Klaim dan argumentasi para pendukung Islam Politik (IP) yang menjajakan dan mengampanyekan gagasan dan "fatwa" agar ummat Islam tidak memilih "Pemimpin Non-Muslim", tampaknya adalah sebuah manuver politik yang tidak didukung oleh fakta apalagi konsistensi sikap dari parpol yang selama ini memiliki basis massa ummat Islam di negeri ini. Bahkan, bisa jadi fenomen ini adalah semacam apa yg disebut dengan "politik pasca-kebenaran" (post-truth politics) dalam konteks Indonesia pasca-reformasi.
Kendati kelompok IP cukup berhasil menarik perhatian publik, khususnya ummat Islam, melalui berbagai aksi massa dan pemanfaatan media, khususnya medsos, untuk mendukung "fatwa" MUI terkait larangan ummat Islam memilih pemimpin non-Muslim, fakta di lapangan bicara lain. Jika informasi yang saya dapatkan dari twitter yg ditautkan di bawah ini benar, maka ternyata di beberapa daerah di Indonesia parpol-2 Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, dan PBB) mendukung paslon-2 yang non-Muslim, setidaknya salah satu diantara pasangan yg ada. Inilah daftarnya:
1. PKS, PAN, dan PBB mengusung Paulus Kastanya calon Walikota Ambon
2. PKS, PKB, PPP mengusung Irene Malibuy calon Gubernur Papua Barat
3. PKS dan PDI mengusung Samson Atapan calon Bupati Seram
4.PPP dan PAN mengusung Jefri Towu Kore calon Walikota Kupang
5. PKS, PAN dan PBB mengusung Yudas Kortanius calon Bupati Mentawai
6. PKS, PKB, PD mengusung Hendrata Thes calon Bupati Sulu Utara
Bagi saya pribadi, fakta-2 tersebut tentu sangat menggembirakan dan saya syukuri, karena berarti politik identitas, yang berwujud primordialisme dan sektarianisme, khususnya yang menggunakan agama, tidak menular ke wilayah lain seperti yang terjadi di DKI dalam musim Pilkada tahun ini. Lebih jauh, fakta-2 tersebut juga menunjukkan betapa tidak konsistennya pihak-2 yang selama ini menggembar-gemborkan "fatwa" MUI tsb, padahal mereka menjadi bagian dari parpol-2 Islam tsb. Inilah salah satu ciri khas dari fenomen yg disebut secara populer dg "post-truth politics"!
Kelompok IP biasanya mengajukan argumen bhw gugatan thd Ahok dengan dugaan penistaan agama tidak ada kaitan dengan masalah politik, karena toh yang di daerah-2 lain pemimpin non Muslim bisa juga didukung. Argumen tsb sangat sulit diterima, karena "fatwa" MUI ttg larangan memilih pemimpin non Muslim bagi ummat Islam, sifatnya umum dan bahkan "mengikat" semua ummat Islam di negeri ini. Jika demikian, bukankah dukungan parpol Islam thd calon-2 non Muslim tsb merupakan pelanggaran terang-2an thd "fatwa" MUI tsb. Pertanyaan berikutnya, lantas buat apa para tokoh partai-2 Islam tsb ikut menyebarluaskan "fatwa" tsb melalui berbagai kegiatan ceramah, aksi demo, dll?
Rakyat Indonesia, saya kira, pada akhirnya bisa membuktikan bahwa politik pasca-kebenaran (post-truth politics) yang dikembangkan oleh kalangan IP kini berbalik menghantam dirinya sendiri alias backfired. Alih-alih kampanye mereka efektif, justru kini dimentahkan bukan oleh siapa-siapa, tetapi oleh parpol-2 Islam sendiri secara terbuka dan telak! Ini menjadi salah satu bukti bahwa kekuatan pengaruh IP di Indonesia terbatas pada klaim dan wacana publik, sedangkan resonansinya dalam penerapan di lapangan tak cukup kuat. Ia terdengar hebat karena digaungkan di ruang publik melalui medsos yang, kita ketahui, merupakan bagian integral dan karakter dari fenomen "post-truth politics" di seluruh dunia.
Walaupun demikian, bukan berarti pengaruh IP lantas akan hilang begitu saja dari percaturan politik Indonesia di waktu dekat. Ia masih akan menjadi salah satu fakta politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan menjadi bagian dari dinamika konsolidasi sistem demokrasi konstitusional di Indonesia. Memantau dan mencermati fenomena "post-truth politics" di Indonesia, yang dikembangkan oleh IP adalah salah satu tugas kita bersama sebagai bangsa yg cinta NKRI. Wallahua'lam.
Simak tautan ini:
http://www.indoheadlinenews.com/2016/09/pemimpin-non-muslim-ini-menang-pilkada.html
0 comments:
Post a Comment