Thursday, December 10, 2015

DARI "MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN" MENJADI "MAHKAMAH KAYAK DHAGELAN"

Semakin kesini, MKD DPR tampak makin babak belur reputasinya di mata publik. Singkatan MKD bukan saja sudah diplesetkan menjadi "Mahkamah Konco Dhewe", tetapi bisa-bisa lebih parah lagi, yaitu menjadi "Mahkamah Kayak Dhagelan". Indikator ke "dhagelanan" alat kelengkapan Parlemen, yang mengurus peri-kehormatan dan martabat lembaga dan para anggotanya itu, antara lain adalah: 1) Proses persidangan yang 'mbulet', bertele-tele, dan terkesan semaunya sendiri. Yang terakhir ini tampak nyata ketika dengan mudahnya si terlapor, Setya Novanto (SN), minta sidang tertutup dan, menurut laporan media, jawaban-jawaban atas pertanyaan anggota MKD, tidak ada yang substantif; 2) Berbagai manuver utk menyetop persidangan MKD dilakukan secara vulgar, termasuk mengganti anggota MKD oleh parpol secara mendadak, dan mengulur waktu; 3) Pertanyaan-pertanyaan anggota MKD kepada pelapor dan saksi (Sudirman Said/SS dan Maroef Sjamsoeddin/MS), cenderung menyimpang dari substansi pelanggaran etik, tetapi justru mencoba mengintimidasi keduanya; 4) Ini yang paling menarik. MKD tidak mampu memanggil saksi Muhammad Reza (MR), dan naga-naganya juga tidak berminat, karena akan semakin memperkuat laporan SS dan kesaksian MS.

Indikator terakhir itu kian mendapat justifikasinya, ketika kini ketahuan bahwa MR tidak berada di Indonesia, sehingga akan mudah bagi MKD DPR utk cari alasan bahwa mereka tidak bisa menghadirkan pengusaha minyak tsb. Keterangan Kapolri juga menunjukkan bahwa ketika MR berada di luar negeri, pemanggilan paksa juga mustahil dilaksanakan. Nah, pertanyaannya, siapa yg beruntung dengan absennya MR itu? Hemat saya yg paling untung adalah SN dan para penbdukungnya di MKD serta parpol-2 di belakangnya. Seba dengan tiadanya kesaksian MR, para anggota MKD akan dengan mudah menyatakan bahwa apa yang ada dalam rekaman itu tidak punya kekuatan. Kalaupun sebagian anggota MKD ada yang mencoba menggunakan rekaman omongan MR, tentu hanya merupakan interpretasi sepihak dan tidak bisa didalami, seperti kesaksian MS dan bahkan SN!

Sengaja atau tidak, melalui jurus "saksi yang hilang" ini, proses persidangan etik akan bisa dipermainkan secara lebih efektif yang ujungnya adalah sebuah putusan yang memuaskan semua pihak di DPR. Alasannya sederhana: karena salah satu saksi kunci tidak hadir, maka tidak lengkap pula proses persidangan; dan karena tak lengkap, MKD hanya bisa memberi putusan kepada SN berupa sanksi ringan. Bukan tidak mungkin akan berupa sanksi teguran lisan lagi seperti dalam kasus "Trump-gate" sebelum "Freeport-gate" ini. SN akan tetap bertahta sebagai Ketua DPR dan MKD merasa sudah melaksanakan tugas dengan baik. Tak peduli apakah ia masih layak disebut sebagai Mahkamah Kehormatan atau "Mahkamah Kayak Dhagelan..." yang penting semua pihak happy happy...
 
Simak tautan ini:
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS