Thursday, July 12, 2018

SERETNYA PENETAPAN CAPRES-CAWAPRES 2019 DARI KUBU OPOSISI

Sampai tulisan ini diposting, parpol-parpol yang termasuk oposisi yakni Gerindra, PKS, dan PAN, serta parpol independen, Demokrat (PD), masih belum mencapai kesepakatan bulat mengenai siapa yang akan menjadi paslon mereka dalam Pilpres tahun depan. Kendati parpol-parpol tersebut telah melakukan berbagai negosiasi dan maneuver politik untuk mengerucutkan pilihan-pilihan, tetapi publik di negeri ini masih sulit untuk diyakinkan bahwa hal itu sudah terbuhul. Semestinya, kalaupun tidak menyamai kesolidan kubu parpol pendukung petahana, kubu parpol oposisi memperlihatkan kepada publik, dan terutama para simpatisan mereka, bahwa suatu kemajuan (progress) sudah atau sedang terjadi.

Faktanya, capres yang sudah pasti pun belum, apalagi cawapres. Posisi Prabowo Subianto (PS) yang selama ini paling kuat dalam blantika pencapresan sebagai penantang Presiden Jokowi (PJ), baik menurut berbagai survei maupun wacana politik di media massa dan media sosial, belum kunjung diumumkan sebagai capres resmi, tetapi baru capres dari Gerindra. Dalam soal cawapres, situasinya lebih karut-marut lagi. Proses mencari cawapres justru makin memecah soliditas parpol oposisi dan relasi mereka dengan partai independen. Apalagi kalau ditambah lagi dengan kemungkinan bergabungnya partai yang semula mendukung PJ kedalam kubu ini. Karut-marut politik akan semakin menjadi jadi dan bisa mengancam kesiapan mereka mendaftarkan paslon yang mampu memobilisasi dukungan yang mengimbangi kekuatan sang petahana.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya soliditas parpol-parpol penantang PJ. Faktor pertama adalah kendala struktural yang berasal dari aturan Pilpres yakni ambang batas (threshold) utk bisa mengusung paslon, yakni 20% kursi di DPR. Faktor ini jelas bukan hanya menjadi kendala bagi kubu oposisi semata, karena ia berlaku juga bagi pihak petahana. Namun secara faktual kubu petahana telah mendapat dukungan parpol-parpol besar dan menengah yang lebih dari cukup, tetapi sebaliknya dengan kubu oposisi yang harus hati-hati menghitung agar tidak terganjal dalam tahap pendaftaran paslon. Fakta ini menjadikan kubu oposisi tak punya ‘kemewahan’ berupa ruang maneuver yang luas.

Melihat jumlah parpol dalam kubu ini yang hanya 3 ditambah satu parpol independen, maka yang paling mungkin dibuat hanya ada 1 (satu paslon) saja agar mampu memobilisasi suara secara efektif dan, secara teoretis, mengimbangi petahana. Jika lebih dari satu paslon, maka akan merugikan oposisi dan, sebaliknya, menguntungkan petahana. Hal ini dikarenakan tingkat elektabilitas dan popularitas PJ, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai survei sampai saat ini, masih jauh di atas PS, apalagi tokoh-tokoh aspiran capres lain, seperti Gatot Nurmantyo (GN), Anies Baswedan (AB), Agus Harimurti Yudhoyno (AHY), Amien Rais (AR), Habib Rizieq Syihab (HRS), dll. Asumsi bahwa jika ada tiga poros yang bertanding, mengikuti model Pilkada DKI 2017, maka akan terjadi mobilisasi pada putaran kedua yang memenangkan oposisi, rasanya terlalu berlebihan. Sebab suara pemilih PJ akan cenderung utuh dan lebih dari 51%, sementara dua lawannya akan terpecah. Lagi pula DKI, yang hanya memiliki 4,6% suara dari seluruh Indonesia, tidak bisa dijadikan sebagi model untuk Pilpres yang berlingkup nasional itu.

Faktor kedua adalah fakta bahwa Pilpres 2019 akan terjadi bersamaan dengan Pileg untuk pertama kalinya. Secara psikologis hal ini berdampak kepada para pemilih partai-artai politik dan oleh sebab itu parpol-parpol (baik pendukung petahana maupun oposisi) harus memikirkan dan mengantisipasi agar Pilpres tidak berdampak negatif terhadap perolehan suara dalam Pileg. Itu sebabnya parpol-parpol yang karakternya berbasis massa dan memiliki kultur politik partrimonial akan khawatir jika paslon capres mereka tidak memberi insentif bagi pemilihan caleg, atau malah merugikan. 
 
Bagi parpol yang karakternya adalah partai kader, kekhawatiran ini kendati ada tetapi tidak atau belum besar. Dari kubu oposisi, hanya PKS lah yang punya karakter partai kader, sementara yang lain adalah partai massa yang patrimonialistik. Bagi yang disebut belakangan itu, sosok figure capres-cawapres yang merepresentasikan partai mereka menjadi perkara serius untuk meningkatkan daya tarik bagi pemlih mereka, baik yang lama maupun yang baru.

Faktor ini bisa membantu menjelaskan mengapa Gerindra sangat keukeuh dengan pencapresan PS dan PD dengan mengusung AHY, setidaknya sebagai cawapres, dan PAN menawarkan Zulhas. PKS memang berusaha keras agar tokohnya menjadi cawapres, tetapi itu lebih sebagai sebuah maneuver tawar menawar dan menunjukkan komitmen para elitnya kepada anggota serta simpatisannya. Posisi PS dan AHY serta Zulhas sebagai ikon partai sangat penting untuk memobilisasi dukungan dalam Pileg. Bandingkan dengan PKS yang memiliki balon capres dan cawapres sampai 9 orang. Partai yang berkarakter partai kader tidak terlalu tergantung kepada Ketum nya dan mampu menyodorkan lebih banyak alternatif karena para pemilih, baik tradisional maupun yang baru, sudah terbiasa memakai pertimbangan kualitas dan kapasitas ketimbang loyalitas patrimonialistik.

Faktor ketiga adalah beban logistik yang harus ditanggung oleh kubu oposisi, khususnya bagi PS dan Gerindra. Problem ini sudah diakui sendiri oleh elit partai berlambang kepala Garuda tsb dan menjadi kendala yang paling nyata serta berkait berkelindan dengan faktor pertama di atas.Tarik menarik antara parpol koalisi oposisi dan independen terkait siapa yang layak menjadi cawapres PS, sangat dipengaruhi faktor ini. Dari nama-nama yang muncul sebagai calon pendamping PS, nama-nama GN, AB dan AHY, masih tetap belum final, walaupun konon makin mengerucut kepada dua nama terakhir. 
 
Faktor logistik Pilpres ini jika tidak diatasi dengan baik oleh PS dan Gerindra akan menciptakan kegaduhan berkepanjangan yang, bukan tidak mungkin, berujung pada munculnya opsi dua poros di barisan oposisi. Paling tidak, dampak masalah logistik ini akan menjadi penghambat bagi proses sosialisasi yang seharusnya sudah digelar karena mesin partai tak mungkin bisa bekerja dengan efektif tanpa dukungan logistic yang memadai.

Ketiga faktor diatas merupakan kendala utama yang masih belum terurai, apalagi terpecahkan, oleh kubu oposisi PJ. Padahal jika melihat alternatif nama-nama, khususnya bagi cawapres yang potensial untuk mendampingi beliau, jumlahnya tak sebanyak yang mesti dipilih oleh PJ. Dengan semakin dekatnya masa pendaftaran paslon Pilpres 2019, yakni 4 Agustus 2018, maka semakin tinggi urgensi parpol kubu oposisi untuk mencari titik temu, khususnya menentukan dan menetapkan cawapres. 
 
Jika persoalan bergerak menjauh menuju kepada capres alternatif selain PS, saya kira akan menambah kerumitan. Keseretan dan kerumitan kubu oposisi untuk menentukan pasangan capres dan cawapres ini jangan sampai mengakibatkan Pilpres 2019 hanya diikuti satu paslon berhadapan dengan kotak kosong. Namun semua itu terpulang kepada para elit parpol-parpol tersebut, karena secara konstitusional, soal penetapan capres dan cawapres ada di tangan mereka.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS