Tuesday, November 15, 2016

MEMAHAMI OPTIMISME GUB (NON-AKTIF) AHOK


Sikap optimis Gubernur DKI non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, menghadapi gelar perkara yg akan menentukan apakah dirinya menjadi tersangka atau tidak dlm kasus dugaan penistaan Al-Quran dan Islam, patut diapresiasi dan dijadikan teladan sebagai seorang pemimpin yg sedang menghadapi ujian berat. Terlepas dari apa yg menjadi keputusan akhir dari proses tsb, ketegaran dan optimisme beliau menjadi contoh kongkrit bagaimana seorang pemimpin harus mengambil tanggungjawab dan resiko tanpa khawatir akan kehilangan jabatan.

Sikap Ahok mengingatkan saya kepada apa yg pernah dialami oleh alm Gus Dur ketika beliau menghadapi tekanan berat dari lawan-2 politik beliau yg menghendaki agar dirinya mundur dari jabatan karena dituding (dan tak terbukti) terlibat dalam kasus Bulogate dan Bruneigate pada 2001. Bagi Presiden ke 4 RI itu tidak ada jabatan apapun di dunia ini yg harus dipertahankan mati2an sehingga mengorbankan kepentingan rakyat dan keutuhan negeri. Ahok memang tak memiliki kekuatan partai maupun basis massa spt GD. Juga tak punya jejaring nasional apalagi internasional yg ekstensif seperti Kyai dari Ciganjur itu. Namun keduanya berbagi dalam hal integritas, kejujuran, dan keberanian, tiga karakter yg paling penting yg mesti dimiliki pemimpin transformatif. Dimensi keberanian itulah yg mendorong munculnya optimisme saat mereka berada dalam kondisi terjepit dan dlm tekanan berat.

Optimisme tsb bukan karena hitung2an menang kalah saat ini saja, tetapi juga apa yang akan dikatakan oleh sejarah ketika semua telah berlalu. Kendati GD berhasil dimakzulkan oleh lawan politiknya, namun beliau tetap tegak dan terhormat serta tak pernah merasa dirinya berada di pihak yg akan dicerca oleh bangsanya. Sejarah justru mencatat bahwa kepemimpinan GD dianggap oleh rakyat Indonesia sebagai ikon perekat pluralisne, toleransi, dan kemanusiaan. Tak ada kegetiran, apalagi post-power syndrome ketika GD kehilangan jabatan sebagai Presiden akibat konspirasi besar itu.

Ahok tampaknya juga memiliki ketegaran dan keberanian utk menghadapi skenario yg terjelekpun pd pasca-gelar perkara nanti. Beliau sudah memahami bhw apa yg dihadapi adalah sebuah kekuatan konspirasi politik yg menginginkan kejatuhannya, sebagai papan loncat untuk target perubahan rezim (regime change) Presiden Jokowi (PJ). Jika di era GD yg digunakan adalah fitnah terkait Buloggate, maka kini yg menjadi trigger adalah tudingan penistaan agama. Jadi dalam hitungan Ahok, kasusnya bukan masalah hukum tetapi politik dan karenanya penyelesaiannya juga politik. Konsekuensinya, soal gelar perkara atas kasusnya adlah sebuah kontestasi kekuatan2 politik yg bukan lagi dalam kapasitasnya utk menentukan.

Optimisme Ahok bahwa dia tak bersalah dengan demikian harus dipahami bukan hanya dalam pengertian menghadapi kasus hukum saja tetapi juga dalam hitung2an kontestasi politik yg sedang terjadi antara PJ vs lawan2 yang kebelet utk segera mengakhiri mas jabatan beliau sebelum waktunya. Dalam konteks ini Ahok adalah sasaran antara saja sehingga jika beliau berhasil dikorbankan, tidak tertutup kemungkinan bhw jalan ke arah pemakzulan PJ juga kian lempang. Dan itu berarti Indonesia akan mengalami setback yg sangat serius!

Ahok mungkin merasa bhw dirinya dalam posisi 'nothing to lose' kalaupun hasil gelar perkara itu menjadikannya sebagai tersangka. Karenanya beliau santai saja dan tetap optimis menghadapinya. Bagi Ahok, kemelut ini memang PERTEMPURAN (battle) nya, tetapi jelas bukan PEPERANGAN (war) nya.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS