Saturday, May 10, 2008

KABAR DARI LA JOLLA, CALIFORNIA (5)

patung Sang Pemusik, patung di Regents La Jolla

1. Hampir mustahil rasanya berada di Amerika Serikat hari-hari ini tanpa terlibat dalam wacana Pemilu Presiden 2008 yang prosesnya tengah berjalan. Apalagi buat saya yang benar-benar termasuk primaries junkie (pecandu primaries, pemilihan awal) sejak di Jakarta ( bahkan sejatinya sejak menjadi mahasiswa ilmu politik di Hawaii dulu). Dimana saja saya sedang berada di La Jolla, tampaknya susah untuk tidak mendengar atau menyaksikan sesuatu yang ada kaitannya dengan pilpres, apalagi minggu-minggu terakhir ini sedang terjadi pemilihan pendahuluan kandidat Presiden dari Partai Demokrat di North Carolina, Indiana, dan sebelumnya di Guam. Walaupun di wilayah jajahan AS ini pemberitaan tentang pemilihan awal tidak terlalu kedengaran, toh hasilnya ditunggu juga  oleh kedua kubu yang bersaing, kubu  Senator (Barack) Obama dan kubu Senator Hillary (Clinton). Hebatnya, hasil pemilihan di Guam ternyata hampir sama, hanya selisih 7 suara sehingga delegasi yang akan mewakili kedua kubu juga sama yakni masing-masing tujuh orang delegasi. Yang lebih seru tentu adalah pemilihan awal di North Carolina dan Indiana, karena dua negara bagian memiliki jumlah delegasi yang diperebutkan cukup besar dan sangat berarti bagi penentuan kemenangan kedua calon untuk memenangi konvensi partai di Denver, Colorado, pada Augustus depan. Khususnya bagi Hillary. yang masih tertinggal lebih dari 100 delegasi dari hasil pemilihan awal sementara jumlah superdelegasinya semakin dikejar oleh Obama, maka kemenangan di kedua negara bagian ini akan sangat berarti untuk menunjukkan apakah dia masih layak pilih (electable) atau tidak. Sebelum pemilihan awal hari Selasa tanggal 6 Mei, hampir semua polling menyatakan Hillary akan memenangkan Indiana dan Obama memenangkan North Carolina, masing-masing dengan selisih persentase yang cukup mencolok. Namun bagi kubu Hillary menang saja tidak cukup; ia harus menang sangat besar di atas 20 poin kalau pencalonannya ingin "aman", karena secara matematik, Obama sudah jauh meninggalkan pengumpulan para delegasi yang dimiliki Hillary. Padahal  untuk meyakinkan para superdelegasi bahwa dirinya lebih layak ketimbang rivalnya untuk menjadi capres tidak semudah yang diperkirakan. Obama, yang berangkat tanpa beban psikologis sebagai calon unggulan, ternyata  memenangi pemilihan-

Regents La Jolla, tempat saya tinggal  DSCN3275

pemilihan awal di mayoritas negara bagian, khususnya mereka yang memakai sistem kaukus. Kendati Hillary memenangkan beberapa pemilihan di negara-negara bagian besar seperti California, New York, Massachusetts, Ohio, dan paling akhir Pennsylvania tetapi jika jumlah perolehan delegasi dihitung ternyata Obama masih lebih banyak! Bukan itu saja. kemampuan Obama untuk mengoganisasi kampanye pada aras akar rumput (grass-roots) dan pesan perubahan yang dibawanya, ternyata menyedot perhatian luar biasa khususnya para pemilih kawula muda, kelas menengah atas, kaum  minoritas kulit hitam, dan kelompok independen. Tak heran jika Obama berhasil menangguk dukungan dinegara-negara bagian yang secara tradisional lemah bagi partai Demokrat,dan juga pemilih kulit putih yang biasanya tidak menyokong calo kulit berwarna seperti dia. Fenomen Obama ini sama sekali tidak pernah diperhitungkan oleh kubu Hillary (dan tokoh-tokoh senior partai pendukungnya) yang sejak awal seolah sudah menjadi calon tunggal dan tinggal ketok palu belaka. Ternyata, dalam proses pemilihan-pemilihan awal, Hillary hanya berhasil memenangkan pemilih "tradisional" partai dari generasi tua, penduduk pedesaan, sebagian pemilih perempuan, dan minoritas Latino. Mesin partai yang diharapkan Hillary, khususnya yang disetir oleh suaminya, mantan presiden Bill Clinton, ternyata tidak berjalan secara efektif baik dalam melakkan mobilisasi suara maupun dana. Sebaliknya Obama, dengan mengerahkan organisasi akar rumput, terytama melalui internet, dia berhasil menggugah partisipasi rakyat untuk datang ke TPS-TPS dan, yang lebih hebat lagi, untuk melakukan fund raising yang sangat berhasil. Bayangkan, sebulan setelah Super Tuesday (pemilihan awal di lebih dari 22 negara bagian), kubu Obama berhasil menangguk lebih dari US $ 35 juta, sementara Hillary "hanya" memperoleh sumbangan sekitar US $ 10 juta! Kemampuan calon mendanai kampanye dalam sistem Pemilu AS adalah paling penting dari platform yang ditawarkannya dan/atau bahkan popularitas pribadinya di mata publik dan pemilih. Hal ini disebabkan antara lain karena mahalnya biaya kampanye melalui iklan di media massa, khususnya TV, yang mutlak diperlukan untuk menjangkau sasaran calon pemilih yang begitu luas dan memiliki karakter yang cukup heterogen.

Pemilihan awal pada pilpres kali ini, khususnya untuk Partai Demokrat  memang tak biasa, karena berlangsung lama dan cenderung berlarut. Bahkan bukan tidak mungkin akan sampai pemilihan primary terakhir di awal Juni di Puerto Rico dua calon yang bersaing masih tetap belum ada yang mau menyerah sehingga keputusan harus ditentukan di Denver pada saat Konvensi Nasional Partai Demokrat. dalam sejarah partai ini, kejadian mirip seperti itu terakhir terjadi pada tahun 1960an pada saat Konvensi di Chicago dan berlangsung rusuh. Sejak itu dibuat berbagai aturan internal partai sehingga proses pencalonan lebih tertata dan tidak berlarut-larut. Biasanya, sebalum Konvesnsi sudah dapat diketahui siapa yang terpilih menjadi calon Presiden dari partai ini dan Konvensi tinggal mengesahkannya. Pilpres kali ini dikhawatirkan akan mengulang peristiwa tahun enampuluhan itu manakala pemilihan awal yang berlarut terjadi, apalagi bila Hillary ngotot untuk mempermasalahkan kasus negara bagian Florida dan Michigan dalam Konvensi nanti. Kedua negara bagian tersebut tidak diakui hasil pemilihan awalnya oleh DNC (Democratic National Committee, Komisi Nasional Partai Demokrat), karena mereka melanggar aturan partai mengenai jadwal pelaksanaan pemlihan awal. Baik Michigan dan Florida memaksa melakukan proses tersebut sebelum Super Tuesday, padahal DNC telah memutuskan sebelumnya bahwa mereka akan dikenai sanksi jika tidak patuh. Para capres partai Demokrat, KECUALI HILLARY, mematuhi aturan dengan tidak mencantumkan nama mereka dalam primary yang diselenggarakan di kedua negara bagian tersebut. Ketika hasilnya diumumkan, tentu saj Hillary memperoleh suara terbanyak, dan kendati ia mula-mula tidak mengaggap hasil itu penting tetapi setelah dia kalah dengan Obama, mulailah ia berubah pikiran. Dengan alasan pendukung partai Deokrats di Florida dan Michigan harus dihargai suaranya, ia meminta agar dalam Konvensi partai di Denver nanti, delegasi dari kedua negara bagian tersebut diberi tempat. Jumlahnya tentu saja akan sangat signifikan untuk mendongkrak dukungan buat Hillary dan, logis saja, kalau dia dan pendukungnya lantas berbalik dan ngotot menuntut agar pemilihan awal di kedua negara bagian itu dianggap sah! Pihak Obama tentu tidak tinggal diam dan menuduh Hillary mencoba melakukan perbuatan melanggar aturan yang juga sudah disepakatinya. Bahkan Ketua DNC saat ini, Howard Dean, pun cukup berang dengan ulah Hillary dan menyatakan bahwa keputusan untuk tidak memberi tempat pada delegasi dari Florida dan Michigan sudah tepat dan tak akan diubah. Apalagi ada putusan Pengadilan setempat yang juga menyatakan bahwa pemilihan awal di kedua negara bagian itu tidak sah secara hukum karena melanggar aturan internal partai. Toh, sampai tulisan ini dibuat, wacana mengenai delegasi Florida dan Michigan masih tetap muncul, dan Hillary terus menerus berusaha melakukan pembicaraan dengan rivalnya agar terjadi solusi politik yang memuaskan. Obama tentu saja lebih suka apabila aturan partai diterapkan, tetapi secara politik ia juga tidak mau menjadi sasaran kemarahan dan "balas dendam"  para pemilih Partai Demokrat di kedua negara bagian itu, apabila nanti dia lolos dan menjadi capres.

2. Walhasil, kengototan kubu Hillary untuk menang menghadapi saingan yang masih muda, belum berpengalaman, dan berlatarbelakang warna kulit yang bukan putih, telah menyemarakkan pilpres dari partai Presiden-presiden Bill Clinton dan Jimmy Carter ini. Untuk partai Republik, calon tunggal telah diputuskan setelah Super Tuesday berakhir dan Senator John McCain, politisi gaek dari negara bagian Arizona, mengalahkan saingan-saingannya, Mike Huckabee dan Mitt Romney, dengan angka telak. McCain, yang sudah malang melintang sebagai anggota Senat AS selama lebih dari 30 tahun, tentu lebih memiliki pengalaman ketimbang para pesaingnya yang relatif lebih muda. Usianya yang sudah 70 tahun tentu juga jauh lebih senior dibanding obama yang baru kepala empat, bahkan dibanding Hillary yang sudah kepala enam itu. Pengalamannya dalam bidang keamanan dan politik luar negeri serta sikapnya yang tidak begitu saja tunduk terhadap kelompok garis keras dan kaum neo-konservatif (neokon)yang dominan dalam partai Republik, membuat McCain sangat disegani dan dihormati baik dipartainya sendiri maupun oleh kalangan partai Demokrat. Kendati demikian, McCain sebagai capres partai Republik tampaknya mulai melakukan "penyesuaian diri" dengan arus kuat yang ada di partainya, misalnya mengenai perang Irak dan aksi melawan terorisme yang cenderung mempertahankan kebijakan Presiden Bush. Ucapan McCain bahwa tentara AS kalau perlu akan tinggal seratus tahun lagi di Irak, menunjukkan bahwa dia ingin dianggap sebagai sosok yang tidak bertentangan dengan garis partai. Demikian pula dengan pendekatannya terhadap tokoh-tokoh gereja garis keras seperti Hagee dan Parsley, merupakan upaya McCain agar tidak dianggap di luar dari kelompok sosial konservatif yang sedang memiliki pengaruh luar biasa dalam perpolitikan AS semenjak ere Reagan sampai sekarang.

McCain memang juga berusaha agak "menjaga jarak" dengan George W. Bush dan, apalagi, dengan Dick Cheney. Bagaimanapun McCain tidak ingin dianggap sebagai penerus pemerintahan Presiden yang sudah dikenal sebagai Presiden Paling Buruk dalam Sejarah AS itu, khusunya ketika rakyat Amerika sedang dilanda malaise ekonomi yang luar biasa. Hal yang paling ditakuti oleh McCain dan para pendukungnya adalah anggaan bahwa dirinya adalah bagian dari kisah kegagalan partai Republik dalam menciptakan kesejahteraan rakyat dan dalam mepertahankan kewibawaan negara itu di mata internasional. Dibanding dengan lawan-lawannya dari partai Demokrat, jelas beban McCain jauh lebih berat karena bagaimanapun tingkat kepercayaan rakyat pemilih di AS terhadap pemerintahan partai Republik selama tujuh tahun terakhir sangat merosot tajam. Presiden Bush bukan saja telah menggerogoti tabungan devisa yang diwariskan oleh pemerintaha Presiden Clinton, tetapi juga semakin membengkakkan hutang negari paman Sam itu menjadi bertriliun dollar semenjak petualangan perangnya di Iraq lima tahun lalu sampai sekarang dan belum ada titik terang kapan akan usai. Ekonomi Amerika mengalami kemerosotan serius gara-gara kenaikan harga minyak yang luar biasa dan kasus hutang perumahan subprima serta skandal-skandal korupsi yang dilakukan korporasi. Tawarn platform apapun yang diungkapkan oleh McCain tampaknya tidak terlampau memikat, apalagi dia sama sekali tidak menguasi masalah-masalah ekonomi dan sosial yang konkret. Dibanding dengan Obama, apalagi Hillary. McCain sangat ketinggalan dalam wacana-wacana seputar masalah domestik konkret seperti pajak, subsidi minyak, asuransi kesehatan, pendidikan, perumahan, masalah imigran, pengangguran dan lapangan kerja, pada hal isu-isu inilah yang paling penting bagi rakyat AS. Baru sesudah itu masalah Iraq dan terorisme internasional serta keamanan dalam negeri. McCain dan kalangan partai Republik mencoba membelokkan perhatian para pemilih dengan mengusung isu-isu sensitif seperti agama, ras, dan ancaman terorisme kepada AS untuk menghadapi para capres partai Demokrat, khususnya Obama yang dianggap bakal menjadi pesaing utama dalam pemilu Presiden bulan November yang akan datang. Tak mengherankan apabila dalam setiap kesempatan McCain selalu berusaha mengingatkan calon pemilihnya akan pentingnya pengalaman di bidang keamanan dan bahaya terorisme seperti Al Qaed, Hezbolla, dan Hamas bagi AS dan negara sahabat. Tak lupa, McCain selalu mempertahankan kebijakan agresi Irak sebagai hal yang harus dilakukan dan dianggapnya telah berhasil dengan baik. Demikian juga McCain mengritik lawan politiknya sebagai tidak serius dalam mempertahankan negara dan melindungi rakyat AS menghadapi ancaman teror dari luar. Bahkan khusus kepada Obama, McCain menuduhnya kurang kuat mendukung Israel dan, konon, mendapat pujian tokoh Hamas sebagai capres, sebuah tuduhan yang dibantah dengan keras oleh Obama. Demikian pula ketika muncul ontran-ontranI  gara-gara ceramah dan statemen-statemen Pastor Jeremiah Wright yang dianggap kurang patriotik dan cenderung rasis (anti kulit putih), Obama pun mendapat serangan gencar dari kubu McCain, kendati pihak yang terakhir itu secara pribadi tidak bicara keras.

3. Selasa-Jumat 6-9 Mei, 2008: Malam ini saya begadang sampai dini hari nongkrongi TV yang menayangkan langsung hasil primaries di North Carolina dan Indiana. Tidak seperti ketika di Jakarta, saya lebih leluasa pindah-pindah Channel TV yang mealporkan jalannya pemilihan dan penghitungan suara serta, dan ini yang paling penting, komentar dan analisa para pakar dan pandit mengenai dari berbagai penjuru perspektif. Di Jakarta, saya paling hanya bisa menyimak dari CNN dan bolak-balik menelusuri situs-situs dari Amerika. Di La Jolla, sebaliknya, saya bukan saja tetap menyimak CNN dan situs-situs yang ada, tetapi juga bisa melihat beberapa Channel TV besar seperti MSNBC, ABC, CBS, dan FOX News. Saya hanya bisa berharap bahwa suatu saat di indonesia para pemirsa juga akan bisa menyimak proses politik secara langsung dan terbuka sehingga rakyat akan maki matang dalam menyikapi perbedaan pendapat tanpa harus menggunaklan kekerasan. Memang, ketersediaan sumber informasi yang banyak bukan tanpa resiko dan tanggung jawab. Sebab adanya alternatif yang beragam juga memngharuskan kita selektif dan untuk itu perlu wawasan dan kapasitas untuk mengkritisi informasi dan sumbernya. Pengalaman saya selama ini cenderung menunjukkan bahwa justru kapasitas itulah yang masih memerlukan peningkatan terus, karena kalau hanya soal sumber informasi saja saya kira sudah lumayan apalagi jika demokratisasi yang sedang berjalan di negeri kita tetap terus berjalan.

Di North Carolina, Obama menang telak sampai 16 poin, sedang di Indiana, yang memang diunggulkan akan dimenangi Hillary, ternyata Obama hanya kalah 2 poin saja. Ini adalah sebuah kejutan bagi Obama yang selama dua minggu berturut-turut dihantam oleh berbagai kritik dan hujatan baik dari kubu Hillary maupun partai Republik ditambah komporan para pengamat dan pandit serta media yang tidak simpati terhadapnya. Kritik yang paling keras dan menyita seluruh perhatian Obama adalah mengenai Pendeta Jeremiah Wright, yang notabene adalah mantan Kepala Gereja dimana dia menjadi anggota jemaahnya selama duapuluh tahun terakhir. Pendeta Wright bukan sekedar Kepala Gereja, tetapi sudah dianggap sebagai orang tua dan gurunya. Pendeta Wrightlah yang mengajaknya menekuni agama, memberi pemberkahan pernikahan Obama dengan Michelle, dan membaptis kedua putrinya. Maka ketika sikap dan pandangan Pendeta Jeremiah Wright menjadi bahan gunjingan dan kritik dari banyak pihak khususnya karena visi Teologi Pembebasannya yang sangat kritis terhadap ketidak adilan dan penidnasan terthadap warga kulit hitam, otomatis Obama juga terkait dan dianggap memiliki pandangan yang radikal dan "kurang Amerika." Sebelum itu Obama juga dikritik karena statemen lugasnya mengenai masyarakat pedesaan kulit putih di Pennsylvania yang, menurutnya, cenderung "lari" kepada agama dan senjata karena mereka merasa ditinggalkan oleh pemerintah dan kaum kaya dalam kemelaratan dan keterbelakangan. Para pengritik Obama, termasuk Hillary, menganggap statemen tersebut sebagai sikap arogan dan elitisme Obama yang gagal dalam memahami nilai-nilai dasar rakyat kecil Amerika yang memang sangat religius dan memiliki kultur mencintai senjata yang dilindungi Konstitusi. Obama dan pendukungnya mencoba menepis kritik-kritik tersebut melalui media dan pidato kampanye di berbagai kesempatan di samping diskusi-diskusi publik. Sayang sekali, gencarnya serangan yang cenderung bertendensi rasis tersebut telah memperlambat kemajuan kubu Obama yang sebelumnya susah dibendung. Oleh sebab itu primary di North Carolina dan Indiana, yang notabene mayoritas pemilihnya kulit putih, menjadi test baginya. Kemenangan telak Obama di negara bagian yang pertama dan kekalahan tipis pada yang kedua telah mengembalikan Obama pada posisi unggulan dan dukungan para super delegasi yang sebelumnya masih beum memutuskan, mulai bermunculan. Bahakan tokoh senior partai Demokrat seperti George McGovern malah berbalik dari semula mendukung Hillary menjadi mendukung Obama. Bagi Bill dan Hillary Clinton ini adalah sebuah pukulan berat, bukan saja secara politik tetapi juga pribadi karena keduanya sangat dekat dengan tokoh sepuh itu. Kasus yang sama sebelumnya terjadi dengan Gubernur Richardson dari New Mexico yang merupakan sahabat dekat Bill Clinton dan mantan Menteri Energi di masa pemerintahannya ternyata berbalik menjadi pendukung Obama!

Tapi dalam politik semuanya masih mungkin. Kata Yogi Berra,"it's not over until it's over." Sekalipun secara hitung-hitungan matematis kesempatan untuk menang sudah tidak ada baginya, tetapi Hillary tetap bergeming. Dalam pidato menyambut kemenangannya di Indiana, Hillary masih menampakkan ke pede-annya yang luar biasa dan menganggap dirinya sebagai calon paling pas untuk menjadi penantang McCain dalam pemilu bulan November. Bahkan Rabu siang ini, Hillary mengeluarkan statemen yang mengundang komentar miring karena ia menyindir Obama sebagai calon yang tidak mampu memenangi para pemilih kaum pekerja kulit putih. Sikap Hillary yang rada "kalap" ini tak urung membuat banyak pendukungnya menjadi gerah. Bagi para anggota superdelegasi yang belum menjatuhkan pilihannya, hal itu semakin memberi alasan bagi mereka untuk mendukung Obama. Buktinya, sampai hari Jum'at ini Obama telah mendapat tambahan 9 superdelegasi, sementara Hillary hanya 1. Bahkan menurut hitungan TV ABC, koran Washington Post, dan LA Times, Obama telah mampu melebihi Hillary dalam pengumpulan dukungan dari superdelegasi sekurang-kurangnya 3 suara. Jika benar demikian, sudah dapat dipastikan bahwa kans Obama menjadi nominator capres dari partai Demokrat tak tergoyahkan. Kini tinggal ada empat primaries lagi yang tersisa: di negara bagian West Virginia, Oregon, Kentucky, dan protektorat Puerto Rico. Menurut polling, Hillary diprediksi unggul di West Virginia dan Kentucky, sedang Obama di dua tempat yang lain atau sekurang-kurangnya di Oregon. Namun apapun hasilnya, kemenangan dalam menumpulkan delegasi, baik melalui primaries, kaukus, maupun superdelegasi, Obama telah jauh meninggalkan Hillary. Hanya keajaiban saja yang bisa membuat posisi tersebut berubah. Dan dalam politik, keajaiban seperti itu bukan tak mungkin terjadi. Bukankah Hillary sendiri menjadi contoh: dari calon yang semula hampir pasti, ternyata kini menjadi underdog. Politik, kata orang bijak, adalah seni dari segala yang mungkin.

 

(bersambung)

 

m.a.s.h

Share:

1 comments:

  1. Wow Dad! If Namboru Renta read your blog, she'll disagree with you the whole way! I'm glad someone's defending Obama, and not calling him an elitist. I, frankly, do not think of him as an elitist. Thanks for posting issues in the campaign. I understand more after reading your blog than listening to those commentators on CNN,FOX or CNBC. Keep writing!

    Love you!

    ReplyDelete

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS