Monday, May 12, 2008

KABAR DARI LA JOLLA, CALIFORNIA (6)

 

DSCN3269 Pacific Beach, La Jolla, CA.

1. Ada sebuah ungkapan populer di Amerika "bukti bahwa kue itu enak atau tidak, terletak pada rasanya." Ungkapan itu sederhana, tetapi menunjukkan sebuah karakter dasar orang Amerika yaitu: pragmatis, membumi, dan apa adanya. Tapi jangan anggap bahwa "pragmatis" di sini adalah dalam pemahaman yang umum kita dengar di Indonesia yang cenderung berkonotasi negatif. Pragmatisme, sebagai suatu paradigma filosofis lahir dari kenyataan hidup dan sejarah bangsa yang dibangun oleh para migran menekankan pentingnya kenyataan yang dihadapi secara kasat mata, bukan yang muluk-muluk. Istilah orang sekarang, pragmatisme adalah paham yang "down to earth", membumi, apa adanya. Apakah dengan begitu pragmatisme tidak memiliki dasar moralitas? Tentu saja bukan demikian. Pragmatisme diperkenalkan oleh para filsuf seperti Charles Peirce, C.I Lewis, William James, dan tokoh pendidikan John Dewey justru mendasarkan ajaran mereka pada landasan moral yang kokoh, termasuk yang bersumber dari agama. Hanya tekanan utama filsafat pragmatisme adalah pada apa yang secara empiris dapat diobservasi, di analisa, dan dipergunakan untuk pegangan hidup. Moralitas dan etika bukan hanya yang ada pada tataran abstark, tetapi lebih pada yang nyata dilaksanakan. Kita tahu bahwa bangsa Amerika, dari dulu sampai sekarang, adalah bangsa yang religius sehingga dalam beberapa hal juga memiliki problematika yang sama seperti bangsa kita yang juga religius, yakni adanya kelompok-kelompk agama fundamentalis dan radikal. Pragmatisme sangat peduli dengan landasan moral, khususnya yang digali dari ajaran-ajaran agama (Kristen) yang memuliakan (valorize) sikap hidup asketis, etos kerja keras, hemat, dan beroirentasi kepada masa depan. Landasan moral tersebut jelas berpangkal pada teologi Calvinisme yang memang merupakan aliran Kristen paling banyak dipeluk oleh para migran pertama, atau yang disebut kaum Pioneer. Mereka rela meninggalkan tanah air di daratan Eropa karena menghindarkan diri dari persekusi politik dan agama dari para penguasa yang memanipulasi ajaran agama dan pengaruh Gereja serta pemimpin agama. Tak heran apabila sejarah bangsa Amerika adalah sejarah sebuah masyarakat yang sangat kental dengan agama, tetapi sekaligus kritis dan gamang terhadap kemungkinan agama menjadi penghalang bagi kebebasan dan upaya mencari kebahagiaan. Agama, sebagaimana tampak dalam Konstitusi Amerika memiliki posisi kuat sebagai landasan moral, tetapi pada saat yang sama para pendiri negara (Founding Fathers) Amerika dengan tegas menolak untuk menjadikan agama sebagai ideologi negara. Para Founding Fathers Amerika, seperti George Washington, John Adams, dsb adalah para pemeluk teguh, namun mereka semenjak awal telah meneguhkan tekad untuk menegakkan sebuah Republik yang sekular namun tetap tegak dalam landasan moralitas yang salah satu sumbernya adalah agama, selaian nilai-nilai dari filosofi Pencerahan. Alexander deToqcueville, seorang pengelana dan penulis Perancis, dalam bukunya yang paling masyhur, Democracy in America vol.I dan II, menyebutkan bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang sangat religius dan politik di Amerika pun memiliki akar religius yang dalam. Karena itu, sambung deToqcueville, basis masyarakat sipil Amerika yang notabene adalah basis utama demokrasi di negeri tersebut pun muncul dari organisasi agama, seperti gereja-gereja, kelompok karitatif, dan tokoh-tokoh intelektual agamis. Sampai awal abad keduapuluh satu inipun, politik dan masyarakat Amerika tetap diwarnai oleh wacana dan praksis yang berkaitan dengan agama, dengan segala macam variasi dan implikasinya!

Maka sebenarnya lumrah saja bila wacana politik di Amerika menjelang Pilpres ini sarat diwarnai oleh isu agama. Bukan saja karena beberapa kandidat yang berlaga untuk memenangi tiket capres berlatar belakang pemeluk agama dan tokoh agama yang kuat, seperti Michael Huckabee dan Mitt Romney, tetapi juga karena isu agama dalam politik AS kontemporer semakin memiliki pengaruh. Lihat saja perkembangan kelompok Evangelis Kristen dalam partai Republik; maraknya kecenderungan konservatisme dalam masyarakat AS; dan meningkatnya pengaruh paradigma neo konservatisme  (neokon) dalam perpolitikan AS semenjak pertengahan delapan puluhan. Disamping itu, konstelasi politik global paska Perang Dingin juga membuat AS harus berhadapan dengan "lawan" ideologis baru setelah Komunisme berantakan, diganti oleh ideologi Islam radikal. Serangan teroris ke bumi Amerika pada 11 September 2001 adalah salah satu bukti paling akbar bahwa Amerika memang sedang berperang dengan lawan ideologis baru yang tidak hanya direpresentasikan oleh suatu negara atau blok negara saja,  tetapi juga oleh aktor non negara, seperti kelompok Al Qaeda, Hezbollah, Hamas, dsb. Tak pelak lagi, kesemua elemen tersebut bergabung menjadi satu dan membawa dampak bagi wacana dan kiprah politik AS di awal abad ke duapuluh satu yakni menguatnya kecenderungan politik identitas yang di dalamnya agama menjadi salah satu referensinya. Jika sebelum pemerintahan Reagan, politik AS masih ditandai dengan kuatnya paradigma liberal-sekular yang dibela oleh partai Demokrat, maka pelan tapi pasti partai Republik mulai melakukan perubahan strategi mobilisasi pendukung dengan memanfaatkan masyarakat di bagian Selatan yang cenderung lebih religius dan konservatif dan menarik simpati kelompok Kristen fundamentalis sebagai kawan seperjuangan melawan "dekadensi moral" kaum Demokrat. Di mulai semenjak Reagan berkuasa di White House, dan dilanjutkan oleh George H. Bush, gerakan konservatisme sosial di AS mengalami perkembangan luar biasa, sehingga ketika Clinton berkuasa pun, partai Demokrat dan kelompok liberal sekular tak sanggup mengeremnya. Bahkan ketika di ujung jabatan kepresidenan Clinton, kubu partai Republik berhasil merebut kursi mayoritas Kongress (DPR dan Senat) dari partai Demokrat setelah beberapa dekade dikuasai pihak yang disebut terakhir itu! Dengan kekuasaan politik di tangan partai Republik, kelompok konservatif makin berjaya dalam mengembangkan pengaruhnya dalam kebijakan-kebijakan publik dan agenda-agenda dalam masyarakat Amerika. Apalagi topangan dari think tanks konservatif semacam The Heritage Foundation, The American Enterprise Institute, The Brooking Institution, dll. ditambah dengan para pandit neokon seperti Irving dan William Kristol, Norman dan John Podhoretz, William Buckley, Jeane J. Kirkpatrick, Daniel Pipes, Francis Fukuyama dsb. maka makin kuat pula landasan filosofis dari gerakan keonservatif tersebut. Maka ketika Bush Jr berkuasa, kelompok neokon dan pakar-pakar konservatif membanjiri White House di sekelinling Wapres Dick Cheney, seperti Elliot Abraham, Richard Perle, Don Rumsfeld, David Wolfowitz, Donald Feith, Condoleezza Rice, dsb. Mereka ini dijuluki dengan sebutan para "Vulcan" yang memasok ide dan membantu Bush Jr dalam menjalankan kebijakan politik di dalam dan luar negeri yang konservatif dan anti kepada paradigma sekular-liberal.

2. Dengan kuatnya posisi kaum neo-konservatif baik pada aras politik maupun aras sosio-kultural seperti itu, wajar saja jika perpolitikan di AS lantas menampilkan wajah yang keras, inward looking, tidak toleran dan penuh dengan kecurigaan terhadap "yang lain" (others). Termasuk, dan barangkali terutama, sikap curiga terhadap sesuatu yang dianggap merupakan bagian dari "lawan" Amerika, dalam hal ini Islam. Islamophobia yang diwacanakan oleh kaum neokon dengan kedok anti kaum radikal/fasis Islam atau Islamofasisme adalah salah satu manifestasi kuatnya pandangan neo- konservatisme, bersamaan dengan maraknya rasialisme dan xenophobia yang dalam wacana politik dan sosial. Masyarakat dan bangsa Amerika yang dikenal sebagai sebuah "melting pot", masyarakat "multikultural", dan "bangsa para migran" dsb, lantas tampil justru sebaliknya: serba anti terhadap pihak luar dan tidak toleran serta penuh dengan kecurigaan. Diterjemahkan dalam kebijakan publik, maka muncul kebijakan-kebijakan seperti pembatasan terhadap imigrasi, pengetatan pengawasan terhadap kelompok minoritas. pengabaian HAM warga asing di AS, dan sikap anti terhadap segala yang berkaitan dengan Islam serta kaum Muslimin dalam kehidupan masyarakat, terutama setelah tragedi serangan teroris 11 Sepetember. Kenyataan bahwa Islam dan kaum Muslimin di AS merupakan agama dan kelompok beragama yang paling cepat pertumbuhannya serta bersifat sangat majemuk di negeri Paman Sam ini sangat sedikit dipahami. Islam dan umatnya senantiasa identik dengan Arab dan Timur Tengah yang, selanjutnya, identik dengan anti Israel dan teroris Al Qaeda, Hamas dan Hezbollah, serta negara seperti Iraq, Iran, dan Palestina. Dalam wacana publik hampir tidak mungkin membicarakan Islam tanpa suatu beban psikologis dan emosi dari suatu yang"beda", "asing", "aneh", "eksotik", dan "berbahaya." Bahkan seperti saya saksikan dengan mata kepala sendiri dalam sebuah forum publik di UCSD tentang Islam, ada orang yang dengan bangga menyatakan diri sebagai "Islamophobist" sambil memberikan argumen yang sangat dangkal, menyesatkan, dan sama sekali tidak masuk akal!.

Maka tidaklah aneh jika masalah agama dan ras kemudian menjadi komoditi politik yang laris dalam perhelatan pilpres tahun ini. Obama, adalah representasi dari sebuah fenomena baru dalam politik Amerika yang sedang dikuasai oleh konservatisme dan melakukan tantangan terbuka dan fundamental atasnya. Dia adalah representasi dari suatu kesadaran baru bahwa Amerika seharusnya bukanlah seperti yang sekarang hadir di pentas dunia sebagai negara adi daya yang mengedepankan rasa takut dan ancaman terhadap pihak lain, serta gagal membawa kesejahteraan dan rasa keamanan kepada rakyatnya sendiri. Obama muncul seperti kisah nabi-nabi yang datang dalam suatu kondisi masyarakat yang memang patut untuk diselamatkan atau akan hancur apabila dibiarkan terus berada pada rel yang keliru. Lebih jauh, Obama adalah sebuah sejarah yang sedang dibuat. Betapa tidak, dia adalah orang kulit hitam (atau setengah hitam) pertama yang secara serius akan menjadi calon presiden di Amerika setelah lebih dari dua abad berdiri. Latar belakang kehidupan yang unik, seperti pernah sekolah dasar di Indonesia, ayahnya seorang Muslim dari Kenya, menjadi pengikut gereja Kristen yang mengajarkan teologi pembebasan, menjadikan dirinya sebuah smorsgasbord dari apa yang berada di luar wilayah "aman" dalam carapandang kaum konservatif. Bahwa Obama adalah seorang lulusan Universitas terkemuka seperti Columbia dan Harvard, pernah menjadi Senator di negara bagian Illinois selama 8 tahun, dan kini sedang menjadi Senator di Capitol Hill mewakili negara bagian Illinois selama hampir 4 tahun terakhir, tidak terlalu menjadi bahan pertimbangan. Bahkan Hillary yang menjadi kawan separtai, tetapi lawan bertanding dalam pemilihan capres dari partai Demokrat, ternyata terjebak pula dalam permainan "politik identitas" manakala dukungan para pemilih yang diperolehnya  kalah dibanding Obama. Sikap Hillary yang ikut mengeritik Obama dalam kasus Pendeta Jeremiah Wright dan sikap para pendukung utamanya, seperti Geraldine Ferraro, yang menlontarkan statemen bernada rasis ketika menyikapi kemenangan Obama, ditambah statemen rasis Hillary tentang dukungan yang diperoleh Obama dari pemilih kulit putih, menjadi bukti-bukti yang sulit dibantah. Namun, seperti kata David Ignatius dalam kolomnya di Washington Post hari ini (Minggu 11 Mei 2008), Obama akan mampu untuk mengatasi kritik-kritik tersebut, justru karena dirinya adalah sosok yang mengandung semua elemen kontradiktif tersebut!

3. Dalam pandangan saya, fenomena Obama adalah pertanda kembalinya politik Amerika kepada "khittah"nya, par excellence.  Jika Senator Illinois dan mantan dosen Hukum Konstitusi di Universitas Chicago ini berhasil menjadi Presiden, maka kita mungkin akan menyaksikan sebuah metamorfose bangsa Amerika untuk memenuhi cita-cita para pendirinya: sebuah bangsa yang menjadi rujukan dari bangsa-bangsa dunia dalam kehidupan demokrasi, kesejahteraan ekonomi,  perlindungan terhadap mereka yang tertindas, dan peningkatan mutu kemanusiaan. Tentu tidak mudah bagi Obama dan pendukungnya untuk membawa Amerika ke arah perubahan yang seperti itu, apalagi di tengah kondisi internal dan eksternal yang sedang tidak kondusif. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Fareed Zakaria dalam buku terbarunya, The Post-American World (2008), bahwa ditengah-tengah perpacuan dan perlombaan untuk merebut kejayaan pada abad ke 21 ini, Amerika masih akan tetap memiliki prospek paling besar. Harus diakui bahwa negara-negara seperti Cina, India, Rusia, Jepang, Korea, Brazil sedang dan akan berkembang sebagai pemain global dalam ekonomi, politik, dan iptek, namun menurut international managing editor Newsweek itu, belum ada satupun di antara negara-negara tersebut yang mampu menyaingi kekuatan riil dan potensial yang dimiliki Amerika. Hanya saja agar kemampuan itu terwujud, Amerika harus pula melakukan sebuah perubahan mendasar dalam politik dan ekonomi serta sosio-kulturalnya dari yang ada saat ini. Hemat saya, pandangan Zakaria sangat masuk akal, dan pemimpin yang bervisi ke depan, inklusif dan tidak mengancam seperti Obama inilah yang semestinya akan mengantar proses perubahan besar kembali kepada  khittah Amerika sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan pemimpin-pemimpin besar Amerika seperti Jefferson, Hamilton, Lincoln, FDR, Kennedy dsb.

Batu sandungan yang harus dihadapi oleh Obama, dan rakyat Amerika, memang tidak kecil. Psikologi politik yang penuh dengan paranoia, ekonomi yang dalam keadaan morat-marit, wacana publik yang dipenuhi dengan kecurigaan dan kebencian, media yang lebih menonjolkan ketakutan dan kehawatiran ketimbang akal sehat dan penyadaran akan perlunya perubahan, semuanya menjadi kendala yang harus dilewati dan disingkirkan. Dunia saat ini sedang melihat dan menunggu dengan penuh cemas akan kemungkinan terjadinya sebuah perubahan di negeri Paman Sam ini, apakah akan berhasil ataukah akan semakin dibawa kepada suatu status quo yang sudah jelas telah mengakibatkan banyak kerugian. Perang tak berujung di Irak dan Afghanistan, ancaman perang baru dengan Iran, konflik Palestina vs Israel, terorisme internasional, resesi ekonmi dunia, dst semua tak bisa lepas dari peran Amerika dan langkah-langkah kebijakan para pemimpinnya. Kondisi global yang tak lagi seperti pada waktu Perang Dingin membuat negara-negara besar seperti AS tak lagi sepenuhnya mampu melakukan kontrol langsung, bahkan dengan dukungan persenjataan yang paling canggihpun. Yang diperlukan adalah kepemiminan baru yang mampu menggerakkan dan memotivasi suatu peredaan ketegangan dan konflik-konflik antar negara, serta memberika dukungan kepada upaya-upaya penanganan masalah kemanusiaan mendasar seperti kemiskinan, kesehatan, pengangguran, dan kebodohan.

4. Kalau demokrasi di Amerika saat ini diibaratkan sebuah kue indah yang dipajang di etalase, maka hanya dengan langsung mencicipinya saja kita tahu apakah kue itu layak dibeli atau cuma enak dipandang. Pemilu capres kali ini, khususnya yang terjadi dalam partai Demokrat, menampilkan sisi gelap dalam politik Amerika dan mengakibatkan "kue" demokrasi menjadi tidak terlalu enak bagi mereka yang memakannya. Bagi mereka yang sinis terhadap demokrasi dan sistem politik Amerika tentu dengan mudah menuding bahwa  demokrasi hanya membawa kesulitan dan perpecahan serta tidak efisien. Mereka lebih suka model sebuah perpolitikan seperti di Russia di bawah Putin atau Cina saat ini yang semuanya serba teratur dan stabil, sementara ekonominya bertumbuh pesat.Tapi, bagi mereka yang masih optimis dengan demokrasi dan memandang politik Amerika masih akan berubah menuju ke arah yang lebih sehat, tentu berpendapat lain. Fenomena maraknya neo konservatisme dan politik identitas di AS merupakan kenyataan dan dinamika yang perlu disayangkan, tetapi toh harus dihadapi. Namun, sejarah pasang surut demokrasi di negeri itu selama dua abad lebih menunjukkan kapasitasnya untuk senantiasa berubah ke arah yang lebih positif dan membuatnya tetap kokoh sebagai rujukan utama sebuah perpolitikan yang mampu memberi tempat bagi perbedaan dan kemajemukan. Amerika kini, boleh jadi, sedang berada dalam sebuah persimpanagan jalan yang akan menentukan apakah ia akan tetap menjadi pemimpin dunia di abad ke 21 mendatang. Fenomena Obama dan gerakan untuk membawa perubahan politik yang diperjuangkannya saya harap adalah pertanda awal bagi terbukanya kemungkinan itu. Pilpres November nanti adalah sebuah moment of truth bagi Amerika.

 

(bersambung)

 

m.a.s.h

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS