Sunday, October 9, 2016

MEMILIH PEMIMPIN DAN WAKIL RAKYAT BUKAN SEKEDAR SELERA


Omongan Ketua tim pemenangan pasangan calon Anies Baswedan-Sandiaga Uno (AB-SU), yg juga seorang politisi dari Partai Gerindra, Syarief, bhw memilih cagub adalah soal selera, hemat saya perlu dicermati secara kritis. Selera dapat dikatakan suatu hal yg dimiliki oleh individu manusia secara alami. Padahal pemilihan berarti melibatkan suatu upaya yg bukan hanya alami tetapi juga rasional.

Apalagi jika dikaitkan dengan masalah ketatanegaraan. Memilih pemimpin, termasuk di dalamnya wakil rakyat atau eksekutif, merupakan persoalan yg sangat penting dan terkait kepentingan bersama. Jika memilih hanya didasari pada selera, maka output pemilihan akan sangat meragukan karena sangat subyektif dan tidak menggunakan pertimbangan2 rasional. Itu sebabnya saya menolak argumentasi Syarief bahwa memilih paslon cagub DKI dlm Pilkada 2017 adalah soal selera saja. Implikasinya, seperti dikatakan oleh Syarief sendiri, memilih berdasarkan selera primordial kemudian menjadi tidak masalah. Implikasi inilah yang bagi saya sangat penting utk dicermati.

Negara RI dibentuk oleh para pendirinya dengan kesadaran pentingnya sebuah komunitas bangsa (nasion) yg baru yg mengatasi primordialisme. Itu sebabnya nasionalisme menjadi salah satu fondasi NKRIHal ini termaktub baik tersirat maupun tersurat dalam dasar negara Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Bahwa untuk mencapai sebuah komunitas bangsa tsb harus melalui proses panjang dan sulit, hal itu sangat wajar karena adanya fakta kemajemukan masyarakat Indonesia dan kondisi struktural masyarakat pasca-kolonial yg menjadi hambatannya. Tetapi hal itu tidak bisa dan tdk boleh menjadi alasan atau apologia bahwa kehidupan ketatanegaraan yg dicita2kan oleh para pendiri bangsa dan negara serta diamanatkan oleh Konstitusi lantas bisa direduksi dengan wacana selera.

Justru sebaliknya, kewajiban seluruh penyelenggara negara, parpol, politisi, organisasi masyarakat sipil, dan bahkan warganegara RI adlh mendidik semua anak bangsa untuk semakin rasional dalam memilih pemimpin dan meninggalkan legacy primordialisme. Saya tak bisa membayangkan jika omongan Syarief ini dijadikan platform politik dari parpolnya, Gerindra, dalam soal memilih wakil rakyat dan eksekutif pada setiap level. Lalu apakah fungsi parpol yg salah satunya adlh pendidikan politik itu? Apakah Gerindra akan membiarkan rakyat Inonesia menggunakan selera masing2 dlm memilih pemimpin mereka?

Saya kira statemen Syarief ini muncul karena adanya kegaduhan yg kini marak di DKI gegara petahana dlm pilgub, Gubernur Ahok, yg dituding oleh lawan politiknya melakukan penistaan thd agama dan kitab suci. Tak pelak lagi, strategi kampanye yg mengeksploitasi primordialisme dan politik identitaspun berkembang. Bisa jadi Syarief mencoba memanfaatkan situasi ini bagi paslon yg didukungnya sehingga memggunakan wacana 'selera' utk menjustifikasi fenomena primordialisme dlm Pilkada DKI. Oleh karena itu, bukannya dia mencoba meredam tren yg sangat kontraproduktif bagi pembangunan demokrasi itu, dia justru mengatakan bahwa primordialisme sebagai dasar pemilihan calon gubernur adalah hal yg wajar karena hal itu adlh selera!

Semestinya partai Gerindra, yg saya tahu punya komitmen kuat dalam mengembangkan nasionalisme dan demokrasi itu, menjadi salah satu garda terdepan dlm meredam dan membanteras tren penggunaan primordialisme di DKI. Bukan justru membiarkan dan terkesan melegitimasinya. Saya yakin petinggi Gerindra seperti Pak Prrabowo Subianto (PS) adalah sosok yg anti thd pemakaian primordialisme dlm politik Indonesia. Apalagi latar belakang beliau adalah prajurit TNI, yg merupakan entitas yg sangat kuat nasionalismenya sepanjang sejarah Republik ini!

Nasionalisme yes, primordialisme no!

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS