Tuesday, October 12, 2010

PENGGANTIAN PEMERINTAH SBY: REIFIKASI POLITIK KELOMPOK OPOSISI?

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


Sekali ini saya harus berbeda pendapat dengan sahabat saya, Pak Rizal Ramli (RR), kendati barangkali saya bisa memahami apa yang menjadi kegelisahan beliau. Bahwa setelah setahun Pemerintahan Presiden SBY untuk periode kedua ini berjalan, ternyata masih banyak masalah dan kelemahan. Saya kira cukup banyak publik yang sepakat. Bahwa para pembantu Presiden tidak semuanya memiliki kemampuan (capacity) yang sebagaimana diharapkan publik, kita semua juga tahu dan sepakat. Bahwa Presiden SBY sangat perlu melakukan berbagai perubahan, termasuk manajemen pemerintahan dan kalau perlu perobakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II, saya kira juga sebuah keinginan yang memiliki validitas tinggi. Demikian juga, kendati tingkat dukungan publik terhadap Pemerintahan dan tingkat popularitas Presiden masih cukup tinggi, tetapi jika dibanding dengan lima tahun seblumnya, jelas mengalami penurunan yang serius.

Namun, saya sangat tidak sepakat dengan pandangan Pak RR dan kawan-kawan di Gerakan Indonesia Bangkit (GIB) bahwa Pemerintahan Pak SBY harus diganti. Walaupun ajakan Pak RR dan saudara Adhie Massardhie (AM) belum sampai secara eksplisit bicara mengenai impeachment atau pemakzulan (apalagi penurunan dengan paksa), tetapi saya kira ajakan tersebut juga kurang bijaksana dan dapat berdampak sangat negatif terhadap kehidupan demokrasi dan proses reformasi yang sedang berjalan.(http://detiknews.com/read/2010/10/12/162214/1462613/10/rizal-ramli-jika-sby-tidak-berubah-rakyat-yang-akan-bergerak).

Mungkin saya termasuk apa yang disebut sebagai kaum minimalis dalam urusan memahami proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Saya sangat sependapat dengan kritik bahwa Reformasi ini sudah mulai kehilangan elan dan bahkan ada kecenderungan dipakai sebagai kedok untuk menciptakan sebuah sistem politik yang justru kontraproduktif terhadap demokrasi, yaitu apa yang disebut kartelisasi politik. Toh cara memperbaiki berbagai kesemrawutan dan kebuntuan dalam demokrasi di negeri ini tidaklah harus melalui cara bongkar pasang, dalam hal ini mengganti Pak SBY di tengah jalan. Saya lebih cenderung menggunakan paradigma gradualis (yang dulu juga sering dibela oleh alm. Gus Dur) mengingat kondisi reformasi kita memang sejak awal mengikuti paradigma seperti itu. Belum lagi kalau dibayangkan jika terjadi keributan di kalangan elit, belum tentu saat ini akan nyambung dengan publik di akar rumput (grass-roots), karena pihak yang disebut belakangan itu juga semakin kehilangan kepercayaan terhadap pihak yang pertama.

Menurut hemat saya, ajakan GIB menjadi kontraproduktif ketika kelompok yang mengklaim diri sebagai bagian dari pekerja demokrasi itu ternyata malah tidak cukup sabar dan setia serta konsisten memperkuat sistem. Kesan yang bisa muncul di benak publik terhadap gagasan Pak RR dkk adalah bahwa teman-teman yang terhormat dari GIB itu mengompori dan memberi legitimasi bagi sebuah upaya anti-demokrasi atas nama demokrasi. Saya khawatir bahwa cara membaca politik dari kelompok elit ini terlalu jauh mengawang dan tidak mau mengkonsultasikannya dengan rakyat banyak, khususnya yang berada di bawah sana. Sehingga apa yang menurut pikiran mereka harus terjadi kemudian dianggap itu pula yang dipikirkan rakyat. Inilah yang sering disebut sebagai sebuah reifikasi dari pikiran elit yang malah merusak. Reifikasi, seperti kita tahu, adalah sikap menganggap sesuatu yang ada dalam pikiran atau konsep seakan-akan sudah ada dalam kenyataan. Dalam filsafat  ilmu pengetahuan, reifikasi sangat beresiko membuat seseorang melakukan sesuatu yang keliru, hanya karena menganggap konsep atau teori yang ada dalam pikirannya sudah benar-benar terwujud sebagai sesuatu fakta.

Saya berharap bahwa kritik ini dibaca oleh Pak RR dan teman-teman di GIB sehingga akan terjadi dialog yang lebih produktif  bagi kesinambungan proses panjang Reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Saya sangat mendukung semangat untuk mengembalikan ruh Reformasi dan praktik demokrasi yang saat ini mulai melenceng atau tidak konsisten, namun caranya bukanlah dengan melakukan upaya di luar sistem. Bagaimanapun ada perbedaan kualitatif antara rezim Orba dengan yang sekarang sedang berkuasa. Kalau para elit pro-demokrasi salah memberi pemahaman dan contoh kepada rakyat, maka jangan pula menyalahkan rakyat jika mereka kemudian tidak akan mau mempercayai elite tersebut dan seluruh perilakunya.

Share:

1 comments:

  1. Setuju pak, menurut pendapat saya yang orang awam politik dan kalangan akar rumput bahwa yang sebetulnya terjadi saat ini, adalah orang-orang yg berkoar-koar semacam rizal ramli itu hanyalah pemain lama yang ingin mendapatkan mainannya kembali, orang-orang baru yang ingin mendapat nama dengan mengatasnamakan rakyat semata, kemudian peran media yang sangat besar dalam membentuk suatu opini masyarakat tidak terlepas dari kepentingan politik pemiliknya. Pada kenyataannya kalau mereka itu sempat turun bukan hanya didaerah jawa, tapi ke sumatra, kalimantan pada umumnya rakyat itu hanya menginginkan ketenangan, hanya segelintir orang politik itu saja yang senang ribut-ribut, para mahasiswa yang tengah euforia berdemokrasi tapi cenderung anarkis bukanlah pertanda yang baik bagi regenarisasi pemimpin dikemudian hari, kondisi ini bisa menciptakan calon-calon pemimpin demokrasi diktator yaitu orang-orang yang merasa berdemokrasi tapi dengan cara memaksakan pendapat, melalui jalan kekerasan.

    ReplyDelete

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS