Catatan Denny JA (DJA)
tentang empat blunder Presiden Jokowi, saya kira menarik utk dicermati
dan dikritisi. Posisi DJA yang sebelumnya merupakan salah seorang
pendukung capres Jokowi sangat penting jika saat ini dia justru berbalik
menjadi oposan. Apalagi sebagai pemilik sebuah lembaga survei yang
berpengaruh (LSI), tentu pandangannya tidak sekadar karena sentimen
pribadi, tetapi juga ditopang oleh jajak pendapat yang kini semakin
mendapat tempat dalam mempengaruhi keputusan-2 publik dan juga trend
(kecenderungan) politik. Demikian juga, catatan DJA perlu dikaitkan
dengan performa Presiden Jokowi selama sebulan terakhir ini yang menjadi
perhatian publik, pasar, korporasi, dan juga dunia internasional.
Blunder pertama dan kedua yg disebut DJA, tentang janji Jokowi mengenai kabinet yg ramping dan non-transaksional, kini mulai mendapat banyak sorotan bukan hanya dari oposisi, tetapi juga dari dalam kubu PDIP sendiri. Tak kurang dari tokoh PDIP seperti Effendi Simbolon (ES) yang melontarkan kritik keras thd beberapa menteri yg menurutnya neoliberal dan menguasai sektor-2 strategis Migas. Kualitas Menteri dari PDIP seperti Yasonna Laoly (YL) dan Tjahjo Kumolo (TK) serta Puan Maharani, juga dipertanyakan ketika mereka menghandel masalah-2 yg menjadi tupoksinya. Demikian pula kemampuan komunikasi publik para Menterinya seperti Menteri ESDM dan Menkeu dalam menyosialisasikan kebijakan sensitif seperti kenaikan BBM yang masih kontroversial. Mungkin publik masih akan memberi kesempatan kepada mereka utk memperbaiki kapasitas-2 pribadi dan itu sangat mungkin dilakukan. Yang sangat susah adalah jika mereka-2 sdudah terkait dan/atau mewakili kepentingan ideologis dan kelompok-2 yang sejatinya bertentangan secara diametral dengan paradigma yg digunakan Presiden Jokowi dalam memerintah.
Blunder ketiga dan keempat yg ditunjukkan DJA, hemat saya masih sulit utk digunakan sebagai alat penilai bagi Presiden Jokowi. Masalah kenaikan harga BBM memang masih pro kontra di kalangan elite politik, khususnya pihak yang menjadi oposisi seperti KMP. Namun kesiapan Presiden Jokowi dalam mengantisipasi reaksi negatif tsb juga sangat jelas dan bisa diterima oleh pasar serta publik. Hasil jajak pendapat DJA saya kira lebih menunjukkan reaksi sesaat dan perlu dicermati secara hati-2 dan, jika perlu, diikuti dg jajak pendapat beberapa bulan setelah kebijakan BBM itu dibuat dan bagaimana Pemerintah Jokowi meresalisasikan kompnesai dan realokasi subsidi BBM seperti yg dijanjikan. Mengenai Jaksa Agung baru, saya melihat reaksi negatif yg muncul tidak cukup signifikan. Namun Jakgung baru akan menjadi salah satu titik yang menjadi sorotan publik jika ia tak mampu menunjukkan komitmennya pada pemberantasan korupsi seperti KPK.
Saya kira catatan-2 DJA perlu diapresiasi dan diperhatikan oleh Presiden Jokowi karena mencerminkan keprihatinan dari sebagian publik terhadap perkembangan pemerintahan beliau. Harapan publik yang sangat besar kepada pemerintah baru bisa saja menjadi pendorong dan penyemangat, tetapi jika harapan tersebut tersia-sia justru akan berbalik merugikannya.
Simak tautan ini:
http://politik.rmol.co/read/2014/11/21/180642/Denny-JA-Catat-Empat-Blunder-Jokowi-
Blunder pertama dan kedua yg disebut DJA, tentang janji Jokowi mengenai kabinet yg ramping dan non-transaksional, kini mulai mendapat banyak sorotan bukan hanya dari oposisi, tetapi juga dari dalam kubu PDIP sendiri. Tak kurang dari tokoh PDIP seperti Effendi Simbolon (ES) yang melontarkan kritik keras thd beberapa menteri yg menurutnya neoliberal dan menguasai sektor-2 strategis Migas. Kualitas Menteri dari PDIP seperti Yasonna Laoly (YL) dan Tjahjo Kumolo (TK) serta Puan Maharani, juga dipertanyakan ketika mereka menghandel masalah-2 yg menjadi tupoksinya. Demikian pula kemampuan komunikasi publik para Menterinya seperti Menteri ESDM dan Menkeu dalam menyosialisasikan kebijakan sensitif seperti kenaikan BBM yang masih kontroversial. Mungkin publik masih akan memberi kesempatan kepada mereka utk memperbaiki kapasitas-2 pribadi dan itu sangat mungkin dilakukan. Yang sangat susah adalah jika mereka-2 sdudah terkait dan/atau mewakili kepentingan ideologis dan kelompok-2 yang sejatinya bertentangan secara diametral dengan paradigma yg digunakan Presiden Jokowi dalam memerintah.
Blunder ketiga dan keempat yg ditunjukkan DJA, hemat saya masih sulit utk digunakan sebagai alat penilai bagi Presiden Jokowi. Masalah kenaikan harga BBM memang masih pro kontra di kalangan elite politik, khususnya pihak yang menjadi oposisi seperti KMP. Namun kesiapan Presiden Jokowi dalam mengantisipasi reaksi negatif tsb juga sangat jelas dan bisa diterima oleh pasar serta publik. Hasil jajak pendapat DJA saya kira lebih menunjukkan reaksi sesaat dan perlu dicermati secara hati-2 dan, jika perlu, diikuti dg jajak pendapat beberapa bulan setelah kebijakan BBM itu dibuat dan bagaimana Pemerintah Jokowi meresalisasikan kompnesai dan realokasi subsidi BBM seperti yg dijanjikan. Mengenai Jaksa Agung baru, saya melihat reaksi negatif yg muncul tidak cukup signifikan. Namun Jakgung baru akan menjadi salah satu titik yang menjadi sorotan publik jika ia tak mampu menunjukkan komitmennya pada pemberantasan korupsi seperti KPK.
Saya kira catatan-2 DJA perlu diapresiasi dan diperhatikan oleh Presiden Jokowi karena mencerminkan keprihatinan dari sebagian publik terhadap perkembangan pemerintahan beliau. Harapan publik yang sangat besar kepada pemerintah baru bisa saja menjadi pendorong dan penyemangat, tetapi jika harapan tersebut tersia-sia justru akan berbalik merugikannya.
Simak tautan ini:
http://politik.rmol.co/read/2014/11/21/180642/Denny-JA-Catat-Empat-Blunder-Jokowi-
0 comments:
Post a Comment