Tuesday, December 30, 2008

KRITIK, KEKUASAAN DAN KESINAMBUNGAN REFORMASI

PRAKATA PADA PELUNCURAN BUKU BONI HARGENS:“TRILOGI DOSA POLITIK SBY-JK.” (Jakarta: Parrhesia Institute, 2008)

1. Perjalanan Reformasi politik semenjak digulirkan pada 1998 telah menghasilkan berbagai capaian positif sebagai landasan baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sesuai dengan kehendak Konstistusi serta perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dan dunia pada millennium ketiga. Capaian-capaian terpenting antara lain adalah amandemen terhadap batang tubuh UUD 1945; penataan kelembagaan negara yang mencerminkan prinsip cheks and balances; reformasi dalam tubuh militer; penguatan parpol; otonomi daerah; dan last but not the least penegakan hukum dan perlindungan hak-hak dasar manusia (HAM). Secara keseluruhan, capaian positif Reformasi telah mengangkat nama RI dalam pergaulan internasional sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan AS. Selain itu, keberhasilan Reformasi di negeri kita juga menjadi salah satu bukti bahwa negara berpenduduk mayoritas Muslim ternyata mampu mempraktikkan demokrasi secara tuntas dan damai.

2. Tentu saja keberhasilan Reformasi di atas masih memerlukan pendalaman (deepening), perluasan (widening), dan kesinambungan (sustainability), sehingga kondisi ini bukanlah hanya sekedar kondisi sementara, apalagi hanya sekedar menjadi semacam anomali dalam catatan perjalanan sejarah bangsa. Kita harus ingat bahwa selama lebih dari 60 tahun merdeka, percobaan untuk menegakkan sebuah sistem politik demokrasi-konstitusional (Constitutional Democracy) telah beberapa kali dilakukan: pada medio 1950, medio 1960, dan pada akhir 1990-an yang masih berlangsung hingga saat ini. Syarat terpenting untuk mencapai hal-hal tersebut adalah terpelihara dan terjaganya semangat, komitmen, dan kiprah Reformasi di dalam seluruh komponen anak bangsa, karena jika faktor-faktor tersebut melemah atau menghilang, maka otomatis seluruh hasil perjuangan para pekerja demokrasi selama ini akan tersia-sia dan runtuh. Hasilnya adalah munculnya peluang kembalinya otoritarianisme di negeri ini yang telah terbukti selama lebih dari empat dasawarsa sebelum Reformasi telah membawa bangsa dan negara kita terpuruk baik pada tataran domestik maupun di dalam pergaulan internasional.

4. Dalam rangka terus menjaga dan mengembangkan wacana dan kiprah Reformasi itulah, diperlukan sikap-sikap kritis dan solutif terhadap perkembangan-perkembangan yang telah, sedang, dan mungkin akan terjadi. Reformasi adalah sebuah proses kesejarahan yang niscaya (necessary) tetapi, pada saat yang sama, bersifat terbuka (open ended). Ia adalah niscaya karena memang baik rakyat maupun para pendiri negara (Founders) kita, sebagaimana termaktub dalam Konstitusi, menuntut pengejawantahannya agar tujuan Kemerdekaan tercapai. Namun ia adalah juga sebuah proses terbuka, dalam arti tidak ada jaminan bahwa Reformasi akan berjalan mulus tanpa kendala dan pengurbanan. Fakta bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 1945 bangsa ini terus menerus mengalami masa-masa yang diwarnai krisis dan pergolakan menunjukkan bahwa mencapai tujuan Indonesia Merdeka bukanlah sesuatu yang otomatis atau bisa disikapi secara taken it for granted. Justru sebaliknya, manakala kita lengah atau lalai dalam sekejap mata saja, maka godaan untuk kembali kepada apa yang disebut Hobbes sebagai “state of nature” yang bercirikan kondisi “homo homini lupus” dan “bellum omnium contra omnes”. Dalam pengertian lain, negara dan bangsa kita akan terperosok dalam disintegrasi yang disebabkan oleh pudarnya ikatan dan runtuhnya kebersamaan.

4. Itulah sebabnya, sikap kritis kaum intelektual sebagaimana dicoba oleh Sdr. Boni Hargens dalam bukunya ini menjadi penting artinya jika ditilik dari perspektif memelihara dan melanjutkan Reformasi. Terlebih - menurut pendapat saya - selama satu dasawarsa pasca-reformasi ini telah terjadi kevakuman dalam wacana intelektual yang benar-benar dapat memberikan terobosan-terobosan serta alternatif-alternatif pemikiran yang segar bagi perjalanan reformasi. Akibat kevakuman yang cukup panjang inilah, menurut pendapat saya, maka wacana dan kiprah Reformasi semakin lama sarat dengan warna pragmatis baik sebagian dibawa oleh parpol dan elitnya, sebagian lagi oleh para pemangku kepentingan lainnya. Politik lantas dipersempit maknanya menjadi tak lebih dari upaya mencari, memperluas dan mempertahankan kekuasaan secara legal prosedural dan mengabaikan elemen substansi, moralitas, dan nurani. Akibatnya, makin lama rakyat pun banyak yang kehilangan kepercayaan (trust)nya kepada elit dan lembaga-lembaga politik, dan semnakin merebak pula gejala dan praktik politik uang (money politics) di masyarakat. Sementara itu, sebagian dari mereka-mereka yang dahulu menjadi pendukung utama gerakan Reformasi pun kini berubah menjadi kelompok-kelompok yang sinis karena kecewa terhadap hasilnya. Ujung-ujungnya, Reformasi semakin kehilangan Ruh dan hanya menjadi semacam topeng yang dapat dipergunakan oleh para pelaku politik yang korup dan lalai terhadap amanat yang diembannya.

5. Sikap kritis, jadinya, merupakan suatu elemen yang harus dipelihara dan ditumbuhkembangkan dalam suatu masyarakat yang makin terbuka dan haus akan pemikiran dan solusi-solusi alternatif. Memang kedengarannya agak ironis kalau dikatakan bahwa masyarakat Indonesia pasca-reformasi mengalami krisis terobosan dan pemikiran alternatif. Secara teoretis, hampir tak dapat dibayangkan adanya sebuah masyarakat terbuka, yang notabene adalah landasan utama demokrasi, dapat terwujud tanpa adanya keragaman pandangan dan karenanya keragaman pendapat. Tetapi, dalam kondisi pasca modern saat ini justru hal itulah yang sedang bertumbuh, yakni paradoks antara munculnya masyarakat terbuka dan sistem demokrasi tetapi semakin terjadi pemasungan atasnya. Setelah Reformasi berjalan, justru negeri ini sedang menyaksikan bagaimana para penguasa baru yang muncul tidak jarang yang kini mencoba mengingkarinya dan bahkan menghujatnya, baik terang-terangan maupun secara terselubung . Contoh yang paling gamblang adalah pendapat Wapres yang menyebutkan bahwa demokrasi hanyalah nomor dua, karena ia hanyalah alat belaka. Yang terpenting adalah, katanya, bagaimana mencapai kesejahteraan bagi rakyat. Dilupakan olehnya, bahwa rezim Orba telah gagal melaksanakan amanat Konstitusi tersebut, disebabkan karena kegagalan sistem pemerintahannya yang anti demokrasi. Contoh lain adalah maraknya gejala manipulasi para politisi dan penguasa melalui media massa yang sudah sedemikian rupa canggihnya, sehingga kebohongan publik dapat mereka lakukan dengan semena-mena sambil mengatasnamakan kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dsb. Bahkan kelompok-kelompok yang sebelum masa Reformasi selalu berada dalam tekanan dan represi politik, ketika mereka terbebas dari belenggu tersebut lantas sontak berubah menjadi para penindas baru dengan mengatasnamakan prinsip demokrasi yaitu mayoritarianisme. Paradoks-paradoks seperti inilah yang mengharu-biru sebagian rakyat yang lantas dengan sertamerta menyimpulkan bahwa Reformasi dan kiprah demokrasi bertanggungjawab atas hilangnya kepastian, keteraturan, dan ketenangan hidup mereka!

6. Namun demikian, sikap kritis juga meniscayakan suatu tanggungjawab moral terhadap berbagai konsekuensi yang dihasilkan olehnya, baik yang telah diperkirakan (intended consequences) maupun yang tidak (unintended consequences). Oleh karenanya, menurut hemat saya, sikap kritis bukanlah hanya sekedar apa yang disebut dalam istilah orang Jawa “waton suloyo” (sekedar berbeda pendapat). Bersamaan dengan lontaran kritik diharapkan pula berbagai jawaban-jawaban yang memungkinkan munculnya alternatif agar tidak mengulang kesalahan yang sama atau berputar-putar dalam kesulitan. Disinilah kita dapat membedakan apakah sebuah kritik memiliki nilai yang positif. Ia bukan saja memiliki nilai intrinsik sebagai sebuah praksis intelektual, tetapi juga nilai ekstrinsik sebagai praksis yang memiliki kekuatan perubahan, emansipatoris dan pemberi alternatif untuk perbaikan. Proses kesinambungan Reformasi jelas sangat memerlukan jenis kritik seperti itu agar supaya masyarakat yang telah dan sedang mengalami krisis kepercayaan tersebut mendapatkan pegangan dan harapan baru bahwa mereka tidak ditinggalkan sendirian dalam kegelapan. Para pemangku kepentingan politik, apakah itu parpol, ormas, capres, dsb., seharusnya menyampaikan gagasan-garasan mereka, termasuk kritik mereka, dalam semangat menjaga dan memelihara semangat Reformasi dan sekaligus memberikan alternatif-alternatif yang memiliki relevansi tinggi bagi keberlanjutannya. Dengan cara demikian, reformasi akan benar-benar bermuara pada pemberdayaan dan penguatan bangsa dan mempercepat terwujudnya tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.  

m.a.s.h

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS