Tuesday, September 27, 2016

PILKADA DKI 2017: MEWASPADAI APROPRIASI PARPOL TERHADAP AHOK


Salah satu kekuatan dan sekaligus daya tarik utama pencalonan Gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, adalah kemandirian dan keberanian beliau menghadapi upaya hegemoni partai2 politik. Kendati Ahok akhirmya mengambil langkah strategis berupa kompromi dengan parpol (Golkar, Nasdem, Hanura, dan, terakhir, PDIP), tetapi reputasi dam kredibilitas beliau sebagai sosok yg mandiri dan berani bisa dikatakan tak tergores.

Bahkan publik di tanah air menyaksikan drama tarik ulur antara mantan Bupati Belitung Timur tsb dg PDIP, yg notabene parpol pemilik kursi terbesar di DPRD DKI, akhirnya 'dimenangkan' oleh pihak yg disebut pertama itu. Hal itu terjadi, hemat saya, karena Ahok tahu benar bahwa Ketum DPP PDIP, Megawati Sukarnoputri (MS) tak memiliki opsi yg lebih baik selain mendukung sang petahana utk membawa partainya unggul dlm Pilkada DKI. Walaupun sebagian elite DPP dan DPD DKI ngotot menolak Ahok, tetapi mereka juga tak mampu mengajukan calon yg punya bobot seperti sang Gubernur.

Namun demikian, dinamika politik memiliki logikanya sendiri yg kadang tak bisa dikontrol dengan mudah oleh para pemainnya. Misalnya, pasca bergabungnya Ahok dg empat parpol tsb, belum jelas bagaimana posisi dari pendukung loyalnya seperti Teman Ahok (TA) dan kelompok2 relawan lain yg selama ini berjuang bahu membahu dan 'berdarah-darah' itu? Memang benar bhw sang petahana selalu mengatakan bhw dirinya tetap mendengarkan dan mengikuti apa kata Teman Ahok dkk. Namun siapa yg bisa memberi jaminan bahwa para parpol itu pada akhirnya tak akan melakukan apropriasi (pengambil-alihan) thd Ahok dan peminggiran atau marginalisasi kelompok loyalis dari masyarakat sipil itu?

Gejala menguatnya upaya apropriasi thd Ahok oleh parpol bisa dilihat dalam wacana dan praksis perebutan posisi ketua tim pemenangan paslon BTP-DSH. Kendati di atas permukaan yg tampak adalah gegeran antara PDIP dengan Golkar, tetapi tak bisa dikesampingkan bahwa kemungkinan kedua parpol gajah tsb akan melakukan negosiasi dan berbagi peran dalam manajemen pemenangan Pilkada. Jika Nasdem dan Hanura juga mendapat jatah yg tepat, maka apropriasi thd Ahok dan marginalisasi thd posisi Teman Ahok dlk akan berjalan mulus.

Implikasinya, sang petahana akan sulit menampilkan diri sebagai calongub yg mandiri dan mampu 'mengatasi' kontrol parpol2 pendukung. Trade mark yg selama ini menjadi daya tarik dan popularitas Ahok, serta menjadi pembeda antara beliau dg calon2 lain akan terancam mengalami erosi. Sebaliknya, parpol-2 pendukung akan berusaha keras mendiktekan agenda2 mereka sehingga Ahok bisa jadi kehilangan orisinalitas sebagai sosok yg terbuka, blak-blakan, dan tak takut dg kontroversi!

Secara konseptual dan substantif kepentingan parpol dalam memenangkan sang petahana, saya kira, tidak sama dengan kepentingan kalangan masyarakat sipil. Pihak yg disebut terakhir itu tdk akan berupaya melakukan kontrol sampai ketika sang calon memenangkan kompetisi. Bisa saja akan terjadi tawar menawar politik antara Ahok dg TA dkk dan para pendukungnya, tetapi sifatnya tdk akan seperti kepentingan parpol.

Itu sebabnya para pendukung Ahok dari kalangan masyarakat sipil, termasuk tetapi tak terbatas pada TA dkk, perlu mencermati dinamika ini dan meresponnya secara efektif. Terutama mengantisipasi upaya parpol melakukan apropriasi thd Ahok dan memarginalisasi peran masyarakat sipil. Jangan sampai aspirasi masyarakat sipil Jakarta yg sudah begitu kuat gaungnya lantas terbenam oleh hegemoni parpol.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS