Himbauan dari MUI Jawa Timur agar pejabat Muslim tak ucapkan SALAM pembuka dari agama2 lain (salam lintas agama, SLA) adalah petunjuk penting bahwa pendidikan MULTIKULTURALISME sudah sangat mendesak untuk dilakukan secara sistematik, massif, dan terstruktur bagi bangsa kita. Mengapa?
Di satu sisi, himbauan MUI Jatim, yang naga2nya juga diamini oleh MUI Pusat, itu menampilkan sebuah etos dan laku kesalihan dan keberagamaan (religiosity) yang tentu saja secara "an sich" adalah hal yang terpuji. Ia juga merefleksikan sebuah semangat pemurnian (teological purification) dalam komunitas kaum beriman yang saat ini dianggap sedang mengalami pemerosotan dan erosi. Karenanya, mengembalikan salam pada "tempat"nya, yaitu simbol yang khas milik agama dan ummatnya, menjadi sangat penting, mulia, dan sekaligus bagian dari "ghirah" beragama. Ia adalah upaya untuk menjaga, bukan saja kemurnian ajaran, tetapi sekaligus keselamatan ummat. Semangat kembali kepada kemurnian dan otentisitas agama lantas mengemuka dan sikap puritan adalah intinya.
Tetapi, di sisi lain, ia bisa mengundang pertanyaan: Apakah memang soal salam adalah perkara teologis yg menyangkut keimanan, sehingga levelnya sama dengan, misalnya, "syahadat" (persaksian) yang mutlak membedakan antara mereka yg beriman dengan yang tidak? Ataukah, sebenarnya, salam merupakan ekspressi kultural yang bisa saja menjadi penanda identitas tetapi juga sebagai ekspressi keakraban terhadap sesama dan liyan?
Saya lebih cenderung mengatakan bahwa salam bukanlah persaksian, tetapi lebih merupakan ekspressi budaya utk menandai identitas. Karenanya, ia tidaklah merupakan bagian dari teologi. Sebagai ekspressi budaya, salam adalah ciptaan manusia sebagai komunitas dan karenanya fungsinya bisa kontekstual dan bukan absolut. Menyatakan bahwa mengucapkan salam lintas agama akan mendapat murka Tuhan, seperti dinyatakan oleh seorang tokoh MUI, bagi saya problematik. Ini mengingatkan saya kepada fatwa larangan mengucapkan selamat Natal yg setiap tahun menjadi wacana publik di negeri ini!
Salam lintas agama adalah invensi, kreasi atau bahkan inovasi budaya dalam konteks Indonesia. Mungkin tak ada atau sedikit sekali negara/ bangsa selain Indonesia yg menggunakan salam lintas agam ini secara intensif dan spontan. Terlepas dari setuju atau tidak, menerima atau menolak eksistensi inovasi budaya tsb, ia semestinya tidak lantas divonis dengan melibatkan Tuhan bahkan menggunakan argumen teologis.
Ummat Islam sebagai bagian dari mozaik bangsa Indonesia, tentu memiliki hak budayanya yg bisa saja berbeda dengan ummat Islam di negara lain. Malaysia, Pakistan, Saudi, utk menyebut beberapa nama negara yg mayoritas Muslim, tak punya budaya seperti lebaran dan salam lintas agama. Dan hal itu sah-sah saja. Kemampuan berinovasi budaya di Indonesia oleh ummat Islam sepanjang sejarah bangsa, justru menunjukkan kebesaran nilai Islam. Ia menjadi bukti bahwa "Islam dan ummatnya adalah agama dan ummat yang ramah, bukan pemarah."
Agar bangsa Indonesia dan ummat Islam makin kuat "sense of belonging" (melu handarbeni, ikut memiliki) nya terhadap khazanah budaya dan punya "cultural sensitivity" (kepekaan budaya) yang diperlukan dalam membangun peradaban, saya kira pendidikan multikulturalisme menjadi salah satu jawabannya. IMHO.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment