Sunday, January 17, 2016

BIN DAN KEWENANGAN PENANGKAPAN

Pasca aksi teror di kawasan Jl. Thamrin, polemik tentang BIN dan kemampuannya menjadi salah satu wacana publik yang hangat. Kepala BIN, Letjen (Purn) Sutiyoso (S), mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan, termasuk politisi, netizen, dan para pakar, bahwa lembaga yang dipimpinnya 'kecolongan' sehingga aksi teoro itu terjadi dan mengakibatkan korban nyawa dan properti. Saya probadi tidak sependapat dengan kritik tersebut, karena aturan main (rule of the game) intelijen di negeri ini tidak sama dengan di negara-negara lain, termasuk pembatasan yang diberikan oleh UU (No. 17 Th 2011) yang melarang BIN melakukan tindakan penangkapan.

Kini polemik bergeser pada tema apakah layak BIN mendapat kewenangan penangkapan tsb. Ka BIN menganggap layak dan seharusnya, karena tanpa kewenangan tsb maka kinerja intelijen tidak akan efektif dalam mencegah terjadinya aksi seperti terorisme. Intelijen hanya bisa memberikan informasi intel kepada pengguna dan tergantung pada pihak yang disebut terakhir itulah tindakan efektif atau tidak bisa dilaksanakan.

Kapolri, Jenderal Badrodin Haitu (BH), berpandangan lain. Baginya, lembaga intelijen seperti BIN tidak perlu memiliki wewenang menangkap. BH malah bertanya "Mana ada BIN bisa nangkap? Mana ada di dunia ini BIN bisa menangkap." Sepintas, statemen BH benar, bahwa salam kasus BIN maka secara aturan main tidak ada wewenang menangkap. Tetapi kalau yg dimaksud apakah ada organisasi intelijen di negara lain yang punya wewenang menangkap, saya kira banyak contohnya. Organisasi intelijen yang tersohor di dunia seperti CIA, Mossad, FSB, SAVAK, ISI, dll semuanya punya kewenangan tersebut. CIA bukan saja berwenang menangkap, bahkan melakukan operasi militer dengan menggunakan drone di negara-negara lain.

Hanya saja, pendapat saya pribadi masih cenderung mendukung aturan yang berlaku saat ini, yakni BIN tidak diberi wewenang penangkapan itu. BIN sebagai koordinator komunitas intelijen punya wewenang melakukan koordinasi dan meminta users utk bekerja sama dalam penindakan, seperti menghadapi aksi-2 insurgensi termasuk teror dan aksi bersenjata kelompok-2 separatis. Kondisi Indonesia pasca-reformasi sampai saat ini masih belum kondusif bagi organisasi seperti BIN utk memiliki kewenangan penindakan seperti penangkapan apalagi penyerangan. Kerjasama dengan Polri, TNI serta aparat-2 intelijen khusus (imigrasi, dsb) yang perlu ditingkatkan. Jika memang kondisi politik telah kondusif, termasuk tingkat kepercayaan publik thd BIN telah cukup tinggi, bukan tidak mungkin Presiden nanti akan mempunyai kebijakan lain dan juga akan didukung oleh Parlemen.

Fokus BIN sebagai mata dan telinga negara dan bangsa harus dipertajam dan kualitasnya ditingkatkan, khususnya dalam soal SDM intelijen dan infrastruktur serta organisasinya. Kemampuan intelijen terutama dalam bidang penggalangan, misalnya, adalah mutlak utk diperkuat sehingga deteksi dan peringatan dini semakin efektif. BIN menurut hemat saya, justru lebih baik fokus kepada penggelaran 'soft power' ketimbang penegakan hukum atau hard power. Yang terakhir itu lebih baik diserahklan kepada militer dan Polri serta penegak hukum lain.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS