Friday, March 25, 2016

TUGU MONAS DAN PILKADA DKI

Tugu Monumen Nasional atau yg disingkat dengan Monas, tampaknya menjadi ikon para politisi yang sudah kehabisan cara untuk meyakinkan publik. Monas, lambang utama ibu kota Jakarta itu, menjadi 'meme' negatif dalam perpolitikan pasca-reformasi: Ia digunakan sementara politisi utk mengikrarkan janji yang nyaris tdk mungki untuk ditagih. Masih ingat mantan Ketum DPP Partai Demokrat (PD), Anas Urbaningrum (AU), minta digantung di Monas kalau dirinya korupsi serupiah saja. AU ternyata dijatuhi hukuman oleh Pengadilan dengan dakwaan korupsi, yg jumlahnya tentu bukan cuma satu rupiah tetapi jutaan. Kini seorang politisi dari Partai Gerindra kembali menggunakan Monas utk meyakinkan publik. Bukan terkait korupsi, tetapi soal pencalonan Gubernur DKI 2017.

Adalah Habiburrokhman (Hr), politisi dari Partai Gerindra, yang twitternya menyatakan : "Saya berani terjun bebas dari Puncak Monas kalau KTP dukung Ahok beneran cukup untuk nyalon." Sesumbar semacam ini, tentu sangat bersayap. Sebab kalaupun misalnya KTP penduduk Jakarta yg digunakan utk mendukung Gub Ahok sebagai balon independen mencukupi, niscaya tak akan dipenuhi juga janji sontoloyo itu. Atau pasti akan ada cara lain menafsirkan "terjun bebas dari Puncak Monas" sehingga Hr masih akan menghirup udara dan segar bugar.
Bagi saya, wacana politik memakai Monas, hanyalah sebuah ekspressi ketidakberdayaan (desperation) dari politisi yang tidak mampu menggunakan argumentasi nalar dalam berkompetisi menghadapi lawan. Hr atau siapapun yg memakai wacana seperti itu sejatinya sedang khawatir dan cemas dengan kegagalannya sendiri atau partainya di dalam mengembangkan strategi dan taktik utk menghadapi lawan. Sebaliknya, secara implisit mereka sejatinya mengakui kekuatan lawan. Itu sebabnya, semua wacana yang berbau 'kampanye hitam', seperti eksploitasi isu SARA oleh Ahmad Dhani (AD), dan wacana terjun bebas dari puncak Monas, sejatinya hanyalah sebuah politik ketidakberdayaan (politics of desperation) saja. Tak lebih dan tak kurang.

Padahal, jika orang-2 seperti AD dan Hr ini memang benar-2 berpotensi dan laku di DKI, cara-2 seperti itu tak perlu dilakukan dan harusnya dijauhi. Sebab bukan saja cara-2 demikian hanya akan menjadi olok-olok, tetapi juga sangat tidak cerdas dan tidak layak utk dipamerkan di publik. Pameran itu malah akan mereduksi kapasitas diri mereka dan partai yang mereka wakili, sehingga malah menjauhkan para pendukung potensial dari mereka. Bagi saya menggunakan wacana terjun dari Monas, sama saja tololnya dengan mengangkat isu SARA. Ia sama sekali tidak mendidik rakyat utk berpolitik secara santun dan bertanggungjawab, serta hanya menciptakan kegaduhan yang sama sekali tidak perlu.

Simak tautan ini:

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/24/19444251/Habiburokhman.Terjun.dari.Monas.jika.Teman.Ahok.Capai.1.Juta.KTP.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=kpoprd
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS