Sunday, May 25, 2014

KETIKA HIPOKRISI DIANGGAP NORMAL DLM KEHIDUPAN BERNEGARA

Fenomena elit Golkar yang "desersi" atau "migrasi" atau "hijrah" dari satu kubu capres yg satu kepada yg lain, bukanlah barang baru. Sejak 2004, ketika SBY menjadi capres fenomen ini sudah ada dan dianggap sebagai sebuah kewajaran. Alasan yg dipakai tentu bermacam-macam dan publik pun tidak terlalu peduli. Ini kemudian juga diikuti oleh parpol-parpol lain, dan publik pun bukan saja menerima tetapi malah ikut mendukung fenomena ini sesuai dengan pandangan masing-masing. Kalau cocok dengan dukungannya, maka didukung dan dianggap sebagai sebuah tindakan yg bijak dan terpuji, kalau tidak tentu dihujat dn dicaci.

Tetapi, apakah praktik seperti itu sudah benar dan etis? Ataukah ini hanya semacam petunjuk bahwa antara apa yg menjadi keinginan parpol dan elitnya tidak harus dianggap sebagai sesuatu yg serius dan, karenanya, dikalahkan oleh pertimbangan kepentingan pribadi (yg tentu saja dibungkus dengan retorika dan justifikasi yg bagus) ?. Lalu apa gunanya ada partai politik yg memiliki aturan disiplin yang mengikat para anggota, kader, dan elitnya jika pada akhirnya semuanya tak bisa dipegang? Bahkan migrasi dan/atau desersi tsb (tergantung darimana melihatnya) lantas dicap sebagai sebuah strategi politik yang "canggih" dan "menguntungkan" parpol tsbserta kepentingannya.

Hemat saya, jika hanya melihat fenomena ini dari sisi legal-formal, tentunya tidak ada masalah. Publik yang mempertanyakan fenomena tsb malah akan dituding tak paham politik atau bahkan naif. Parpol kan bukan organisasi seperti militer, yang jangankan mau pindah ke organisasi lain, bahkan tidak hadir absensi harian pun akan kena tindakan disiplin yang berat, dan masuk kategori desersi! Menjadi bagian dari sebuah parpol tampaknya tidak menganggap penting faktor disiplin dan loyalitas thd ideologi dan komitmen. Karena semuanya lantas dikembalikan pada sebuah jredo "politik itu kepentingan" atau "politik adalah seni dari segala kemungkinan". Sehingga, hipokrisi dan ketidakloyalan malah dibalik maknanya menjadi kecerdasan dan kecanggihan!

Namun, hemat saya, masyarakat dan bangsa yang membiarkan fenomena seperti itu berkembang, dan menganggapnya normal adalah masyarakat  dan bangsa yang sakit dan sedang mebuka jalan bagi kehancurannya. Hanya tinggal selangkah lagi untuk memberi legitimasi kepada para parpol dan politisi tsb jika mereka mau menjual bangsa dan negaranya, atas nama kepentingan dan kecanggihan berpolitik. Maka kita tak perlu heran jika di era pasca-reformasi ini rasa peduli kepada kemandirian bangsa dan negara, serta kesadaran thd keamanan nasional semakin tergerus. Kita juga tidak perlu terlalu kaget kenapa bahkan Pancasila, yg notabene adlh landasan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, makin tidak laku dan paling banter hanya lip-service belaka!

Bukan demokrasi atau reformasi benar yg jadi pangkal sengkarut bangsa dan NKRI, tetapi sejatinya para elit penyelenggara negara dan rakyat sendiri yang mendistorsi makna demokrasi dan reformasi lah yg menjadi sang terdakwa. Ketika elite dan rakyat sudah sepakat bhw politik membolehkan kemunafikan dan kebohongan terstruktur, massif, dan berkesinambungan, maka tak butuh waktu yg lama bagi bangsa dan negara ini untuk menjadi pengisi museum sejarah antar-bangsa. Semoga masih ada kesadaran yg tersisa dalam diri kita utk mengoreksinya!


Simak tautan ini:

http://nasional.kompas.com/read/2014/05/25/0700107/Dukung.Jokowi-JK.Indra.Piliang.Mundur.dari.Pengurus.Golkar
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS