Bukan rahasia umum lagi bahwa forum keagamaan bahkan yang terkait dengan ritual tidak imun dari pesan-pesan politik. Khotbah, misalnya, adalah salah satunya. Baik di dalam kalangan Islam maupun non Islam, kegiatan tsb sangat terbuka bagi munculnya pesan-pesan politik bagi jemaat. Jika pesan politik tersebut dikemas dalam suatu konteks makro dan terkait dengan kepentingan ummat, bangsa, dan negara pada umumnya, maka pesan tersebut tidak akan menjadi sensitif dan kontroversial. Tetapi jika kemasan itu talah sedemikian rupa sehingga menjurus kepada kampanye dukung mendukung calon-calon politisi (termasuk capres/cawapres), maka masalahnya menjadi lain. Ritual keagamaan menjadi ranah kampanye dan kemudian menjadi tempat saling menuding, saling menjelekkan, dan bahkan mungkin saling fitnah. Khotbah, jadinya, bukan saja menjadi tak sah secara ritual, tetapi gagal menjalankan fungsinya: sebagai wahana memberikan tausiah (pesan) moral kepada ummat. Ia lantas tak ada bedanya dengan kampanye politik biasa dan berpotensi memecah belah jemaat!
Itulah sebabnya aturan main mengenai kampanye Pemilu dengan tegas melarang penggunaan forum ritual yang ada kaitannya dengan khotbah sebagai wahana kampaye. Sayangnya, publik seringkali tidak terlalu peka dan aparat pengawas pemilu juga sami mawon alias setali tiga uang. Belum lagi secara teknis tampaknya masih belum ditemukan mekanisme pemantauan yang efektif terhadap kemungkinan penggunaan khotbah sebagai alat kampanye politik. Mengawasi dan memantau khotbah-kohtbah, termasuk khotbah Jum'atbagi ummat Islam, lantas dianggap sebagai salah satu cara utntuk mengurangi penyalahgunaan tsb.
Persoalan yg muncul adalah apakah pengawasan dan pemantauan tsb tidak akan dianggap sebagai sebuah tindakan sensorship atau pengintelan. Apakah inisiatif yg dilakukan oleh sebagian pendukung pasangan Jokowi-JK untuk memantau Khotbah Jum'at merupakan tindakan yg secara hukum bisa dipertanggung- jawabkan, dan secara politik tidak beresiko menjadi bomerang bagi diri sendiri? Saya kira pihak PDIP harus memikirkan dengan sangat serius implikasi dari kebijakan seperti itu. Bukan berarti saya sepakat dengan pembiaran Khotbah yang sudah menjadi kampanye capres, karena pada prinsipnya hal itu memang melanggar hukum. Saya hanya mengingatkan bahwa menyikapi masalah yang satu ini tidak semudah yg dibayangkan, karena dalam kultur masyarakat kita soal pembedaan antara ruang publik dan ruang privat masih sangat tidak jelas. Demikian pula apa yang dianggap sebagai pesan moral dengan pesan politik (termasuk mendukung salah satu pasangan capres/cawapres) seringkali tak mudah dibedakan.
Walhasil, salah satu tantangan dalam demokrasi di Indonesia bagaimana membangun sebuah kultur dan etika berkomunikasi di ruang publik yg rasional dan mencerahkan. Pekerjaan rumah bagi elit dan warganegara untuk bersama-sama mencari solusi agar ruang publik dan ruang privat tidak terlalu banyak warna abu-abu, walaupun juga mustahil untuk dikontraskan secara hitam putih. PDIP telah memulai upaya ini walaupun mungkin lebih didorong oleh reaksi terhadap maraknya pemakaian wacana keagamaan untuk kepentingan politik pencapresan. Pemerintah dan penyelenggara Pemilu seharusnya lebih proaktif, demikian pula para elite keagamaan, dalam mengantisipasi fenomena ini.
Simak tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2014/05/30/157379/Eva:-Bukan-Tidak-Mungkin-Kader-PDIP-Seluruh-Indonesia-Disuruh-Pantau-Materi-Khotib-
0 comments:
Post a Comment