Saturday, September 18, 2010

KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA HARUS DIHENTIKAN

Oleh Habil Saklitinov
 The Gusdurians

Demo anti-kekerasan agama










Tindakan kekerasan atas nama agama bukanlah suatu hal yang baru, termasuk di negeri kita yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ataupun di negari Paman Sam yang bersemboyan E Pluribus Unum, dalam proses pembentukan sejarah perkembangan ummat manusia. Pelaku tindak kekerasan atas nama agama merasa bahwa dirinya mendapatkan sebuah pembenaran dari teks kitab suci yang diimaninya untuk melakukan tindakan kekerasan berupa penganiayaan, pengusiran dan bahkan pembunuhan terhadap umat lain yang tidak seaqidah atau berada di luar mainstream mereka. Pemimpin mereka pun menganngap dan dianggap sebagai manusia yang paling dekat dengan Tuhannya meskipun tangannya berlumuran darah orang lain. Mereka tidak sungkan mengatakan bahwa diri merekalah yang paling benar atau melakukan tindakan yang mengarah kepada monopoli kebenaran atas tafsir teks kitab suci mereka sembari mengabaikan tafsir kitab suci dari kelompok lain. Mereka tidak peduli apakah kelompok lain akan tertindas, teraniaya, terancam atau tidak. Mereka hanya merasa bahwa kebenaran hakiki ada di dalam genggaman tangannya.

Syamsul Ma'arif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, pernah  mengatakan bahwa mantan Presiden AS, George W. Bush, seorang penganut Kristen puritan fundamentalis telah memakai agama untuk menghancurkan bangsa lain yang tak berdaya dengan seribu dalih. Perkembangan terakhir menunjukkan semakin banyak tentara Amerika yang bunuh diri karena diimpit suasana putus asa karena perang di Afghanistan dan Irak tidak kunjung usai. Mereka memilih mati berkalang tanah daripada hidup becermin mayat. Itu belum lagi yang menjadi gila, rusak ingatan ( post-traumatic syndrome disorder, PTSD) akibat perang yang dipaksakan. Bush dan para pendukungnya yang haus darah tidak hirau dengan semuanya ini.

Sementara itu, di kalangan segelintir ummat Islam, termasuk di Indonesia, yang meneriakkan slogan anti-Barat, atas nama agama telah membencanai tempat-tempat ibadah, perkantoran, bahkan rumah-rumah mereka yang berbeda agama atau mereka yang dianggap sesat dengan menggunakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Para pengrusak ini dari sudut pandang sistem nilai sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan Bush yang secara lahiriah ditentang oleh mereka. Di sinilah ironi itu berlaku. Dalam retorika politik, mereka seperti bermusuhan. Tetapi, dalam kelakuan, mereka bersahabat. Bedanya, Bush merusak dalam skala besar dengan persenjataan modern, sedangkan mereka dalam skala kecil, seperti dengan memakai pentungan, golok, linggis, dan lain-lain. Sementara itu, aparat seperti tidak mampu menghalangi mereka.

Negara, dengan perangkat sistem yang dimilikinya, seakan-akan tidak mampu mengatasi dengan baik hampir semua kekerasan yang dilakukan oleh  satu kelompok terhadap kelompok lain. Kekerasan demi kekerasan terjadi secara berulang. Peristiwa penusukan dan pemukulan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap jema'at gereja HKBP di Bekasi adalah salah satu contoh mutakhir yang menapilkan potret buram kondisi bangsa dan kebangsaan kita. Para pelaku tindk kekerasan itu bisa saja menganggap  bahwa apa yang dilakukannya adalah sudah benar. Sudah seharusnya Pemerintah segera bertindak, menangkap dan mengadili mereka serta menjebloskan  yang terbukti bersalah ke dalam penjara. Pihak-pihak yang bertikai harus segera dipertemukan dengan fasilitasi pemerintah dan para pemimpin agama. Yang lebih penting adalah, meskipun di atas permukaan peristiwa penusukan itu adalah peritiwa kriminal, tetapi motif dari penusukan tersebut harus diungkap dan dicarikan suatu solusi yang efektif serta menjamin ketenteraman bagi umat beragama dan pelaksanaan kegiatan beragama di tempat tersebut.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS