Saturday, September 18, 2010

SKB TIGA MENTERI: SOLUSI ATAU SUMBER MASALAH?

Oleh Habil Saklitinov Alkasfahani
The Gusdurians

Kerukunan hidup beragama dengan tingkat tolertansi yang tinggi serta jaminan keamanan ketika menjalankan aktifitas keagamaan secara bersama-sama masih menghadapi problematika yang pelik dan akan terus mengalami ujian yang berat.

Intoleransi dalam kerukunan umat beragam ini terganggu sejak lahirnya beberapa aliran atau organisasi garis keras yang terus menyuarakan bahwa dirinyalah yang paling benar dan yang lain salah, kebenaran mutlak seolah berada di dalam genggaman tangan mereka. Sebenarnya golongan garis keras ini bukan hanya menindas kebenaran yang dimiliki oleh golongan diluar keyakinan mereka saja tetapi juga mereka kerap melakukan penindasan secara implicit terhadap kelompok yang berada diluar golongan tetapi menganut Tuhan yang sama (seaqidah)

Nenek moyang, para pejuang kemerdekaan, serta penerus perjuangan bangsa ini akan menangis jika saja mereka hadir di tengah kita melihat penerusnya melukai hasil perjuangan mereka dalam membangun bangsa ini di atas fondasi “Bhineka Tunggal Ika”. Semangat perjuangan bersama antar umat beragama, ras, suku, dan bahasa telah datang pada suatu titik ujian yang amat berat dalam beberapa decade ini. Muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah  kita mampu menghadapi ujian ini, apakah pemerintah mampu memecahkan berbagai keruwetan yang muncul dalam kehidupan beragama di Negara ini.

Kita sudah menyaksikan begitu banyak rentetan kekerasan atas  nama agama, baik secara fisik ataupun non fisik. Menurut saya keduanya adalah perbuatan biadab yang harus dihentikan. Dalam hal ini pemerintah melalui SKB 3 mentru telah berupaya melakukan penyelesaian atas berbagai konflik yang berkaitan dengan kerukunan hidup beragama di Negara yang konon berlandaskan Pancasila.

Aturan yang tertuang di dalam SKB 3 mentri ini menjadi acuan bagi gubernur, walikota atau bupati, camat, lurah, ketua RW dan RT dalam menyelesaikan berbagai permasalahan msyarakat yang terkait dengan kerukunan umat beragama, itu adalah nada optimism yang muncul di benak beberapa orang yang menghendaki SKB 3 mentri dikeluarkan. Din Syamsudin pun mengacungi jempol atas dikeluarkannya SKB 3 mentri karena beliau mengatakan  bahwa Indonesia memang perlu instrumen hukum bagi upaya membangun kerukunan antarumat beragama yang sejati. Penandatanganan aturan soal rumah ibadah ini, ia anggap sebagai alat untuk menghindari konflik antarumat beragama

Namun demikian menurut beberapa kalangan yang mencoba menganlisa lebih dalam mengenai isi SKB 3 mentri ini, ternyata mereka mendapati bahw SKB 3 mentri menjadi sumber malapetaka bagi kerukunan umat beragama di Indonesia yang berasaskan Pancasila.

Malapetaka atau sumber konflik itu muncul manakala kita membaca dengan arif isi SKB 3 Menteri ini pada Pasal 14 ayat (2) dimana tertulis “Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. “

Persyaratan dukungan minimal 60 orang masyarakat setempat, selain 90 orang yang akan menjadi jemaah suatu rumah ibadah, juga akan sangat problematis. Aspek persetujuan 60 orang itu akan sangat rawan manipulasi, politisasi, dan bisa menjadi lahan perseteruan. Bisakah kita membayangkan minoritas Kristen di tengah-tengah mayoritas Islam akan dengan mudah mendapat restu minimal 60 orang masyarakat setempat ketika hendak membangun sebuah gereja?  Itulah sumber konflik dari pembangunan tempat ibadah umat Kritiani dengan penduduk setempat yang mayoritas beragama Islam.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS