Sunday, September 14, 2014

TAFSIR DISTORTIF SILA KE 4 PANCASILA DEMI KEKUASAAN

Kekuasaan, memang bisa seperti obat bius. Jika digunakan sesuai kadar dan fungsinya, obat bius bisa membantu penyembuhan dari sakit dan bermanfaat utk kesehatan manusia. Tetapi jika overdosis, maka akan sangat berbahaya. Manusia yg secerdas dan sesehat apapun, jika telah overdosis dengan kekuasaan akan cenderung kehilangan akal sehat dan nuraninya. Apapaun akan dilakukan, termasuk menghianati dan menjual harga diri serta nalar sehat.

Inilah yg saya pahami ketika Waketum Fadli Zon (FZ) bicara soal Pancasila, khususnya Sila ke 4, "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan" dlm kaitan dengan RUU Pilkada, khususnya kontroversi antara pilihan kepala daerah. FZ mengatakan: "Sudah jelas demokrasi menurut sila keempat, demokrasi perwakilan. Kalau mau pilkada langsung, ubah dulu Pancasila." Statemen ini menurut hemat saya adalah tafsir yg distortif dan secara nalar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa distortif ? Sebab FZ sejatinya bicara ttg dua hal yg berbeda, tetapi mencampuradukkannya sehingga seakan-akan sama. Demokrasi memang bisa dilaksanakan melalui dua mekanisme: secara langsung (direct democracy), dan tidak langsung melalui perwakilan (indirect cemocracy, representative democracy). Sila ke 4 Pancasila, menunjukkan bahwa mekanisme demokrasi, bisa dilakukan secara perwakilan, tetapi tidak menentukan mekanisme tsb sebagai SATU-SATUNYA. Yang ditekankan oleh Sila ke 4 adalah bhw esensi berdemokrasi adalah bhw kedaulatan rakyat harus selalu dilaksanakan dg landasan etik berupa hikmat kebijaksanaan, dan selalu mengutamakan permusyawaratan ketika mengambil suatu keputusan utk kepentingan bersama.

Itulah sebabnya dlm praktik demokrasi di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, ada dua model mekanisme dalam hal pemilihan, baik legislatif maupun eksekutif: langsung dan tidak langsung. Kedua-duanya sama sama sah dan sama-sama Pancasilais. Itu sebabnya dlm pemilihan kepala desa, dilakukan langsung, demikian pula pemilihan Presiden (Pilpres), dan juga pemilihan legislatif (Pileg). Jika pemilihan-2 langsung tidak sah dan tidak Pancasilais, maka seluruh Pileg sejak 1955 sampai 2014 adalah menyalahi Pancasila, terutama Sila ke 4. Demikian pula semua pemilihan kepala desa yg terjadi di seantero tanah air yg menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Jika FZ sebagai petinggi Partai Gerindra menerima dan menikmati hasil Pileg (DPR/D) dan mengikuti dua kali Pilpres secara langsung, berarti FZ tidak konsisten dengan statemennya.

Lalu bagaimana dg mekanisme pilihan Kepala Daerah? Saya setuju 100% bahwa mekanisme langsung maupun tidak langsung adalah Konstitusional dan sesuai Sila ke 4 Pancasila.  Maka jika FZ mengatakan bahwa jika ingin pilihan langsung harus mengubah dahulu Sila ke 4 Pancasila, maka berarti telah terjadi distorsi atau penyelewengan tafsir thd Pancasila serta Konstitusi. FZ dan Koalisi Merah Putih (KMP) serta para pendukungnya, tentu berhak memperjuangkan mekanisme pilihan kepala daerah lewat DPRD, tetapi tidak bisa mengatakan bhw pilihan langsung bertentangan dg Sila ke 4 Pancasila. Hak yg sama dimiliki mereka yang menginginkan mekanisme pilihan langsung (pilsung). Jika pendukung pilsung itu mengatakan pilihan lewat DPRD tidak Pancasilais, mereka juga salah.

Persoalannya adalah dari kedua mekanisme tsb mana yang lebih baik dan lebih sesuai dengan cita-2 reformasi dan praktik demokrasi serta pemajuan demokrasi di negeri ini? Itu saja. Dalam perdebatan di Parlemen dan perbincangan di ruang publik boleh-2 saja berbeda pendapat melalui adu argumentasi yang nalar dan bukti-2 yang nyata. Namun jika perbincangan telahdistortif dan manipulatif melalui retorika yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, maka harus dikritisi dan ditolak. Pada akhirnya, rakyat Indonesia yang akan menjadi subyek dan obyek dari pelaksanaan demokrasi. DPR dan DPRD adalah perwakilan rakyat, bukan rakyat itu sendiri. Sejauh para wakil rakyat memang masih mengikuti kehendak rakyat, maka tentu rakyat akan mendukung, Tetapi jika para wakil rakyat di Senayan melakukan manipulasi dan mencederai amanat para pemilihnya, maka mereka akan kehilangan trust dan dukungan rakyat.

Sejarah Indonesia sudah beberapa kali menunjukkan bukti bhw ketika para politisi dan wakil rakyat melawan rakyatnya sendiri, maka merekalah yg akan kalah. Jadi saya mengingatkan FZ dkk dlm KMP agar tetap berjuang sesuai kaidah-kaidah dan etika yang disepakati oleh rakyat Indonesia. Tafsir-2 distortif dan manipulatif thd Pancasila tdk akan mempan dan tdk akan bertahan, seperti yg pernah dilakukan oleh rezim Orla dan Orba dahulu.


Simak tautan ini:

http://nasional.kompas.com/read/2014/09/13/11133621/Fadli.Zon.Kalau.Mau.Pilkada.Langsung.Ubah.Dulu.Pancasila
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS