Thursday, September 29, 2016

MENYOAL MKD DAN IHWAL 'KEHORMATAN' DPR


Keputusan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) untuk merehabilitasi mantan Ktua DPR, Setya Novanto (SN) merupakan bukti untuk kesekian kalinya bahwa lembaga wakil rakyat tsb sudah mengalami krisis legitimasi yg bersumber dari dalam. Nama "mahkamah kehormatan" menjadi oximoron karena perilaku yg total berlawanan dengan makna dua kata itu sendiri. Alih2 MKD menjadi alat kelengkapan DPR yg akan berfungsi menjaga marwah dan kehormatan institusi yg menjadi tulang punggung sistem demokrasi itu, ia justru menjadi sumber krisis legitimasinya.

Seperti acapkali saya kemukakan dlm status2 sebelumnya, argumen yg paling sering digunakan utk memberikan justifikasi dan pengabsahan perilaku menyimpang adalah argumen legal formalisme yg dilepaskan total dari dimensi moral dan etik. MKD merehabilitasi SN, yg diduga telah melakukan pelanggaran etik terkait kasus 'Papa Minta Saham' (PMS) beberapa waktu lalu, dg menggunakan alasan legal formal putusan MK mengenai masalah penyadapan dan/atau rekaman pembicaraan SN dengan beberapa orang terkait dg PT. Freeport Indonesia.

Seperti diketahui SN mundur sebagai Ketua DPR sebelum MKD membuat keputusan resmi sehingga politisi Golkar tsb tidak terkena sanksi yg jelas dari lembaga tsb. Dan ketika upaya peninjauan kembali thd UU yg terkait dg pasal penyadapan si MK dimenangkan SN, terbuka pintu masuk utk rehabilitasi namanya di DPR. Dan bukan mustahil bhw langkh selanjutnya adalah kembalinya SN dlm posisi sebagai Ketua DPR RI.

Permainan politik dengan memanfatkan legal formalisme seperti ini sudah terlalu banyak contohnya dan orang bisa menyaksikannya dlm film2 serial atau novel2 legal thrillers. Bahkan praktik manipulasi hukum demi kepentingan politik ini sudah terjadi sejak zaman kuno. Dan selama kekuasaan para politisi itu tak terkontrol maka hukum hanya merupakan salah satu dari alat mereka utk melegitimasi perilaku apa saja termasuk yg paling biadab dan merusak sekalipun!

Perilaku MKD DPR ini tdk bisa hanya dilihat secara spesifik dan dilepaskan dr keseluruhan lembaga perwakilan rakyat tsb. Sebab nereka yg berada di dalam alat kelengkapan itu juga para politisi yg sama dan patuh dg kepentingan parpol di mana mereka berasal. Dengan demikian, akan sangat keliru jika keputusan MKD tsb hanya dianggap sebagai sebuah anomali atau pengecualian serta tak mencerminkan DPR secara keseluruhan.

Prilaku MKD terkait SN ini hanya salah satu bukti tambahan yg dapat memerkuat tuduhan rakyat Indonesia thd kecenderungan kemerosotan kualitas dan kapasitas wakil2 mereka di Senayan beberapa tahun terakhir. Dan seperti biasanya, para politisi itupun merespon tuduhan dan kecaman rakyat itu dengan sikap cuek dan masa bodoh. Mereka tetap jalan terus dengan apapun yang mereka lakukan dan mengulang-ulang mantra yg sudah terbukti ampuh, yaitu bahwa mereka sudah menjalankan peran dan tugas 'sesuai aturan hukum yg berlaku.'

Bagi parpol dan para politisi mereka di Parlemen, apakah perilaku DPR itu akan berdampak kpd kehormatan dan legitimasi moral mereka di mata rakyat Indonesia, tampaknya tak penting2 amat utk dipikir. Toh rakyat di negeri ini sudah terlalu sibuk dengan urusan keseharian yg lebih mendesak seperti kemiskinan, pengangguran, kelangkaan pangan, dan belum lagi maraknya pertikaian di antara sesama anak bangsa. Dan para wakil rakyat itu pun sangat yakin bahwa ketika Pileg digelar toh rakyat yg sama itu juga yg akan memilih mereka untuk kembali lagi duduk di kursi yg sama utk 5 th lagi dan bahkan seterusnya!

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS