Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas adalah lembaga non-struktural yang tugas pokok dan fungsi (tupoksi)nya adalah 'membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.' (http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kepolisian_Nasional). Dengan tupoksi demikian seharusnya para anggota Kompolnas adalah mereka yang mampu menmpatkan diri sebagai bukan saja pakar dalam bidang-bidang terkait masalah kepolisian, tetapi juga mempunyai kapasitas untuk melihat persoalan secara lebih luas dan berorientasi kepada kebijakan nasional terkait kepolisian negara. Dengan acuan demikian, maka anggota Kompolnas akan mampu memberikan masukan kepada Presiden, bukan hanya dari perspektif yang mikro tetapi juga makro. Demikian pula anggota Kompolnas mampu memberikan penjelasan kepada publik secara faktual, komprehensif, dan edukatif, serta mengedepankan komitmen kepada kepentingan bangsa dan NKRI.
Sayangnya, kiprah Kompolnas akhir-akhir ini justru memperlihatkan bahwa lembaga ini menjadi bagian dari persoalan dan bukan bagian integral dalam menyelesaikan persoalan. Anggota-anggota Kompolnas, hemat saya, malah terjebak dalam konflik kepentingan politik yang terkait dengan Kepolisian sehingga ia malah menjadi target kritik tajam dari publik yang meragukan kapasitasnya sebagai pemberi masukan dan pertimbangan yang efektif kepada Presiden. Salah satu yang menonjol adalah kecenderungan bias atau pemihakan terhadap Polri dan bahkan ketidak beranian ketika berhadapan dengan peroalan yg memerlukan penyikapan tegas. Ini sangat tampak ketika pencakapolrian Komjen Budi Gunawan (BG) yg kemudian ternyata dibatalkan Presiden dan digantikan oleh Komjen (waktu itu) Badrodin Haiti (BH). Kompolnas menuai kritik keras karena dianggap tidak profesional dan ikut memperkeruh suasana sehubungan dengan proses pencalonan tsb (http://kupang.tribunnews.com/2015/02/10/tokoh-pdi-perjuangan-kritik-kompolnas).
Saat ini ketika kasus penangkapan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan (NB) sedang menjadi perhatian publik, sehingga Presiden Jokowi (PJ) perlu melakukan instruksi agar Polri tidak melakukan penahanan, Kompolnas justru memberi penjelasan kepada DPR yang, menurut hemat saya, cenderung bias (memihak) dan gagal utk melihat konteks yang lebih luas. Simak saja statemen Prof. Adrianus Meliala (AM) yg mengatakan bhwa penangkapan NB adalah sudah tepat dan murni masalah hukum serta tidak terkait dengan konflik Polri dan KPK. Lebih jauh AM menyebut pihak yang mengaitkan penangkapan NB dg konflik tsb adalah orang yang tidak mengerti hukum! Bagi saya, justru omongan AM sendiri yg bukan saja lebay, tetapi juga ekonomis dalam penalaran dan kejujuran. Mengapa?
Pertama, AM gagal memahami masalah hukum dalam konteks yang lebih luas termasuk kaitan-2nya dengan perkembangan politik seputar kasus NB sejak awal sampai akhir. AM hanya menyodorkan sebuah carapandang yang 'myopic' tentang hukum, seolah-olah proses tsb berada dalam ruang hampa dan hanya bisa dilihat dari satu dimensi, legal formal, saja. Publik di negeri ini cukup cerdas utk mengetahui bahwa aspek politik kasus ini sangat kental, sebagaimana disuarakan oleh para tokoh masyarakat sipil, seperti misalnya Prof Jimly Asshiddiqie (JA), Prof. Buya Syafi'i Maarif (BSM), dll. Mereka ini pemahaman hukumnya sama atau malah lebih bagus dari AM dalam kaitan ini. AM menurut saya terkesan hanya memberi justifikasi legal formal thd penangkapan NB tetapi menutup mata thd aspek politik dan etik yg melingkupinya.
Kedua, AM juga gagal menangkap aspirasi publik mengenai kasus NB, yaitu harapan agar tdk terjadi kriminalisasi. Implikasinya adalah, AM juga akan gagal memberikan pertimbangan yg komprehensif kepada Presiden dalam menyikapi masalah ini secara lebih proporsional dan searah dengan aspirasi publik yg mendukung kiprah KPK dlm pemberantasan korupsi. Pertanyaannya, buat apa menjadi anggota Kompolnas jika AM tidak mampu mendengar dan menyerap aspirasi rakyat, jika dikaitkan dg tupoksi Kompolnas memberi pertimbangan Presiden terkait arah kebijakan kepolisian? Apakah AM menempatkan dirinya sebagai representasi Polri dalam lembaga tsb atau pakar dan pendidik yg berorientasi kepada kebenaran dan kepentingan bangsa?. Saya kira ini bukan soal kepandaian saja, tetapi juga soal kejujuran dan nurani yg dipertaruhkan.
Simak tautan ini:
http://news.okezone.com/read/2015/05/02/337/1143654/kompolnas-ngotot-bela-polri-cokok-novel-bawesdan
Sunday, May 3, 2015
Home »
» PANDANGAN MYOPIC KOMPOLNAS SOAL NOVEL BASWEDAN
0 comments:
Post a Comment