Tuesday, June 9, 2015

MENYIMAK REAKSI-REAKSI NEGATIF ATAS PUTUSAN KASASI ANAS

Sangat lumrah jika muncul rekasi-rekasi negatif dari anggota keluarga, para pengacara, pendukung, dan simpatisan Anas Urbaningrum (AU) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yg memperberat hukuman Pengadilan Negeri dan Pengadilan tinggi sebelumnya. AU divonis oleh Majelis Hakim kasasi MA, yg dipimpin oleh Hakim Agung Artijo Alkostar (AA), 14 th penjara, denda Rp 57 miliar lebih, dan dicabut hak politiknya. Vonis ini jelis lebih berat ketimbang putusan Pengadilan sebelumnya, yakni 8 th (PN) dan 7 th (PT), serta tidak dicabut hak politiknya.

Kekalahan dalam langkah hukum kasasi adalah hal yg sejatinya sudah harus diperhitungkan oleh AU dan pengacaranya, yang notabene dikomandani oleh  Adnan Buyung Nasution (ABN) itu. Setidaknya,  mereka sudah tahu bagaimana rekam jejak Hakim Agung AA dalam kasasi-kasasi sebelumnya, khususnya terhadap para terpidana korupsi, yg dikenal tegas dan keras itu. Dan kalaupun mereka belum puas, maka masih ada upaya hukum berikutnya, yaitu PK sejauh mereka memiliki novum. Dan mereka tentu berhak utk berbeda pandangan, kecewa, dan marah mengenai putusan tsb. Namun akan sayang jika kekecewaan dan kemarahan  dilontarkan untuk membangun opini negatif terhadap Majelis Hakim Agung dan Mahkamah Agung, tentu juga akan mengundang kontra opini yang bisa jadi semakin kontraproduktif bagi AU sendiri.

Misalnya, apakah benar putusan pencabutan hak politik AU sebagai putusan yang melampaui kewenangan MA, melanggar prinsip kasasi, dan melanggar asas keadilan? Saya yakin pertimbangan yg diberikan oleh Majelis cukup jelas, sebagaimana disampaikan oleh Suhadi, jubir MA. (http://nasional.kompas.com/read/2015/06/08/20072581/Hukuman.Anas.Urbaningrum.Jadi.14.Tahun.Bayar.Rp.57.M.dan.Hak.Dipilih.Dicabut). Pertimbangan tsb a.l adalah bahwa Majelis yakin : 1) AU telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam secara pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang TPPU jo Pasal 64 KUHP, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003; 2) Hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut adalah keliru. MA justru berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin. Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali haruslah dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya.

Kecaman dari keluarga AU bahwa putusan MA hanya cari sensasi, tidak manusiawi, dan karenanya dikutuk, tentu bisa dipahami dari perspektif subyektifitas mereka karena sangat merugikan nama, reputasi, dan mungkin kehidupan mereka. (http://news.okezone.com/read/2015/06/09/337/1162484/keluarga-anas-putusan-ma-cuma-untuk-cari-sensasi) Namun jika dibandingkan dengan kerugian negara dan rasa keadilan rakyat banyak terkait korupsi para pejabat dan politisi, tentu akan berbeda. Setidaknya sangat bisa diperdebatkan. Jika dipandang dari perspektif amanat reformasi utk memberantas korupsi, justru vonis terhadap AU merupakan salah satu bukti bahwa harapan rakyat sedikit banyak sudah ada yang dipenuhi. Dan sejauh bahwa vonis kasasi tersebut bukan merupakan politisasi atau balas dendam terhadap pribadi atau kelompok tertentu, menurut hemat saya perlu diapresiasi dan dijadikan contoh yang baik (best practice) dalam kiprah penegakan hukum yg kini sering diragukan oleh publik.

Simak tautan ini:
http://news.okezone.com/read/2015/06/09/337/1162418/putusan-artidjo-kepada-anas-melampaui-kewenangan

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS