Sunday, October 31, 2010

UNJUK RASA MEMULIHKAN NALAR WARAS DI WASHINGTON, DC: PELAJARAN UNTUK INDONESIA

Oleh Muhammad AS Hikam

President University



Hari ini atau kemarin waktu AS, digelar sebuah unjuk rasa publik (public rally) yang bertema "Rally to Restore Sanity" (Unjuk Rasa untuk Mengembalikan Nalar Sehat) di Washingotn DC. Unjuk rasa yang dihadiri lebih dari 150.000 massa ini merupakan sebuah "jawaban" dari unjuk rasa yang digelar oleh kaum Tea Partiers (kelom...pok konservatif anti Pemertintaha Obama) beberapa bulan lalu yang berhasil mengumpulkan sekitar 97.000 orang di tempat yang sama.


Pemrakarsa unjuk rasa publik di Washington, DC kali ini adalah Jon Stewart dan Stephen Colbert, dua orang host dari acara TV "The Daily Show" (Stewart) dan "Colbert Nation" (Colbert) dan didukung oleh beberapa nama tenar dari bisnis hiburan serta kalangan liberal. Kendati rally ini tidak langsung terjait dengan Partai Demokrat ataupun Presiden Obama, namun sangat jelas bahwa pendukung unjuk rasa ini adalah mereka yang merasa terganggu dengan penampilan kelompok ultra konservatif "Tea Party" akhir-akhir ini, yang sangat anti terhadap kubu liberal, termasuk Pemerintahan Obama di gedung Putih.

Istilah Tea Party ini diambil dari nama kelompok pembangkang (anti-penjajah Inggris) yang dikenal dalam sejarah AS dengan para peserta pesta teh (tea party) di Boston sebelum pecahnya perang anti kolonial pada abad 17. Kelompok "tea party" yang sekarang marak di AS mengritik kondisi kebangkrutan AS saat ini disebabkan oleh para elite (baik Republik maupun Demokrat) yang tidak lagi konsisten terhadap nilai-nilai dasar rakyat AS dan cenderung tunduk kepada liberalisme. Mereka adalah kelompok yang mendambakan pemerintahan kecil, anti campurtangan pemerintah dalam ekonomi, digunakannya ajaran agama dalam kehidupan publik dan pemerintahan, anti imigran, dan anti gaya hidup yang dianggap menyimpang seperti LGBT (lesbian, gay, bisexual, and trans-gender).

Munculnya Tea Partiers dalm perpolitikan AS sangat menggelisahkan banyak pihak, bahkan termasuk sebagian kalangan Republikan juga, karena berpotensi menciptakan sumber perpecahan politik dan konflik serius dalam masyarakat multikultural seperti AS. Namun demikian, fenomen ini sejatinya adalah hasil dari kegagalan sistem politik AS dalam mempertahankan superioritas di bidang ekonomi dan bahkan malah menyebabkan stagnasi serta hilangnya kesejahteraan rakyat dalam skala massif. Justru kaum Republikan seharusnya paling bertanggungjawab, karena dengan ideologi yang konservatif yang mereka dengungkan sejak masa Ronald Reagan sampai George Bush I dan II, AS kemudian menjadi negara adidaya yang secara ekonomi makin bangkrut. Ketika Presiden Clinton memerintah AS dapat melakukan pemulihan ekonomi dan kesejahteraan, tetapi lalu terpuruk kembali ketika Bush Jr berada di Gedung Putih.

Terjadinya aksi teror di tanah AS (11/9/2001) dipakai oleh Bush Jr untuk melakukan mobilisasi massa dan mengarahkan AS menjadi Polisi dunia. Akibatnya adalah perang di Irak dan Afghanistan yang semakin membangkrutkan ekonomi AS. Pukulan paling telak kemudian adalah skandal korupsi di lembaga-lembaga keuangan raksasa AS seperti di Wall Street yang mengharuskan Pemerintah melakukan bail-out milyaran dollar ketika Obama memasuki Gedung Putih sebagai Presiden baru. Sejak itu maka problem pemulihan ekonomi menjadi PR terbesar selain upaya menyelesaikan petualangan di Timur Tengah dan Asia Selatan yang sangat boros dan tidak menunjukkan hasil yang konkrit bagi pemulihan kedigdayaan AS di mata masyarakat internasional.

Masyarakat AS kini secara politik terancam oleh terbelah dan sangat terpolarisasi dalam kubu-kubu ekstrim. Ekonomi terpuruk dan solidaritas sosial makin rentan dengan kecenderungan kembalinya rasisme dan anti asing. Kelompok fundamentalis Kristen yang selama masa Reagan dan Bush mendapat angin kini mulai merasa terdesak, dan menggunakan isu-isu nasionalisme untuk menyerang lawan-lawannya. Kaum liberal juga masih tercerai berai sehingga dukungan terhadap Presiden Obama pun terpecah. Inilah kemudian yang memicu para tokoh publik (public figures) di luar kalangan politisi seperti Colbert dan Stewart untuk membangunkan kesadaran publik AS bahwa diperlukan pemulihan kewarasan nalar untuk bisa mengentaskan bangsa tersebut dari keterpurukan lebih jauh.

Bagaimana dengan Indonesia?
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS