Tuesday, November 5, 2013

1 MUHARRAM/1 SURO: KREASI JENIUS BUDAYA JAWA






Peringatan 1 Muharram dan 1 Suro, selain merayakan pergantian tahun, sejatinya adlh momentum merayakan sebuah kreatifitas dan sekaligus kearifan budaya di negeri ini, khususnya di Tanah Jawa. Mungkin tidak ada khazanah budaya lokal yang seperti ini. Ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma (SAH) merubah tahun Saka menjadi tahun Jawa dengan mengadopsi tahun Hijriah, beliau memiliki visi yang sangat jauh melampaui masanya. Kini, peringatan 1 Suro adalah milik orang Jawa, tetapi juga bersamaan dengan 1 Muharram. Bahkan kata 'Suro' yg dalam bhs Jawa berarti 'kekuatan' (power), sebenarnya adalah dari kata "Asyura" dari bahsa Arab yg dipakai juga sebagai padanan Muharram. Kreatifitas SAH dalam mencari solusi dalam keberagaman dan perbedaan, bukan saja tetap bertahan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi ummat lainnya di Jawa. Gereja Katolik di DIY, misalnya, memaknai 1 Suro dengan misa khusus 1 Suro di Gereja Hati Kudus Ganjuran, Bantul. Ini adalah sebuah akulturasi budaya yang mengingatkan kita pada strategi para Walisongo ketika mereka membawa ajaran Islam ke tanah Jawa. Gereja Katolik mengadopsi peringatan 1 Suro dan menjadikannya sebagai bagian dari acara keagamaan yang khusus di Jogja. Bahkan di Ganjuran, dibangun juga candi yang memiliki simbolisasi Kekatolikan. Kekayaan dan kearifan budaya Jawa seperti ini sudah sepatutnya dilestarikan dan dikembangkan oleh seluruh pemangku budaya di Indonesia. Bukan malah dianggap sebagai penyesatan atau bentuk penyimpangan terhadap ajaran agama, sebagaimana selalu digembar-gemborkan oleh kaum fundamentalis. Merayakan 1 Muharram dan 1 Suro adalah bentuk solidaritas dan kesatuan tujuan, tanpa menafikan perbedaan. Ia juga sekaligus menghargai para jenius lokal (local genius) seperti SAH, para Wali, para Ulama, dan pemimpin-2 agama lainnya. SELAMAT TAHUN BARU HIJRIYYAH DAN TAHUN BARU JAWA, 1 MUHARRAM 1435H/1 SURO 1947 (ALIP).
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS