Wednesday, December 1, 2010

"WIKILEAKS": SEBUAH KEBOCORAN ATAU OPERASI KONTRA-INTELIJEN?

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


Heboh informasi bocoran dari intelijen AS yang bersumber dari Wikileaks telah melanda dunia dengan segala macam akibatnya: mulai dari sumpah serapah Gedung Putih sampai bantahan-bantahan dari Istana-istana Raja-raja dan Kepresidenan serta Kementerian-kementerian Luar Negeri di hampir seantero dunia. Pasalnya, bocoran itu memuat rekaman berbagai pembicaraan melalui kabel diplomatik terkait dengan berbagai masalah polugri yang sangat sensitif seperti perang Afghanistan, Irak, serangan terhadap kelompok Al Qaeda di Yaman, ancaman nuklir Iran, berbagai reaksi kekhawatiran dari negara-negara sahabat AS di Timteng, komentar-komentar para petinggi negara-negara terhadap masalah-masalah geopolitik dan geostrategi, dan masih banyak lagi.

Wikileaks, sebagai sumber sudah kali yang kedua mengirimkan ratusan ribu rekaman pembicaraan kabel seperti itu. Yang pertama pada bulan Oktober lalu, ketika berbagai media internasional di AS dan Eropa mendapat "kiriman" bocoran laporan intel langsung dari kancah perang Afghanistan dan Irak. Bocoran tersebut sangat detail, termasuk rekaman komunikasi antara serdadu-serdadu dengan komandannya pada saat operasi tempur sedang berlangsung dan berbagai dokumen lain, yang sangat sensitif dan dapat membahayakan personil-personil militer dan sipil terkait. Kini Wikileaks mengirim "bocoran" yang sama dan sebagaimana sebelumnya, media-media raksasa seperti Washington Post (Wapo) dan New York Times (NYT) kemudian merilisnya setelah melakukan berbagai "self-censorship" (sensor sendiri). Kendati NYT tidak mau memuat nama-nama orang yang dianggap sensitif dan juga beberapa informasi yang dianggap bisa membahayakan inteijen AS di luar negeri, tetap saja informasi yang dibeberkan melalui beberapa artikel panjang itu kini menjadi sumber kehebohan yang luar biasa.

Yang paling menohok tentu saja adalah informasi terkait berbagai kebijakan perang dan polugri AS di Timteng, khususnya Afghanistan, Iraq, Irak, Pakistan, Arab Saudi, Qatar, Israel, dan Iran. Informasi yang paling menghebohkan adalah bagaimana Iran telah dipandang sebagai ancaman oleh hampir semua negara Timteng, sehingga AS diminta untuk segera melakukan suatu serangan militer yang ditujukan untuk, menurut istilah Raja Arab Saudi, "memotong kepala ular berbisa" bernama rezim Mullah di Teheran. Kontan saja, kegalauan segara munul, baik dari Gedung Putih maupun dari negara sahabat dan musuhnya. Kontroversi terjadi bukan hanya mengenai keabsahan dan validitas informasi hasil bocoran Wikileaks itu, tetapi juga dimensi politik dan strategis dari penyebaran informasi intelijen yang sensitif tersebut.

Bagi media seperti NYT tentu setelah mereka melakukan evaluasi dan investigasi mengenai otentisitas sumber dan subsatnsinya, dan ternyata memenuhi syarat untuk depublikasi, maka masalah implikasi bagi kebijakan polugri dan bahkan strategi keamanan global sudah bukan lagi tanggung jawabnya. Sebagaimana dikatakan oleh Pimred NYT, adalah hak publik AS untuk mengetahui dan memperoleh informasi terkait dengan masalah kebijakan polugri, termasuk penggelaran perang di Timteng dan Asia Selatan serta apa yang disebut sebagai "perang melawan terorisme" yang berskala global. Adalah tanggungjawab para pembuat kebijakan, baik di Kongress maupn Gedung Putih untuk menjelaskan kepada publik AS manakala ada hal-hal yang berpotensi berlawanan dengan Konstitusi ataupun garis kebijakan resmi yang sudah ada.

Namun, bagi negara-negara lain, baik sekutu maupun lawan AS, reaksi mereka bisa sangat berbeda. Iran, misalnya, dengan sangat tegas menyatakan bahwa pembocoran informasi intelijen dengan sumber Wikileaks tersebut, tidak lebih dan tidak kurang hanyalah sebuah subterfuge atau operasi kontra-intelijen AS dengan menggunakan tangan lain. Presiden Ahmadinejad maupun Ketua Parlemen Iran, Ali Larijani,  menganggap ulah pembocoran informasi tersebut bertujuan memecah-belah soliditas negara-negara Timteng dengan Iran, dan menciptakan ketakutan dunia internasional terhadap Iran yang dikabarkan menguasai persenjataan penghancur massal, khususnya nuklir!. Bahkan, menurut Larijani, seandainya AS memang berani dan mampu melakukan serangan terhadap Iran, pastinya ia "tidak akan minta izin kepada Arab Saudi atau Uni Emirat Arab." Walhasil, bagi pihak yang kritis terhadap AS,  maka informasi yang datang dari Wikileaks hanyalah suatu alat propaganda memalui inetlijen belaka.

Alasan Iran, saya kira, cukup masuk akal karena dalam perang urat syaraf penggunaan informasi intelijen untuk menciptakan kekhawatioran dan ketakutan lawan bukanlah hal yang mustahil. Dari pengalaman Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet dahulu, kasus-kasus kontra intelijen melalui bocor-membocorkan dan disinformasi seperti itu sangat banyak ditemui.  Piihak AS bisa saja membesar-besarkan kekuatan Soviet atau sebaliknya, dan kjemudian dibalas dengan kontra manuver agar tercipta suatu situasi ketegangan, kekhawatiran, dan ketakutan. Disinformasi sebagai senjata untuk memenangkan perang (war) dan bukan hanya pertarungan (battle), adalah sama ampuhnya dengan pemakaian senjata.

Namun demikian perlu juga diketahui bahwa dalam kasusu pembocoran informasi intelijen oleh Wikileaks, bukan saja lawan AS yang dicoba dirugikan, tetapi terdapat berbagai informasi yang bisa sangat merugikan negara Paman Sam tersebut. Sehingga, menganggap Wikileaks hanya semata propaganda AS saya kira kurang tepat juga. Dampak dari pembocoran ini toh sudah terlihat dari reaksi keras Menlu AS, Hillary Clinton, yang segera mengirim peringatan kepada beberapa Kepala Negara dan diplomat asing agar bersiap-siap menghadapi munculnya berita-berita yang mengejutkan dan mempermalukan mereka. Demikian juga upaya-upaya untuk melakukan pembendungan terhadap penyiaran informasi tersebut melalui berbagai tindakan hukum.

Kita belum tahu secara persis bagaimana dampak konkret informasi intelijen ini terhadap kebijakan dan operasi militer AS di Timteng, Afghanistan, Pakistan, dan juga perang melawan terorisme di seluruh dunia. Yang sudah jelas adalah bahwa munculnya informasi intelijen ini telah semakin membuat posisi Presiden Obama makin sulit dalam rangka menyakin para sekutunya untuk memberikan dukungan atas kebijakan dan strategi polugrinya. Setidaknya, para sekutu AS di Timteng akan merasa dipermalukan di muka publik dan rakyat mereka sendiri yang mendapat akses informasi tersebut melalui media dan jejaring sosial. Bagi lawan AS seperti Iran, kendati menganggap informasi bocoran itu hanya sebuah subterfuge, toh ia juga dapat memanfaatkannya secara produktif bagi kepentingan polugrinya.

Pada akhirnya, Wikileaks adalah sebuah wake-up call bagi para pembuat kebijakan internasional, bahwa polugri sudah tidak bisa lagi didekati dengan model-model lama. Teknologi informasi yang tidak hanya menjadi monopoli negara kini telah mampu merobohkan tembok-tembok kerahasiaan dan membukanya bagi semua orang di seluruh dunia. Hasilnya? Bisa saja positif bisa saja negatif. Yang pasti perlu adanya keberanian untuk berubah!
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS