Saya sendiri belum sempat menonton
film yang berjudul "Senyap" (Look of Silence) ini, demikian pula film
sebelumnya, berjudul "Jagal" (Act of Killing). Terlepas dari itu, saya
menganggap reaksi berlebihan, baik pihak yang mengkapitalisasi film-2
tsb maupun yang menolak dg menggunakan aksi kekerasan. Menerima dan
menolak sebuah produk seperti film-2 ini merupakan bagian dari hak
asasi. Namun jika penolakan dan penerimaan merupakan bagian dari
kampanye utk digunakan sebagai alat bargaining politik atau kepentingan
lain yang akan mendiskreditkan serta stigmatisasi kelompok tertentu,
saya tidak sependapat dan dengan segala hormat akan menentangnya.
Kedua film ini adalah hanya sekian dari produk-2 yang telah, sedang, dan akan dibuat mengenai Indonesia dan (tragedi) sejarah bangsa ini. Tema dan settingnya adalah tentang PKI dan peristiwa pembunuhan yang terjadi pada 1965-1966 di daerah-2. Saya berpandangan bhw sebagai sebuah produk seni, sebuah film tak akan sepi dari tafsir dari pembuatnya dan juga mereka yang menontonnya. Jika temanya adalah sejarah, maka interpretasi atau tafsir thd peristiwa menjadi tumpang tindih atau multitafsir. Film selalu merupakan 'salah satu' tafsir, sehebat apapun ia dibuat dan dianggap. Sementara itu, tafsir adalah kegiatan yang tidak terpisahkan dari relasi-2 kekuasaan dan representasinya. Dan kekuasaan, dalam hal ini, bukan hanya yang merepressi atau melarang dan menekan, tetapi juga yang produktif, yang memungkinkan adanya perlawanan thd penindasan. Menonton, memahami, mengapresiasi film "Senyap" dan "Jagal" pun tidak akan lepas dari keterlibatan kita dlm jejaring relasi-relasi kekuasaan tersebut.
Karenanya akan terlalu terburu-2 jika larangan menonton film-2 tsb diterapkan secara gebyah uyah karena kekhawatiran akan menciptakan keresahan dan konflik atau ancaman thd keamanan nasional. Sebab hal itu berarti kita hanya melihat satu sisi saja dari kekuasaan yang direpresentasikan. Bukan tidak mungkin bahwa ada juga konsekuensi lain yang justru berlawanan dengan 'maksud' sipembuat film atau kampanye peredaran film-2 tsb. Alih-alih akan terjadi keributan, bisa saja film-2 tsb melahirkan kesadaran baru tentang kekerasan atas nama politik dan ideologi serta rezim kekuasaan tertentu. Mungkin saja semula ada maksud utk membuat stigma thd kelompok tertentu, tetapi hasilnya malah bisa sebaliknya. Apalagi jika kemudian ada tandingan memproduksi film dengan tema sama tetapi tafsir yang berbeda. Sebab aksi kekerasan bukan monopoli satu pihak saja, tetapi juga dilakukan oleh berbagai pihak, baik komponen-2 negara maupun masyarakat sipil...
Kini ada upaya membatasi tayangan film-2 seperti itu sebagai cara utk mengantisipasi kekhawatiran terjadinya reaksi-reaksi yang beresiko keamanan. Sampai tingkat tertentu, Negara dan aparat negara memang punya legitimasi melakukan kebijakan seperti itu. Namun harus diingat bhw dalam dunia yang kian terbuka, penyebaran film-2 tsb juga sulit dibendung secara total!. Saya masih bisa memahami jika ada daerah tertentu yang punya kebijakan memberikan batasan (bukan melarang total) menonton film-2 seperti itu, karena sensitifitas dan kondisi setempat. Itupun tidak bisa berlaku selamanya, sebab potensi pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan tinggi. Dan faktanya ada daerah yang mengizinkan penayangan film-2 itu, bahkan pihak TNI pun ikut nobar, dan ada pula daerah yang masih belum memberikan izin. Walhasil, suatu kebijakan publik yang benar-2 memperhitungkan kondisi masyarakat sangat diperlukan agar gerak bangsa dan negara ini dalam proses demokrasi tetap berjalan lancar dan mengurangi anomali-2 serta kontradiksi.
Kita perlu terus menerus belajar dari sejarah, baik yang menyakitkan maupun yang membanggakan. Seperti kata pepatah, barangsiapa yang melupakan belajar dari (tragedi) sejarahnya, akan mendapat kutukan berupa mengulangi hal yang sama. Tragedi seperti G-30-S PKI dan yang sejenisnya tentunya tidak boleh terulang kembali di masa depan.
Simak tautan ini:
http://www.tempo.co/read/news/2015/03/11/058649023/Nobar-Film-Senyap-UIN-Yogya-Digeruduk-Massa
Kedua film ini adalah hanya sekian dari produk-2 yang telah, sedang, dan akan dibuat mengenai Indonesia dan (tragedi) sejarah bangsa ini. Tema dan settingnya adalah tentang PKI dan peristiwa pembunuhan yang terjadi pada 1965-1966 di daerah-2. Saya berpandangan bhw sebagai sebuah produk seni, sebuah film tak akan sepi dari tafsir dari pembuatnya dan juga mereka yang menontonnya. Jika temanya adalah sejarah, maka interpretasi atau tafsir thd peristiwa menjadi tumpang tindih atau multitafsir. Film selalu merupakan 'salah satu' tafsir, sehebat apapun ia dibuat dan dianggap. Sementara itu, tafsir adalah kegiatan yang tidak terpisahkan dari relasi-2 kekuasaan dan representasinya. Dan kekuasaan, dalam hal ini, bukan hanya yang merepressi atau melarang dan menekan, tetapi juga yang produktif, yang memungkinkan adanya perlawanan thd penindasan. Menonton, memahami, mengapresiasi film "Senyap" dan "Jagal" pun tidak akan lepas dari keterlibatan kita dlm jejaring relasi-relasi kekuasaan tersebut.
Karenanya akan terlalu terburu-2 jika larangan menonton film-2 tsb diterapkan secara gebyah uyah karena kekhawatiran akan menciptakan keresahan dan konflik atau ancaman thd keamanan nasional. Sebab hal itu berarti kita hanya melihat satu sisi saja dari kekuasaan yang direpresentasikan. Bukan tidak mungkin bahwa ada juga konsekuensi lain yang justru berlawanan dengan 'maksud' sipembuat film atau kampanye peredaran film-2 tsb. Alih-alih akan terjadi keributan, bisa saja film-2 tsb melahirkan kesadaran baru tentang kekerasan atas nama politik dan ideologi serta rezim kekuasaan tertentu. Mungkin saja semula ada maksud utk membuat stigma thd kelompok tertentu, tetapi hasilnya malah bisa sebaliknya. Apalagi jika kemudian ada tandingan memproduksi film dengan tema sama tetapi tafsir yang berbeda. Sebab aksi kekerasan bukan monopoli satu pihak saja, tetapi juga dilakukan oleh berbagai pihak, baik komponen-2 negara maupun masyarakat sipil...
Kini ada upaya membatasi tayangan film-2 seperti itu sebagai cara utk mengantisipasi kekhawatiran terjadinya reaksi-reaksi yang beresiko keamanan. Sampai tingkat tertentu, Negara dan aparat negara memang punya legitimasi melakukan kebijakan seperti itu. Namun harus diingat bhw dalam dunia yang kian terbuka, penyebaran film-2 tsb juga sulit dibendung secara total!. Saya masih bisa memahami jika ada daerah tertentu yang punya kebijakan memberikan batasan (bukan melarang total) menonton film-2 seperti itu, karena sensitifitas dan kondisi setempat. Itupun tidak bisa berlaku selamanya, sebab potensi pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan tinggi. Dan faktanya ada daerah yang mengizinkan penayangan film-2 itu, bahkan pihak TNI pun ikut nobar, dan ada pula daerah yang masih belum memberikan izin. Walhasil, suatu kebijakan publik yang benar-2 memperhitungkan kondisi masyarakat sangat diperlukan agar gerak bangsa dan negara ini dalam proses demokrasi tetap berjalan lancar dan mengurangi anomali-2 serta kontradiksi.
Kita perlu terus menerus belajar dari sejarah, baik yang menyakitkan maupun yang membanggakan. Seperti kata pepatah, barangsiapa yang melupakan belajar dari (tragedi) sejarahnya, akan mendapat kutukan berupa mengulangi hal yang sama. Tragedi seperti G-30-S PKI dan yang sejenisnya tentunya tidak boleh terulang kembali di masa depan.
Simak tautan ini:
http://www.tempo.co/read/news/2015/03/11/058649023/Nobar-Film-Senyap-UIN-Yogya-Digeruduk-Massa
0 comments:
Post a Comment