh karenanya, beliau menekankan kepada wacana tentang Islamophobia (fobia terhadap Islam) yang dewasa ini dianggap mendominasi publik Amerika dan Eropa terutama paska serangan teroris 11 September 2001. Islamophobia disebarluaskan oleh kaum neo-conservatif dan anti Islam dengan misalnya membuat gerakan "kesadaran terhadap Islamo Fasisme" (Islamofacism awareness week) serta kampanye distortif terhadap Islam melalui media massa dan kaum intelektual. Menurut beliau, Islamophobia bukan saja sikap  "takut" (dalam pengertian psikologis) terhadap Islam dan umat Islam sehingga berujung pada kebencian sikap anti terhadap mereka, tetapi juga pandangan terhadap Islam sebagai sesuat yang "asing","eksotik" dan "berbeda." Salah satu metode menyebarkan fobia terhadap Islam adalah melalui upaya manipulatif terhadap apa yang disebut sebagai "hukum Islam" atau "Syari'ah" sebagai sesuatu yang "lain", "asing," dan "eksotik" yang dianggap sebagai sumber utama perilaku dan visi anti Barat, termasuk para teroris Al Qaeda dan/ atau para penentang pendudukan AS di Iraq. Prof El Fadl memberi contoh bagaimana interograsi dan penyiksaan para tawanan di Abu Ghraib dan Guantanamo dilakukan dalam suatu kerangka bahwa apa yang dilakukan oleh para pemeriksa adalah berdasarkan pemahaman mereka mengenai Islam dan "hukum Islam." Penyiksaan seperti menelanjangi para tawanan dan menutup kepala mereka dengan pakaian dalam perempuan, dianggap sebagai cara efektif untuk menjatuhkan rasa harga diri (dignity) para tawanan sesuai dengan apa yang disebut kultur Islam. Tentara AS dan para interogator menganggap bahwa cara penyiksaan dan degradasi itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum seprti Konvensi Jenewa, karena mereka telah mengikuti aturan yang berlaku dalam Islam!. Tak pelak lagi, konstruksi dan pandangan tentang apa yang disebut kultur dan hukum Islam tersebut sangat distortif dan jauh sekali dari suatu khazanah dan peradaban Islam.

Prof El Fadl selanjutnya menjelaskan kepada hadirin tentang sejarah perkembangan Syariah dalam konteks kolonialisme dan paska kolonial. Syariah pada awalnya merupakan suatu hasil dari proses panjang pemikiran klasik dan menyangkut mulai dari hal yang paling sederhana sampai pada masalah yang rumit  yang berdasarkan pada prinsip moral dan etik "mengajak kepada kebenaran dan menjauhi kerusakan" (amar ma'ruf nahi munkar). Syariah dan rumusan hukum yang dibuat para ahli hukum (fuqaha) tidak selalu sama dengan hukum negara atau penguasa, kendati pun pihak yang belakangan itu meminta pendapat dan masukan dari pihak pertama. Selalu ada jarak antara pendapat fuqaha dengan penguasa, dan tradisi ulama fiqih klasik selalu tidak mau mengaitkan antara rumusan hukum dengan politik. Perubahan terjadi ketika sistem politik menjadi semakin despotik di dunia Islam sehingga tradisi klasik tersebut tenggelam dan para fuqaha terkooptasi dalam sistem politik dan kekuasaan. Tradisi untuk memberikan peluang kepada perbedaan pendapat antar madzhab pun tergusur, sehingga apa yang disebut hukum Islam pun sejatinya merupakan rumusan hukum dari penguasa yang sarat dengan kepentingan politik. Pada masa kolonial, hukum Islam dianggap oleh penjajah sebagai hukum yang serba tidak tegas dan tak pasti (undeterministic)  dan, karenanya, tidak menguntungkan para penguasa kolonial. Oleh sebab itulah dilakukanlah transformasi terhadap hukum Islam di wilayah-wilayah Islam sesuai dengan kepentingan politik-ekonomi kolonial. Dampaknya antara lain adalah semakin kakunya formulasi hukum Islam di tangan penguasa karena semakin kecilnya ruang gerak para fuqaha yang tidak mau terlibat dalam politik. Pad masa paska kolonial, hampir seluruh wilayah yang dahulu pernah menggunakan hukum Islam telah mengalami transformasi tersebut dan lebih dekat dengan paradigma hukum kolonial. Apalagi ketika muncul paradigma puritan seperti Wahabisme berkembang, semakin tampak rigiditas "hukum Islam" karena landasan pemikiran yang berbeda dengan Islam klasik. Formalisme dalam paradigma Wahabi sangat sesuai dengan sistem politik-ekonomi kapitalistik yang menekankan pada pemilikan pribadi dan pasar terbuka serta, secara politik, sangat anti komunisme.

Oleh karenanya, wacana Islamophobia menampakkan diri dalam berbagai tampilan yang kadang saling bertentangan. Di antara para tokoh neocon, seperti Daniel Pipes, umpamanya, mereka justru menganggap tokoh-tokoh Islam moderat seperti Prof El Fadl jauh lebih berbahaya dari kaum radikal fundamentalis. Sebab pihak moderat ini ternyata telah menjungkirbalikkan apa yang selama ini dianggap sebagai representasi Islam: anti demokrasi, HAM, persamaan derajat kaum perempuan, Yahudi, dsb. Kaum Islam moderat justru menjadi lawan dari neocon karena dianggap membuyarkan gagasan dan praksis anti Islam melalui upaya-upaya advokasi HAM, demokratisasi, anti penguasa otoriter, dsb. Hukum Islam yang emansipatoris, menurut Prof El Fadl harus dikembalikan kepada aslinya yaitu kembali kepada landsaan moral dan etik yang dipakai oleh para fuqaha klasik, bukan sebagaimana yang dewasa ini dikembangkan oleh apa yang disebut sebagai kaum Reformis Muslim. Yang disebut belakangan ini, ternyata lebih merupakan sebuah rekasi terhadap aksi dari luar, sehingga hasilnya sering merupakan sekedar penolakan terhadap Barat dan gagal melakukan konvergensi dan asimilasi pengaruh luar sebagaimana pernah dilakukan oleh para ulama klasik. Dengan demikian, maka upaya rekonstrksi hukum Islam juga harus mampu berhadapan denga trend modern tanpa selalu memposisikan diri sebagai lawan.

3. Selasa, 7 Mei 2008: Siang ini Prof Abou El Fadl memberikan ceramah di gedung Social Science dan yang menjadi tuan rumah adalah IICAS-UCSD.Walaupun hadirin yang muncul hari ini jauh lebih kecil, sesuai dengan jumlah undangan yang dikirim karena dilaksanakan dengan acara makan siang, tetapi menurut pandangan saya mereka semua adalah para akademisi. Kesan saya, Prof El Fadl lebih santai dan lancar dala memberikan ceramahnya ketimbang pada malam sebelumnya. Pada sessi tanya jawab pun, beliau lebih panjang dalam memberikan penjelasan (dan sering diseling celetukan humor segar) sehingga seminar yang sedianya dua jam menjadi molor sampai jam 14.30, itupun ditambah dengan obrolan santai setelahnya bagi mereka yang masih ingin bicara dengan beliau. Sejak awal pembicaraan, Prof El Fadl mengatakan bahwa ceramah siang ini masih nyambung dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya, kendati kali ini beliau akan menyoroti lebih dalam dimensi epistemologis hukum Islam. Menurutnya, sumber Syariah Islam yang paling pokok adalah Qur'an dan Sunnah/Hadits Nabi s.a.w yang keduanya membuka peluang luas kepada interpretasi. Pada masa awal abad Hijriah, interpretasi para Sahabat Nabi sangat berperan penting terhadap proses pembentukan hukum dan sudah semenjak itu pula muncul aliran pemikiran atau mazahib (plural dari mazhab) yang berbeda. Hal itu sangat logis karena ada dua faktor yang menjadi sebab: 1). Sifat dari text kedua sumber yang memang memungkinkan munculnya varian-varian interpretasi, dan 2). Pengaruh praktik dan Jurisprudensi yang terkait dengan tempat atau lokasi. Pengaruh tempat ini sangat penting dalam perkembangan hukum Islam dan mazahib karena pada waktu Nabi masih hiduppun telah muncul dua macam surah-surah dalam Qur'an, surah-surah Makkiah (yang diturunkan di Makka), dan Madaniyyah (yang diturunkan di Madinah). Begitupun dengan Sunnah, yaitu perkataan, perbuatan, dan sikap Nabi s.a.w memiliki kaitan dengan konteks tempat baik di masa Makkah dan masa Madinah. Karena itu, menjadi penting pemahaman terhadap asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu) dan asbabul wurud (sebab-sebab historis suatu ayat atau hadits) dalam metodologi penafsiran Qura'an dan Sunnah.

Implikasi dari adanya keterbukaan interpretasi tersebut antara lain adalah adanya pengaruh regional terhadap interpretasi (tafsir). Praktik-praktik dan kebiasaan lokal masyarakat Islam yang berbeda berpengaruh pada penafsiran dan pengambilan rumusan hukum, sehingga muncullah Sekolah atau Mazhab seperti Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Mesir, Damaskus, Yaman, dsb. Disamping praktik dan tradisi lokal, juga terjadi kontak dengan pemikiran-pemikiran dari luar seperti pemikiran-pemikiran Kristen, Yunani, Yahudi, dan bahkan Persia. Jelaslah menurut beliau, adanya mazahib dalam hukum Islam merupakan suatu konsekuensi logis dari perkembangan sivilisasi atau peradaban Islam yang juga berdampak pada perkembangan hukumnya. Semenjak awal pertumbuhannya, fiqh sudah bersentuhan dengan realitas yang kompleks dan pemikiran-pemikiran dari luar Islam dan Arab, apalagi dalam perkembangan mutakhir setelah munculnya kekhalifahan dan modernitas sampai saat ini. Bagi Prof El Fadl, keragaman ini kemudian hanya mungkin diikat oleh adanya suatu landasan kuat yang dipakai seluruh fuqaha sebagai landasan epistemologis dan etis dari fiqh, yaitu prinsip-prinsip "amar ma'ruf nahi munkar" (menyeru kepada kebajikan dan menolak kerusakan), serta "mashalih al ammah" (kebaikan dan kesejahteraan untuk ummat manusia). Dua prinsip inilah yang selalu mendasari seluruh pengambilan hukum Islam kendatipun sumbernya dari berbagai mazahib.

Selanjutnya, beliau memberikan uraian mengenai problematika bagi legitimasi hukum Islam (fiqh) sebagai pengejawantahan dari Syari'ah. Menurut pandangan Prof El Fadl, harus dibedakan antara Syari'at Islam dengan Fiqh. Jika yang pertama adalah konstruksi simbolik dari suatu kesempurnaan yang suci (Allah) sehingga tidak mungkin dicapai oleh manusia, maka yang kedua adalah rumusan-rumusn hukum buatan manusia melalui proses-proses dan metodologi tertentu. Jika Syari'ah adalah sempurna, maka Fiqh tidak mungkin sempurna. Hukum Islam, termasuk yang diadopsi dan dilaksanankan oleh Negara, BUKANLAH Syariah Islam, tetapi hanya hukum negara biasa saja sehingga tidak memiliki status suci seperti Syari'ah. Konsekuensinya, istilah "hukum agama" (religious laws) sebetulnya adalah kontradiktif dalam dirinya sendiri. Sebab, hukum yang masih tergantung kepada agensi subjektif , baik dari negara ataupun para ulama, untuk artikulasi dan penerapannya, jelas bukan hukum Tuhan. Kalau tidak demikian, mka kita harus menyatakan bahwa kegagalan negara dalam penerapan hukum adalah sama dan sebangun dengan kegagalan hukum Tuhan dan, ujung-ujungnya, Tuhan sendiri, suatu proposisi yang pasti akan ditolak oleh ajaran islam!

4. Penjelasan dan nuraian El Fadl, bagi saya sangat menarik dipikirkan dan relevan dengan situasi di Indonesia dimana debat mengenai penerapan Syari'at Islam yang didukung oleh sementara kelompok gerakan Islam radkal dan parpol Islam di satu pihak dan kelompok sekular dan Islam moderat di pihak lain sedang marak kembali. Jika mengikuti pandangan beliau, maka penerapan Syari'at Islam, sejatinya adalah misnomer karena yang benar adalah penerapan hukum Islam atau fiqh. Jika berbagai aturan hukum nasional yang juga paralel dengan fiqih, apalagi jika prinsip keduanya adalah mirip yaitu beutujuan menciptakan kesejahteraan dan kebaikan umu (public welfare and public good), maka soal label menjadi relatif kurang penting. Apalagi jika memang sejarah fiqh sendiri sejak lahirnya selalu dipengaruhi dan mempengaruhi praktik dan tradisi lokal. Apa yang menjadi salah satu diktum dalam ilmu usul fiqh bahwa "adat kebiasaan setempat bisa menjadi hukum" (al aadat al muhkamat), harusnya mejadi landasan metodologis yang penting di negeri kita sehingga formalisme yang berkedok syariatisasi hukum tidak menjadi-jadi yang hanya berdampak pada potensi merebaknya perselisihan dalam komuntitas Muslim dan masyarakat secara keseluruhan. Menurut pemahaman saya, dengan merefleksikan pemikiran El Fadl, hukum negara/ nasional di negeri kita tidak mungkin punya status epistemologis sebagai Syari'ah kendatipun seandainya ia mengadopsi Fiqh. Sebaliknya, hukum nasional pasti bisa mengadopsi dan mengartikulasikan Fiqh, kendati tidak secara keseluruhan, apabila dia dilandasi prinsip-prinsip mencapai tujuan menjaga kepentingan publik dan kesejahteraan publik dalam penerapan da perumusannya. Bagi saya, wacana dan kiprah syariatisasi lebih cenderung merupakan sebuah reaksi politis kelompok-kelompok gerakan Islam yang ingin melakukan hegemoni politik dan ideologi di Indonesia. Kendati secara hak asasi manusia hal tersebut sah-sah saja, sebagai ekspressi demokrasi dan pelaksanaan HAM, namun dala konteks pengembangan dan penguatan sistem demokrasi konstitusional seharusnya tidak perlu berlebihan. Pandanganpara ulama dan cendekiawan NU mengenai penerapan Syari'at Islam di Indonesia bagi saya merupakan suatu terobosan, yaitu tidak perlu me "negara" kan Syariat Islam dan membiarkan ummat Islam yang menerapkan dalm kehidupan mereka secara bebas. Hukum nasional yang masih akan terus berkembang akan menjadi landasan hukum seluruh bangsa, sementara fiqh pasti dapat memberi nuansa dan input sebagai salah satu khazanah milik bangsa Indonesia yang telah berkembang dan akan terus berkembang di masa-masa yangakan datang.

Saya sempat mengajukan pertanyaan dalam kesempatan tanya-jawab siang ini, yakni mengenai fenomen Bank Syariah yang dewasa ini cukup berkembang baik di negara-negara berpenduduk Muslim (Indonesia, Malaysia, Pakistan, dsb) maupun negara-negara maju (AS, Inggris, Jerman, Perancis, dsb). Apakah fenomen ini merupakan suatu "kebangkitan kembali" hukum Islam ataukah hanya bagian dari perkembangan kapitalisme global dengan kedok (facade) hukum Islam. Jawaban beliau sangat menarik, yaitu bahwa fenomena bank syariah dan ekonomi Islam lebih merupakan manifestasi dari reaksi terhadap Barat, sama halnya dengan fenomena "kebangkitan ilmu pengetahuan Islam" dan gerakan-gerakan reformasi Islam paska kolonial. Kendati keberhasilan dan dampaknya masih belum dapat diprediksi, fenomena tersebut jelas masih belum dapat dipergunakan sebagai bukti terjadi kebangkitan kembali hukum islam sebagaimana yang beliau maksud, yakni hukum Islam yang mampu berdialog dan mendukung proses penghormatan hak-hak asasi manusia dan demokrasi serta kesejahteraan umum, bukan saja umat Islam tetapi juga manusia umumnya. Landasan epsitemologis dari fenomena syariatisasi tersebut bukanlah moral dan etika sebagaimana dimasa klasik, tetapi lebih kepada politik dan ideologi anti Barat, anti sekularisme, dan pembelaan diri (apology) vis-a-vis superioritas pihak luar. Kebangkitan kembali hukum Islam yang memiliki nilai sebagai penyumbang peradaban kemanusiaan hanya akan bisa dilaksanakan dengan landasan khazanah Islam klasik non puritan yang mampu berdialog dan bersinergi dengan kekayaan peradaban lain di luar Islam, sehingga hukum Islam dapat ikut memperjuangkan demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan keadilan serta kesejahteraan umum di dunia. Pemikiran inklusif seperti yang disampaikan El Fadl selama dua hari ini memberi pengayaan intelektual tersendiri bagi saya yang telah lama tidak terlibat dalam kiprah pemikiran karena keterlibatan langsung dalam dunia politik praktis. Sebuah anugerah ilahi yang luar biasa yang saya dapat di UCSD La Jolla.

 

(bersambung)

 

m.a.s.h

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS