Friday, October 31, 2014

KLARIFIKASI KAPOLRI SOAL KASUS BULLYING THD JOKOWI

Inilah klarifikasi yang saya tunggu sejak empat hari lalu, ketika Muhammad Arsyad (MA) ditangkap oleh petugas Polri. Pada waktu saya menulis status di TL ini, alasan penangkapan tidak jelas.  Ada berita yg menyebut karena ybs melakukan bullying terhadap Jokowi, sehingga dituduh melakukan pencemaran nama baik beliau sebelum menjadi Presiden. Sederet pasal pidana dipakai termasuk UU ITE pun dikemukakan sebagai pijakan hukum. Lalu ada lagi kabar bahwa alasan penangkapan adlh karena MA melakukan pidana pornografi yang melecehkan dan mencemarkan nama baik Presiden RI ke 5 RI, Megawati Soekarnoputri (MS) dan Presiden Jokowi. Agar supaya ihwal menjadi terang, saya menyarankan agar Polri memberikan penjelasan atau klarifikasi ttg apa sebabnya MA ditangkap, sehingga polemik dan politisasi tidak berkembang yg pada gilirannya merugikan Polri sendiri. Sebab Polri bisa dituding tidak fair, cari muka, tidak prosedural dll.

Sekarang klarifikasi dari Kapolri, Jenderal Polisi Sutarman (S), sudah diberikan. Menurut Kapolri,  alasan penangkapan MA adalah pornografi yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Beliau mengatakan bhw MA ditangkap dan ditahan  "(k)arena menyebarkan foto-foto porno, ini berbahaya bagi pendidikan anak-anak." Menurut Kapolri, "jika kasus tersebut dibiarkan, akan menyebarkan pornografi dan berefek kejahatan seksual pada anak." Lalu bagaimana urusannya dengan Presiden Jokowi dan Megawati? Menurut Kapolri, "(i)ni bukan karena nama Jokowi, tapi karena pornografinya." Nah, jelaslah bhw penagkapan MA ini bukan ihwal pencemaran nama baik thd Presiden Jokowi dan Megawati, tetapi terkait masalah pornografi yang berdampak pada pendidikan anak-anak. Karena klarifikasi ini datangnya dari Kapolri langsung, maka menurut saya tentunya resmi dan paling otentik.  Soal anda puas atau tidak, itu urusan lain.

Kendati klarifikasi ini terkesan rada telat, saya kira Kapolri harus diacungi jempol karena beliau tanggap dengan kasus MA ini, yg jika dibiarkan berlarut-2 tanpa penjelasan resmi bisa merusak citra dan kewibawaan lembaga penegak hukum itu. Belum lagi implikasi politik yang akan menarik-narik nama Presiden Jokowi ke ranah wacana terkait penangkapan MA. Kini semua pihak saya kira sudah mendapat penjelasan dari Polri, tentunya proses hukum harus berlanjut sampai tuntas. Idealnya sih, Polri juga harus konsisten dalam menyikapi apa yang diategorikan sebagai pidana pronografi semacam kasus MA ini. Kalau hanya berhenti pada MA saja, maka Polri masih akan dikritik tajam, karena buruh tusuk sate ini bukan satu-2nya orang yang menayangkan pornografi yang bagi pendidikan anak-anak. Mungkin Polri harus punya divisi khusus yang tiap hari kerjanya menyisir pornografi di jejaring media sosial, lalu memproses semua pelakunya seperti yang dilakukan kepada MA. Bravo Polri!!


Simak tautan ini:

http://www.tempo.co/read/news/2014/10/30/063618294/Kapolri-Arsad-Ditahan-Bukan-karena-Hina-Jokowi
Share:

PRESIDEN JOKOWI & RESOLUSI KONFLIK KMP VS KIH DI DPR

Manuver Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR secara politis menempatkan Presiden dalam posisi dilematis. Di satu pihak, Pemerintahan beliau tak bisa dipisahkan dari dukungan parpol-2 kubu KIH, tetapi di pihak lain jika beliau menuruti KIH justru bisa memperlebar eskalasi konflik dan bukan tak mungkin akan mengakibatkan anjloknya kredibiltas beliau, di samping terganggunya kinerja Pemerintahannya. Namun demikian, krisis ini juga bisa menjadi celah bagi Presiden Jokowi utk menunjukkan kepeimpinannya sebagai negarawan dan bukan politisi biasa.

Tekanan politik yg berasal dari KIH dimaksudkan agar Presiden Jokowi mengambil langkah-2 strategis yg dapat menyelesaikan krisis dan memenangkan kubu tsb . Salah satu langkah strategis tsb adalah dg mengeluarkan Perppu yang akan menggantikan UU MD-3, yang merupakan payung hukum bagi KMP untuk melakukan sapu bersih posisi-posisi pimpinan di DPR dan MPR. Presiden Jokowi harus sangat hati-2 menghadapi takanan ini, sebab mengeluarkan Perppu tsb, walaupun merupakan hak prerogatif Presiden, tentu harus menggunakan alasan adanya "kegentingan yg memaksa" atau situasi krisis yang dampaknya sangat berpengaruh negatif thd kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya, apakah pembentukan DPR tandingan itu akan mengarah pada krisis tsb sehingga Presiden punya alasan utk mengeluarkan Perppu?

Tentu saja, jawaban atas pertanyaan tsb sangat tergantung pd dinamika yg terjadi di Parlemen dan parpol-2 dalam kubu yg kisruh. Jika KMP bisa menggalang jumlah fraksi sehingga korum dalam sidang-2 dan rapat2 DPR, maka legitimasi yuridis dan politis jelas ada di pihak mereka. Namun apabila sebaliknya, misalnya KIH berhasil menyatukan Fraksi PPP sehingga tidak ada yg lagi fraksi PPP tandingan yg menjadi bagian dari KMP, maka tentu legitimasi yuridis dan politis berubah. Dan jika kedua kubu sama-2 ngotot dan terjadi deadlock di DPR sehingga Pemerintah terganggu dlm menyelenggarakan semua kegiatannya, maka alasan adanya kegentingan yg memaksa terpenuhi. Dan di sini barulah sebuah pintu masuk bagi Perppu menjadi terbuka bagi Presiden.

Alternatif lain adalah bukan menggunakan pendekatan legal formal dan politis seperti itu. Bisa juga resolusi konflik DPR ini dilakukan dari Presiden Jokowi melalui upaya merujukkan KMP dan KIH sehingga terjadi peredaan ketegangan serta menghindari kebuntuan serta deadlock yg merugikan semua pihak. Saya punya kepercayaan cukup tinggi bhw cara ini sangat mungkin digunakan. Presiden Jokowi sudah berkali-2 menunjukkan kepiawaian beliau dlm urusan yg satu ini, berkat pendekatan komunikasi politik beliau yg efektif dan bisa mencairkan berbagai ketegangan. Contoh paling kongkrit adalah blusukan yg beliau lakukan kepada tokoh-2 KMP sebelum Sidang MPR yg berhasil meredakan ketegangan politik yg sangat tinggi saat itu. Jika langkah ini yg diambil dan berhasil, maka Presiden Jokowi benar-2 akan tampil sebagai pemimpin negarawan yg mampu mengatasi kepentingan perkubuan dan politik. Rakyat akan mendukung pendekatan rekonsiliatif seperti ini, ketimbang pendekatan legal formal, seperti mengeluarkan Perppu, yg absah secara konstitusional.

Konflik di Parlemen ini merupakan tes kepemimpinan, bukan hanya utk parpol dari kedua kubu, tetapi juga Presiden Jokowi. Rakyat Indonesia, pasar, dan masyarakat internasional telah, sedang, dan akan menyaksikan bagaimana respon Presiden Jokowi menghadapi dan menjawab tes tsb dlm waktu dekat.

Simak tautan ini:

http://nasional.kompas.com/read/2014/10/30/20404951/Presiden.Jokowi.Berharap.KIH.dan.KMP.Bersatu
Share:

Wednesday, October 29, 2014

DPR SEDANG MEMBIDANI SEBUAH KRISIS POLITIK?

Seakan belum cukup kericuhan yang dilakukan sebagian Fraksi DI DPR kemarIn, hari ini muncul lagi "kekonyolan politik" yang lain: Mosi tidak percaya dari kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terhadap lima pimpinan DPR-RI dan pembentukan pimpinan DPR tandingan. Saya mengatakan bahwa ini adalah sebuah "kekonyolan politik", karena: 1) Manuver KIH ini bukan tidak mungkin akan menciptakan sebuah krisis politik yang serius ketika Pemerintah Presiden Jokowi baru berusia kurang dari 10 hari; 2) Apakah ada landasan hukum, termasuk Tatib di DPR, yang bisa dijadikan sebagai rujukan utk membuat sebuah mosi tidak percaya dan membentuk sebuah kepemimpinan tandingan?. Jika tidak ditemukan, maka manuver ini akan gagal bahkan sebelum mulai; 3) Upaya KIH meminta Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) ttg MD-3, belum tentu akan berhasil dan/atau menghentikan konflik dan krisis di Parlemen.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa pertarungan antara Koalisi Merah Putih (KMP) vs KIH masih terus berlangsung dan bahkan makin seru, kendati konon sudah terjadi rekonsiliasi antara Presiden Jokowi dengan Ketum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto (PS) beberapa waktu lalu. Babak baru pertarungan ini terjadi ketika perebutan posisi pimpinan alat-2 kelengkapan di DPR secara tuntas dan sapu bersih dimenangkan oleh KMP. Kini skor kemenangan KMP adalah 6:0 melawan KIH di Parlemen. Dan mungkin karena merasa sudah tidak ada jalan kompromi politik lagi, maka KIH mengambil jalan yang radikal dan tak biasa: mosi tidak percaya dan membentuk kepemimpinan tandingan di DPR!

Masih perlu dilihat apakah manuver ini hanya "bluffing" politik atau langkah serius yang mencoba merombak total kepemimpinan DPR di bawah KMP. Jika yang kedua yg terjadi, ini tentu akan menyeret para pendukung masing-2 kubu di luar Parlemen dan bahkan gema serta dampaknya bisa sampai di akar rumput. Sebab jika terjadi dead lock dalam proses politik di DPR, maka otomatis akan sangat mempengaruhi agenda kerja Pemerintah yang harus segera dibahas di Parlemen. Jika Pemerintah mengakomodasi kepentingan politik hanya dari salah satu kubu, maka probabilitas terjadinya konflik politik antara Pemerintah dan DPR akan tinggi. Hal ini pada gilirannya akan memicu terjadinya krisis politik yang implikasinya tentu sampai di masyarakat luas di seluruh negeri.

Siapa yang akan diuntungkan jika krisis tersebut terjadi? Yang jelas bukan rakyat dan negara Republik Indonesia. Paling-2 yg akan berebut adalah para elit politik yang hanya emikirkan diri sendiri dan kepentingan jangka pendek mereka. Dan krisi ini jika tdak tertanggulangi secepatnya akan bisa menghancurkan Reformasi dan demokrasi yang masih belum cukup kokoh di negeri ini. Kita semua sudah bisa menduga, siapa yang paling senang dan diuntungkan jika demokrasi di Republik ini hancur dan negeri ini kembali dikuasai rezim anti demokrasi.





     
Simak tautan ini:




http://politik.news.viva.co.id/news/read/552950-ini-dasar-hukum-koalisi-indonesia-hebat-bentuk-dpr-tandingan

Share:

BULLY FB THD JOKOWI & TINDAKAN LEBAY POLRI

 BULLY FB THD JOKOWI & TINDAKAN LEBAY POLRI : Kenapa Polri tdk pernah kapok membuat blunder dg kasus2 penagkapan semena-2 dg dalih "pencemaran nama baik" yg sebenarnya tdk perlu, dan malah kontra-produktif itu? Saya mempertanyakan, apkh Polri sedang mengalami krisis percaya diri yg begitu mendalam sehingga perlu-2nya bertingkah seperti itu? Ataukah ini cuma sekadar ekonomisme dlm nalar yg kini berkecamuk dan hegemonik di lingkaran elite Polri? Atau ini semacam bahan utk politisasi agar Presiden Jokowi terkena "awu anget" alias abu panas dari serangan-2 thd beliau sebagai implikasi penangkapan thd AM ?

Kasus "bully membully" thd Capres Jokowi seharusnya diletakkan dlm proporsi yg tepat dan dalam konteks yang layak. Bullying di medsos pada masa kampanye Pilpres atau Pileg merupakan salah satu dari dampak dan resiko dari keterbukaan politik yg ada dan, konsekuensinya, pihak aparat penegak hukum harus menyiapkan diri menghadapinya. Termasuk dalam hal ini, memahami dinamika masyarakat dan bagaimana menyikapi pelaksanaan hak asasi tsb secara proporsional. Bukan cuma main tangkap yg terkesan tdk konsisten dan serampangan. Bukankah kalau Polri mau konsisten mk ia hrs juga menangkap semua pembully capres lainnya, Prabowo Subianto ( PS)?. Aplgi dlm p[roses menangkap si MA itu Polri melakukannya tanpa ada pengaduan dari pihak yg dirugikan atau dicemarkan. Pdhl katanya pencenaran nama baik adlh delik aduan dan Jokowi pd saat itu belum jadi Presiden. Sehingga beliau belum bisa dikategorikam sbg lambang negara yang jika dilecehkan maka bukan lagi merupakan delik aduan.

Celakanya, kasus penangkapan lebay ini bs digoreng menjadi sebuah politisasi dan alat propaganda yg berpotensi merugikan Presiden dan Pemerintahannya yg masih baru. Perilaku lebay Polri bisa diinterpretasikan seolah2 Presiden baru ini menggunakan kekuasaan utk membungkam para pengritik. Padahal faktanya sangat berbeda: Jokowi adlh sosok yg tdk takut dg segala macam kritik, kecaman, bully dll selama beliau menjadi pejabat mulai Walikota sampai Ri-1. Justru karena kesabaran beliau yg sangat mencolok saat dibully itu sehingga ucapan "aku rapopo" (saya gak apa2) dengan cepat menjadi ikon dan 'trade mark' Presiden Jokowi yg dikenal di seluruh tanah air, karena hal itu menunjukkan toleransi terhadap perbedaan yg dimiliki wong Solo ini.

Seharusnya, kasus-kasus yg sering diberi label "pencemaran nama baik" itu membuat Polri lebih introspektif dan waspada dlm bertindak, tanpa mengurangi hak dan wewenangnya sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan publik di negeri ini, agar dirinya tdk semakin dicitrakan buruk oleh publik. Jangan sampai gara-gara tindakan yang lebay itu malah menciptakan maraknya teori konspirasi bhwa penangkapan MA ini adalah refleksi adanya saling jebak di antara oknum2 elit Polri yg sedang carmuk kpd Presiden baru. Dan yg lebih penting lagi, Polri jangan terkesan hanya berani kalau menghadapi rakyat kecil spt AM yg seorang pekerja tusuk sate itu. Polri mestinya lebih giat menangkapi koruptor dan pelaku kekerasan yg berbajaya bg Republik ini.

(http://m.okezone.com/read/2014/10/28/337/1058123/pelaku-bullying-jokowi-menyesal).
Share:

Tuesday, October 28, 2014

PAGELARAN PREMANISME DI SENAYAN:



"Apakah kelakuan sebagian anggota DPR seperti anak TK?" Salah! "Atau seperti 'play group'?" Lebih salah lagi! "Apakah seperti PAUD?" Sama sekali tidak benar!. "Lalu apa dong?" Seperti sekelompok preman yang sedang rebutan hasil jarahan! "Kok sadis amat?" Ya memang itu yang paling pas sebagai metafora. "Kenapa?"

Pertama, DPR adalah lembaga tinggi negara sehingga anggotanya harus menjaga kehormatan selayaknya lembaga tinggi sebuah negara. Hanya mental preman saja yg tidak peduli dengan kehormatan Kedua, anggota DPR selalu dipanggil atau minta dipanggil "yang terhormat" oleh pihak lain, sehingga tentunya harus memiliki dan mampu menjaga etika dan etiket. Jika minta dipanggi terhormat tetapi perilakunya berlawanan, maka preman namanya. Ketiga, DPR adalah sebuah forum yang mewakili, dan sebagai pengejawantahan, aspirasi rakyat. Karena itu wajib bagi para anggotanya menjaga martabat diri sendiri maupun kolektif dengan menggunakan etika dan etiket yg disepakati. Keempat, para wakil rakyat adalah orang-orang terpilih dari sekian juta rakyat Indonesia. Jika diantara mereka ada yg berperilaku tidak beradab, maka berarti mereka tak layak utk dianggap sebagai mewakili keadaban. Kelima, anggota DPR juga secara langsung menjadi representasi bangsa dan negara RI di mata negara-2 lain. Jika perilaku mereka tidak etis dan tidak santun maka bangsa lain akan menganggap Indonesia kualitasnya sama dengan sementara anggota DPR yg seperti preman itu.

Sebenarnya masih ada alasan lain, misalnya, fakta bahwa yg ribut adalah anggota DPR dari fraksi parpol Islam, dan yang memimpin paripurna juga wakil DPR yg berasal dari fraksi parpol Islam. Kelakuan preman yg dipertontonkan oleh kedua pihak, sangat mempermalukan ummat Islam dan jelas berlawanan dengan ahlaqul karimah yang menjadi salah satu ajaran dalam agama Islam. Perilaku preman anggota DPR, membalikkan meja, teriak-teriak, memceahkan gelas, dll sangat jauh dengan klaim sebagai parpol Islam. Dan saya kira mereka yang bikin ribut itu harus dievaluasi lagi apakah masih layak menjadi wakil ummat Islam di DPR yg terhormat.

Insiden siang tadi bisa menjadi salah satu pertanda bahwa kualitas DPR periode 2014-2019 sama atau lebih jeblog dari sebelumnya. Paripurna yang diwarnai oleh kericuhan merupakan cermin retak dari kualitas dan citra DPR baru ini. Jika DPR sebelumnya mengalami defisit yang sangat besar dalam hal kepercayaan (trust) rakyat, maka DPR hasil Pileg 2014 ini rasanya juga aakan mengulangi reputasi yg sama. Bahkan bukan saja soal kepercayaan, bahkan kesantunan publik (Public civility) pun mengalami defisit.

Astaghfirullah... Semoga mereka masih bisa disadarkan dan diperingatkan.

(http://news.detik.com/read/2014/10/28/163721/2732182/10/paripurna-dpr-ricuh-meja-politisi-ppp-dibanting-dan-dua-gelas-pecah)
Share:

HEBOH DI DALAM PARTAI DEMOKRAT, SALAH SIAPA?

Bukannya melakukan konsolidasi dan merapatkan barisan, Partai Demokrat (PD) malah ribut dan elitnya main kayu dengan memecat anggotanya yang sudah terpilih menjadi anggota DPR. Itulah yg terjadi setelah partai yg menjadi penguasa RI mengalami kemerosotan dalam perolehan Pileg dan jeblog dalam Pilpres 2014. Seharusnya, partai yg dipimpin mantan Presiden ke 6, SBY, itu melakukan refleksi diri dan konsilidasi serta bersih-bersih. Ini agar kiprahnya utk bangkit kembali dan mampu menjaga marwahnya utk 5 th yang akan datang bisa berhasil. Tetapi ternyat PD menggunakan jurus sebaliknya: melakukan penghancuran diri (self-destruct) dengan konflik internal!

Anehnya, pihak yang dipecat adalah mereka yg berhasil mengalahkan inkamben dalam Pileg, dan pihak yg dikalahkan adalah para elit DPP. Mantan Menegpora, Roy Suryo (RS) dikalahkan oleh Ambar Cahyono (AC) di Dapil DIY, sedang Allen Marbun (AM) dikalahkan oleh Rooslynda Marpaung (RM) di Dapil Sumut. AC dan RM ternyata malah dipecat karena dianggap melakukan pelanggaran etik partai, sehingga kemungkinan RS dan AM akan balik melenggang ke Senayan! Namun ternyata, pemecatan oleh PD ini masih belum menyelesaikan persoalakn karen belum mendapat pengakuan resmi oleh KPU. Bahkan pihak yg dipecat pun belum ada kabar apakah akan menerima atau tidak.

Sungguh sangat ironis partai berlambang Mercy ini. Reputasi dan kredibilitasnya makin kedodoran karena ketidak mampuan elitnya menjaga integritas partai pasca-Pileg dan Pilpres. PD, bukan saja mengakhiri kekuasaannya di Pemerintahan dengan para mantan elit DPPnya banyak yg kena kasus tipikor dan masuk bui, tetapi juga menampilkan perilaku oportunis di Parlemen, serta meninggalkan nama kurang harum dalam kasus UU Pilkada. Kini ditambah satu lagi, gegeran para elitnya soal kursi di DPR RI.

Publik tentu akan berspekulasi apakah ini adlh upaya mengembalikan para elit DPP yg tergusur dlm Pileg, atau pertanda ketidak mampuan duet SBY dan Ibas dalam mengendalikan kapal PD yang sedang oleng dan mungkin mengalami kebocoran do tengah samudera itu?  Apapun jawabannya, yg terang PD memerlukan penyelamatan agar tidak tenggelam. Sebuah tim SAR sangat diperlukan supaya marwah partai ini tidak hancur-2an dalm tempo yang singkat. Pak SBY perlu mengambil sikap yg tegas agar bisa membendung datangnya ancaman-2 baru yg bisa menghanncurkan masa depan partainya.


Simak tautan ini:

http://news.detik.com/read/2014/10/28/122624/2731793/10/bawaslu-pemecatan-2-anggota-dpr-dari-pd-sangat-lemah-di-mata-hukum?nd771104bcj
Share:

Monday, October 27, 2014

KPK BILANG, ANGGOTA KABINET KERJA BERSIH

Berbeda dg pandangan dari berbagai kalangan bhw bbrp nama yg kini menjadi anggota Kabinet Kerja (KK) masih ada yg terkena tanda merah atau kuning oleh KPK, menurut jubir KPK sendiri justru sebaliknya: semua anggota KK bersih dari kedua tanda tsb. Johan Budi (JB) tentu tidak asal bunyi saja ketika bicara, karena hal tersebut menjadi salah satu isu terpenting dlm penyusunan anggota KK dan juga kredibilitas pemerintah Jokow-JK ke depan. Keterangan JB akan bisa menepis rasa was-was  publik dan sekaligus menjadi modal besar bg KK untuk bekerja lbh tenang.

JB benar ketika ia bilang bhw kendati anggota KK saat ini dinyatakan bebas korupsi, tetapi tak ada jaminan mereka tidak akan tergoda dan malah bs terlibat urusan rasuah dlm perjalanan ke depan. Ini adlh sebuah realitas karena memang godaan dan kesempatan utk melakukan korupsi senantiasa terbuka bg para pejabat negara, termasuk para Menteri. Dg demikian, clearance dari KPK dan PPAT thd para Menteri saat ini jangan sampai dianggap sebagai suatu hal yg permanen atau final. Ia lebih tepat disebut sebagai salah satu modal awal yg penting utk meraih kepercayaan dan mendapat dukungan rakyat agar bisa bekerja secara optimal.

Idealnya, sg adanya modal kepercayaan itu para Menteri bisa melakukan proses pembersihan ke dalam kementerian mereka. Sehingga upaya membangun tatakelola yg baik (good governance) dan pemerintahan yg bersih (clean government) akan punya fondasi moral yg lebih kuat karena pemimpinnya memang orang yg bersih. Yg harus dilakukan setelah itu adalah membuktikan komitmen-2 tsb dlm kerja nyata selama mengemban amanah sebagai Menteri.

Walhasil, keterangan KPK melalui jubirnya ini patut diapresiasi oleh semua pihak dan jangan didistorsi lagi utk kepentingan politik. Kini para Menteri tinggal membuktikan bhw mereka memang layak diamanahi oleh Presiden yg juga merupakan amanah rakyat Indonesia. Semoga!

Simak tautan ini:

(http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/10/27/08062161/kpk.menteri.jokowi-jk.bersih.dari.catatan.merah.atau.kuning.)

Share:

Sunday, October 26, 2014

KABINET KERJA 2014-2019 DIUMUMKAN PRESIDEN JOKOWI




Alhamdulillah, Presiden Joko Widodo, sore ini mengumumkan susunan Kabinet Kerja 2014-2019, yg nama-2nya seperti dalam tautan di bawah ini. Seperti yang saya posting dalam TL sebelumnya, Kabinet ini merupakan kompromi maksimal yang bisa dicapai oleh Presiden Jokowi dengan 1). Para elit parpol pendukung utama (PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura) dan parpol yang datang belakangan (PPP); 2). Para sponsor Piplres 2014 yang memenangkan pasangan Jokowi-JK; dan 3) Para relawan, simpatisan, dan publik pada umumnya.

Presiden Jokowi telah melakukan sebuah terobosan penting yg bisa dijadikan konvensi dlm membentuk Kabinet oleh para Presiden selanjutnya, yaitu menggunakan lembaga anti rasuah (KPK dan PPATK) dalam proses seleksi ini. Terobosan ini bisa meningkatkan kepercayaan rakyat kepada Presiden bahwa beliau sangat serius dalam masalah kebersihan para pembantunya dari masalah korupsi. Selain itu Presiden Jokowi juga menunjuk kaum perempuan dalam jumlah terbanyak, yaitu 8 orang Menteri termasuk Menko Pembanguna Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Dan yg penting dalam Kabinet Kerja ini Menteri Luar Negeri dijabat oleh perempuan dan yang pertama kalinya dlm sejarah RI.

Tentu tidak ada gading yang tak retak. Tidak ada ciptaan dan/atau usaha manusia yg sempurna. Karena itu yg perlu dijadikan tolok ukur kualitas Kabinet Kerja (KK) adlh kiprah para Menteri itu di masa yad. Tugas yang berat menantang di hadapan mereka dalam berbagai bidang strategis, seperti pendidikan, SDM, energi, pangan, keamanan nasional, dan kemandirian ekonomi serta kesejahteraan sosial. Selamat bekerja dan semoga sukses...!!

(http://nasional.kompas.com/…/Inilah.Susunan.Kabinet.Kerja.J…).


Share:

Saturday, October 25, 2014

KABINET TRISAKTI DAN KOMPROMI POLITIK:

Namanya juga 'bocoran', jadi tingkat validitas maupun akurasi informasi yg didapat juga tdk bisa terlalu dipercaya. Tetapi bocoran atau 'leakage' dlm dunia politik biasanya juga tidak bisa disepelekan, apalagi ditolak mentah2. Sebab kadang2 pembocoran info oleh pusat-2 kekuasaan memang disengaja dan disebar utk menjajagi reaksi publik dan pasar thd suatu keputusan yg sangat penting, misalnya calon2 anggota Kabinet. Dengan demikian, info bocoran mengandung kebenaran sampai tingkat tertentu dan tdk hanya omong kosong total. Media yg punya reputasi bagus dan wartawannya handal, biasanya mampu menyaring bocoran yg KW 1 atau KW 2 atau yg cuma hoax belaka.

Hemat saya, bocoran ttg susunan Kabinet Trisakti yg akan diumumkan besuk oleh Presiden Jokowi yg ada di tautan ini, cukup valid. Probabilitasnya bisa di atas 80% jika ditilik dari asal usul dan kualifikasi nama2 tsb. Nama2 spt Wiranto, Ryamizard, As'ad Ali, Jonan, Khofifah, Siti Nurbaya, Puan, Pratikno, Komarudin Hidayat (untuk menyebut bbrp di antaranya) saya kira amat kuat dan tinggi probabilitasnya utk muncul dlm pengumuman. Nama seperi Rini Soemarno, mungkin masih belum tentu muncul besuk karena resistensi publik yg tinggi.

Jika dmk maka kita sudah bisa membayangkan seperti apa pemerintahan Prediden Jokowi yad. Saya kira itulah yg bisa dicapai oleh Jojowi dlm membentuk squad Kabinetnya di tengah tarik menarik dan berbagai tekanan politik yg luar biasa, serta harapan para pendukung dan rakyat Indonesia. Selamat bekerja!!

Simak tautan ini:

http://m.merdeka.com/…/jelang-pengumuman-beredar-bocoran-na…
Share:

Friday, October 24, 2014

APA SIH PENTINGNYA "HARI SANTRI" ITU?

Omongan Syahrul E. Dasopang (SD), Direktur sebuah LSM bernama Indonesia Reform, bhw usulan ttg Hari Santri akan menciptakan konflik antara kaum Santri vs Abangan, hanyalah cerminan ketidak pahaman dan kekonyolan penalaran, dan tanpa ditunjang bukti saja. Argumen SD bhw dikotomi santri dan abangan akan muncul kembali gara2 ada peringatan Hari Santri, saya kira, sangat tdk bisa diterima nalar sehat. Sebab dikotomi tsb secara ilmiah, menurut kajian antropologi budaya misalnya, bukanlah sebuah pemilahan yg pada dasarnya konfliktual tetapi lebih merupakan deskripsi fenomenologis tentang pemahaman agama di dlm masyarakat Jawa. Yakni pemaknaan realitas yg bersumber dari nilai budaya ttg spiritualitas dlm konteks Jawa. Benar bahwa pemaknaan itu bisa mewarnai dan dimanipulasi oleh ideologi dan kekuatan politik yg nyata, namun ia tdk selalu harus tampil dlm bentuk konfrontatif.

Clifford Geertz (CG), antropolog kondang dari AS, pd th 60-an menggunakan pendekatan fenomenologis ketika beliau menjelaskan pluralitas pemahaman keagamaan di Jawa, khususnya di kalangan komunitas Muslim. Tiga kategori "santri, abangan, dan priyayi" tidak serta merta berbeda secara fundamental dan sangat tegas karena kategori2 tsb bisa saja terjadi pd mereka yg mengaku beragama Islam. Demikian pula jika konteks abad 21 saat ini digunakan, maka kemungkinan-2 pergeseran makna mengenai kesantrian di masyarakat Jawa sendiri terutama setelah terjadi transformasi sosial akibat modernisasi yg besar2an selama lima dasawarsa terakhir.

Bagi saya usulan "Hari Santri" masih tetap terbuka utk berbagai penafsiran dan tdk bisa hanya dimonopoli oleh sekelompok tertentu ummat Islam, misalnya kalangan ormas Islam terbesar di negeri ini, yakni NU. Kategori kaum santri dan karakter kesantrian jelas tdk hanya milik NU dan kaum pesantren saja. Ormas spt Muhammadiyah dan Persis dll juga termasuk disana, demikian pula jutaan ummat Islam yg berada di luar ormas2 tsb. Belumlagi jika ketegori semacam itu dikaitkan dengan pemahaman aliran teologis dlm Islam yg kini makin menambah pluralitas ummat.

Apalagi dg kategori abangan. Ini lebih spesifik lagi maknanya karena hanya dikenal di Jawa wlpn sesungguhnya fenomena "keabanganan" bisa dijumpai di mana saja bahkan di luar ummat Islam. Ia bukanlah pengelompokan sosial yg kongkrit apalagi memiliki kekuatan politik riil dan/atau diwakili parpol tertentu. Walhasil, omongan SD hanyalah semacam sensasi politik belaka yg ditujukan kpd Jokowi dan pendukungnya. Karena cuma sensasi mk kekhawatiran yg dikemukakannya jug tak berdasar.

Saya justru cenderung utk mempertanyakan pembuatan Hari Santri ini dari sisi substansi, yakni manfaatnya bagi bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Apkh sekadar semacam hiburan politik bg para pendukung pencapresan Jokowi-JK atau memang ada manfaat yg lebih jauh dr itu?. Sebab sudah banyak hari2 yg ditahbiskan sebagai momen yg perlu dirayakan di negeri ini baik yg wajib maupun tidak. Misalnya ada hari Proklamasi Kemerdekaan, Hari Pahlawan, dll yg dirayakan secara nasional dan memang sangat bermakna besar bg bangsa. Tapi ada juga Hari Bumi, Hari Kesehatan, Hari Batik dll yg tidak banyak diketahui publik selain yg merasa terkait langsung. Kalau ditambah dg Hari Santri, lalu apa sih arti dan manfaatnya? Saya mengaku sebagai seorang santri dan (alhamdulillah) juga dianggap santri oleh orang lain. Tapi saya tdk paham apkh ada sesuatu yg signifikan dan membedakan jika ada Hari Santri diperingati dan dirayakan, baik dlm tataran makna maupun manfaat kongkrit. Mungkinkah ini karena saya tidak ikut heboh menuntut perlunya label2 spt itu? Wallahua'lam.

Simak tautan ini:

http://m.rmol.co/news.php?id=162154
Share:

Thursday, October 23, 2014

KENISCAYAAN KOMPROMI POLITIK DALAM PEMBENTUKAN KABINET

Dipadang dari aspek legal formal, tidak ada persoalan jika pengumuman Kabinet Presiden Jokowi tidak segera dilakukan. UU memberi waktu 14 hari kepada beliau utk menyusun dan mengumumkan para Menterinya setelah dilantik oleh MPR. Walau Tim Transisi yg dibentuk jauh hari telah bekerja, dan salah satu fungsinya adalah membantu Presiden terpilih dalam masalah Kabinet, tetapi ia tidak bisa diharapkan membuat proses seleksi akan cepat. Pasalnya, Tim hanya memiliki wewenang terbatas, termasuk melakukan proses seleksi kandidat anggota Kabient sampai pada level tertentu, misalnya kualifikasi mereka secara umum. Tetapi keputusan terakhir tetap saja ada pada pemegang kekuasaan politik. Dan kendati secara konstitusional Presiden Jokowi memiliki hak prerogatif utk menunjuk siapa saja menjadi pembantunya, tetapi penggunaan hak itupun tetap harus sangat berhati-hati karena bukan saja menentukan kualitas dan kinerja Kabinet, tetapi implikasinya terkait kepentingan nasional dan bahkan keamanan nasional.

Dengan demikian, kalau kini di ruang publik marak berkembang wacana "keterlambatan" dan "penundaan" pengumuman Kabinet, maka wacana tsb harus dipahami bukan dari masalah legal formal tetapi dari sudut politik. Sumber masalah kerumitan pembentukan Kabinet bisa dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kendala prosedural dan tarik menarik antara para pemangku kepentingan dan elite politik termasuk Presiden, Wapres, pimpinan-2 parpol, dan juga para "sponsor" dari luar. Jika kendala-2 ini belum terselesaikan secara memuaskan maka proses penentuan otomastis akan berkepanjangan sampai tenggat waktu datang. Faktor eksternal termasuk reaksi dari pihak parpol opisisi (KMP), media massa, reaksi pasar, dan opini publik (termasuk pandangan pengamat) yang pada gilirannya ikut menciptakan suasana dan kesan bahwa Presiden Jokowi terlambat dan melakukan penundaan tsb.

Hemat saya, faktor internal lebih dominan dan menentukan ketimbang eksternal, karena segera setelah Pilpres 2014 usai, Presiden Jokowi harus menghadapi tekanan dan sekaligus mengelola konflik kepentingan dari berbagai penjuru, khususnya ketua-2 parpol dan para sponsor politik. Figur seperti Megawati (MS), Wiranto (W), Surya Paloh (SP), dan Imin (MI) tentu harus didengar usulnya dan mereka bahkan bisa menekan Jokowi dg "ancaman" dukungan politik. Belum lagi posisi JK yg juga sangat berpengaruh dalam membawa usulan dari para "sponsor" Pilpres. Presiden Jokowi, kendati punya hak prerogatif, tetap harus berhati-2 menghadapi mereka. Bahkan, rekomendasi KPK dan PPATK pun tdk bisa serta merta digunakan utk menolak mentah-2 usul parpol dan sponsor tsb. Sebab, selain soal kebersihan dari korupsi, masih ada variabel-2 lain yg juga mesti dipertimbangkan, termasuk politik dan balas budi.

Posisi politik Presiden Jokowi tdk sama dengan Presiden SBY ketika beliau membentuk Kabinet. Selain dlm hal paradigma, juga realitas dukungan parpol yg dimiliki keduanya sangat berbeda pula. Itu sebabnya kendati sudah membentuk Tim Transisi, Presiden Jokowi tdk bisa segera menyusun Kabinet, termasuk menggunakan hak prerogatif sebagai Kepala Pemerintahan, seperti Pak SBY dulu. Prediksi saya, susunan Kabinet Trisakti 2014-2019 nanti masih akan merupakan sebuah hasil kompromi politik maksimal yg bisa dicapai oleh Presiden Jokowi. Respon dan dukungan dari publik yg positif di masa awal kepresidenan beliau, menjadi sangat penting pengaruhnya apakah beliau dan crewnya bisa segera bekerja atau masih harus menghadapi situasi yg belum kondusif. Berhubung opini publik kita sangat rentan thd pengaruh media, maka strategi komunikasi publik dan manajemen opini publik adalah pekerjaan rumah yang paling penting dari Istana Negara.


Simak tautan ini:

http://www.tempo.co/read/news/2014/10/22/078616482/PDIP-Tak-Ada-Istilah-Penundaan-Pengumuman-Kabinet
Share:

Wednesday, October 22, 2014

TRADISI BARU SELEKSI MENTERI ALA PRESIDEN JOKOWI

Sebuah tradisi yang baik telah diciptakan oleh Presiden Jokowi, yaitu memeriksa jejak rekam para calon Menteri terkait masalah korupsi. Beleid Presiden yang baru dilantik dua hari lalu itu, tak diragukan lagi, akan menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah demokrasi dan ketatanegaraan di Republik Indonesia. Sebab inilah pertama kalinya dalam sejarah bahwa komitmen terhadap pemberantasan korupsi diwujudkan secara tegas dan diterapkan kepada penyelenggara negara pada level paling atas, yakni anggota Kabinet. Presiden Jokowi telah mengukir sebuah terobosan besar yang akan menjadi rujukan bagi para Presiden berikutnya, bahkan bisa jadi akan dilakukan kepada seluruh pejabat negara, termasuk calon anggota DPR/D, DPD, dan seluruh aparatur negara.

Apakah dengan demikian nanti Kabinet Jokowi akan benar-2 imun dari korupsi? Belum tentu. Rekomendasi KPK dan PPATK, hanyalah sebuah deteksi dan peringatan dini saja kepada Presiden terkait dengan prospek para calon Menteri itu terkait dengan masalah korupsi. Walaupun KPK dan PPATK telah memberi tanda merah atau kuning, pada akhirnya yang memiliki hak prerogatif menagangkat Menteri adlah Presiden Jokowi. Secara legal formal, bisa saja, karena pertimbangan politis atau apapun, mereka yg sudah diberi tanda merah oleh kedua lembaga anti rasuah tsb bisa tetap lolos. Wapres Jusuf Kalla (JK) memberikan isyarat ini ketika ia mengatakan bahw asas praduga tak bersalah masih akan digunakan dalam menyikapi rekomendasi ini.

Namun demikian saya kira rakyat akan lebih apresiasi jika Presiden Jokowi mengikuti rekomendasi KPK secara konservatif, artinya menolak para calon yg mendapat tanda kuning, apalagi merah. Sebab, selain hal ini akan membuat publik semakin percaya kepada komitmen Presiden Jokowi terhadap pengelolaan pemerintahan yg bersih, ia juga akan menjaga ketenangan kerja Presiden dan Kabinetnya. Jika beliau masih memasukkan calon yang ditandai kuning oleh KPK, maka jika suatu saat diketahui publik, maka hal itu akan bisa dijadikan sebagai alat delegitimasi dan gangguan tehd Pemerintah. Bukan saja akan dipertanyakan soal komitmen thd korupsi, tetapi juga untuk mengganggu kinerja sang Menteri maupun Presiden secara keseluruhan. Last but not the least, rekomendasi KPK dan PPATK ini juga dapat digunakan menolak intervensi parpol yg mau seenaknya menempatkan orang-2nya menjadi anggota Kabinet.

Salut kepada Presiden Jokowi! Semoga tradisi yg diciptakannya ini bisa diformalkan dalam peraturan perundang-2an, yg mengikat dan berlaku bagi seluruh aparat penyelenggara negara di Republik dini dimasa depan.

Simak tautan ini:

http://nasional.kompas.com/read/2014/10/22/18591201/KPK.Soal.Kabinet.Pemerintah.Jokowi.Tidak.Responsif.jika.Abaikan.Rekomendasi.KPK
Share:

MELEPASKAN INDONESIA DR STIGMA PELANGGARAN HAM

Masih ingat Allan Nairn (AN), jurnalis Amrik yg pernah menulis ttg Prabowo Subianto (PS) ketika beliau nyapres bbrp waktu lalu? Tulisan AN yg membuat banyak orang yg mendukung PS meradang dan publik Indonesia gerah antara lain terkait dg wawancara 'off the record' antara dirinya dg PS. Menurut AN, ia 'terpaksa' melanggar etika jurnalistik dg membuka isi wwcr itu utk publik dg alasan kepentingan publik Indonesia yg lebih besar. Isi wwcr yg heboh tsb antara lain ttg bgmn PS menghina alm Gus Dur, bgmn pandangan boss Gerindra tsb ttg masih perlunya kediktatoran di Indonesia, dan keterlibatan mantan Pangkostrad tsb dlm aksi2 militer yg melanggar HAM di Timor Leste, dll. (http://m.metrotvnews.com/read/2014/07/02/260282).

Kini AN menganggap perlu mengingatkan Presiden Jokowi agar beliau tidak mengangkat pembantu2nya yg mantan militer atau sipil yang dikategorikannya sebagai para pelanggar HAM. Nama2 seperti Hendropriyono (HP) dan As'ad Ali ( AA) pun muncul sebagai pihak2 tsb. Kasus2 Talangsari dan pembunuhan tokoh HAM, Munir, digunakan AN sbg alasan kenapa Presiden Jokowi harus mencoret nama keduanya. Apkh AN punya bukti2 yg sah secara hukum di Indonesia? Saya belum jelas. Tetapi apa yg dikemukakan AN jelas punya resonansi dan senafas dg apa yg sering dilontarkan sebagian pegiat HAM di negeri ini, khususnya LSM2 seperti Kontras, Imparsial, Setara Institute, dan bahkan lembaga resmi spt Komnas HAM serta kalangan intelektual.

Baik AN maupun pihak2 yg sepandangan dgnya tentu saja mempunyai hak utk bicara dan, khususnya mereka yg menjadi warga negara RI, menyampaikan aspirasi politiknya. Namun mereka juga harus memberi ruang kepada Presiden Jokowi utk mempertimbangkan nama2 tsb dan jika keputusan beliau tetap mempertahankan atau menunjuk mereka sebagai para pembantunya juga merpakan hak beliau. Mengapa? Sebab bisa jadi Presiden Jokowi menggunakan alasan bhw kedua orang tsb sampai saat ini secara fakta hukum belum pernah dijatuhi vonis sebagai pelanggar HAM dalam kasus2 yg dituduhkan. Secara politik barangkali akan muncul persepsi2 negatif di ruang publik, tetapi hal itu merupakan resiko yg mestijya sudah dikalkulasi dalam konteks dinamika politik Indonesia saat ini.

Tambahan pula, Presiden Jokowi juga telah berkomitmen utk menuntaskan kasus2 pelanggaran HAM yg tersisa sampai kini. Ini akan menjadi tes bagi pemerintahan beliau dan hrs dibuktikan dg membuka kasus2 spt Talangsari,  pembunuhan Munir, dll  yg jika perlu dg membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Jika memang pengadilan tsb fair dan terbuka, saya yakin semua pihak yg terkait dan rakyat Indonesia akan mendukungnya. Ketimbang isu2 HAM selalu menjadi komoditas politik dari sementara orang dan kelompok yg dipakai utk menekan pihak2 yg tdk disukai atau stigma politik thd figur2 tertentu, saya kira lebih baik dituntaskan secara terbuka, jujur, dan adil.

Bangsa Indonesia tidak boleh membiarkan kasus2 HAM berat tak tersentuh oleh hukum. Tetapi pd saat yg sama, bangsa ini juga jangan mau dikompori oleh sementara orang atau kelompok yg memakai isu2 HAM. Apalagi jika melupakan dimensi keamanan nasional dan harkat sebai bangsa dan negara berdaulat. Pelanggaran HAM berat tetap harus diusut dan dituntaskan, tetapi proses hukum pun mesti diikuti secara konsisten oleh siapapun. Bukan hanya mengikuti keinginan dan agenda2 sekelompok orang atau golongan tertentu saja.









Simak tautan ini:

http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/10/22/03371301/jurnalis.investigasi.allan.nairn.ingatkan.jokowi.jangan.pilih.menteri.pelanggar.ham
Share:

Tuesday, October 21, 2014

PERUWAT AMIEN RAIS DILAPORKAN KE POLISI:

Seperti saya tulis dalam tulisan di blog ini beberapa hari lalu, reaksi terhadap aksi ruwatan terhadap mantan Ketua MPR-RI, Amien rais (AR) akan muncul dengan berbagai bentuk berbeda, termasuk membawa pihak pelaku aksi ke ranah hukum. Dan inilah yang kini terjadi, kelompok yang menyebut diri sebagai eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), menuntut koordinator aksi ruwatan, Agus Sunandar (AS) ke Polda DIY. Kelompok yg terdiri atas Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pemuda Muhammadiyah (PM) dan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) DIY itu melaporan tindakan AS karena dinilai telah menebar fitnah. Menurut para penuntut, aksi ruwatan tsb selain fitnah juga pencemaran nama baik, karena tokoh wayang (sengkuni) yang direpresentasikan untuk Amien Rais, "jauh dari beradab dan jauh dari kebenaran."
Saya kira reaksi AMM tentunya sudah diantisipasi oleh organisasi yang membuat aksi ruwatan tsb, karena memang ada potensi ke arah itu. Jangankan ruwatan yang telah menarik perhatian publik dan melibatkan sorang tokoh se kaliber AR, soal cuitan di dunia maya oleh Florence Sihombing (FS) yg dianggap menghina Yogya, juga telah dilaporkan sebagai tindakan pidana oleh sebagian LSM di Kota Gudeg tsb. Dibandingkan dengan cuitan FS, maka aksi ruwatan ini jelas lebih terang-2an dan obyek atau targetnya lebih spesifik, serta dengan tujuan yang secara eksplisit dikemukakan oleh sang koorniator aksi.

Yang menarik dari perkembangan aksi ruwatan ini adlh belum adanya reaksi dari AR (setidaknya yang saya baca dari media atau medsos) thd aksi yg ditujukan kepada dirinya. Bisa jadi, AR sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan aksi tersebut dan karenanya enggan mengomentari. Mungkin sebagai tokoh yang sudah kenyang dengan segala macam kritik, AR menganggap hal itu sebagai sebuah dinamika masyarakat yang bisa terjadi dan tak perlu direspons. Tetapi di pihak lain, ada ketersinggungan kolektif dari kalangan Muhammadiyah, dalam hal ini AMM, karena menganggap ada pelecehan dan fitnah terhadap sosok yang menjadi panutan dan pernah memimpin ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu.

Bagaimana respons Polda DIY terhadap tuntutan AMM tergadap AS itu? Apakah akan serta mereta merespon seperti dlm kasus FS yang baru lalu? Bukankah keduanya juga sama-sama termasuk dalam delik aduan juga? Ataukah, belajar dari pengalaman FS kemarin, Polda DIY akan mengupayakan rekonsiliasi terlebih dahulu antara kedua pihak, AMM vs AS? Lalu bagaimana publik Yogya sendiri, selain AMM dan warga Muhammadiyah, akan bereaksi thd perkembangan aksi ruwatan thd AR?

Pertanyaan-2 ini masih menunggu perkembangan selanjutnya dari kasus ini. Yang jelas ini akan menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat dan bangsa Indonesia terkait dengan dinamika masyarakat dlm menyikapi tokoh-2nya dan bagaimana kelompok masyarakat menyikapinya. Resolusi konflik yang damai tentu diharapkan dan masing-masing pihak saling belajar dalam kehidupan di masyarakat terbuka dan majemuk di Indonesia.

Simak tautan ini:

http://www.tribunnews.com/regional/2014/10/21/massa-muhammadiyah-laporkan-koordinator-ruwatan-amien-rais-ke-polisi
Share:

SULITNYA SELEKSI KABINET PRESIDEN JOKOWI

Test pertama utk Persiden Jokowi setelah beliau dilantik kemarin adlh menentukan siapa saja anggota Kabinetnya. Ini bukan perkara sepele atau bahkan bisa dibandingkan begitu saja dg Presiden sebelumnya. Presiden Jokowi adlh Presoden pertama yg memberikan beberapa syarat yg berat jika dibaca dari sudut pandang politik. Misalnya, bhw Menterinya harus non aktif dari jabatan pimpinan parpol. Ini tentu menjadikan Ketum parpol seperti Imin (PKB) akan kelimpungan. Sebab sangat tdk mungkin Imin tdk tertarik utk jadi Menteri lagi. Tetapi jika Presiden Jokowi konsisten, berarti Imin mesti non aktif sbg Ketum. Mungkinkah dia akan menyerahkan jabatan Ketumnya pd Waketum atau yg lain di PKB? Bisa saja dia akan menciptakan struktur baru di PKB utk tetap menjaga kekuasaannya, tetapi potensi terjadinya keribetan bukannya tertutup.

Lalu syarat tidak bermasalah dlm urusan korupsi. Presiden Jokowi meminta clearance kpd KPK dan PPATK agar nama2 calon Menterinya dipelototi apkh berpotensi kena masalah tipikor di masa depan. Ini tentu sebuah terobosan yg sangat penting dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Pengalaman sebelumnya jika Menteri diperiksa KPK akan berdampak negatif thd citra maupun kinerja Kabinet. Namun lagi2 ini akan membuat calon2 dr parpol lebih ketar-ketir lagi. Sebab potensi bermasalah tipikor bg elit parpol lebih besar ketimbang mereka yg dari profesional wlpn bukan berarti yg disebut terakhir itu tak berpotensi bermasalah.

Hal2 tsb di atas alan menentukan kredibilitas Presiden Jokowi di mata rakyat yg kini sangat berharap beliau konsisten dg janji kampanye. Pada saat yg sama parpol2 yg mendukung juga masih bersikukuh dg model lama. Tak kurang dari Puan Maharani (PM) sendiri yg bilang bhw ketum parpol tak perlu non aktif jika jadi Menteri. Demiiian pula Imin dkk yg samoai saat ini madih belum jelas apkh akan mengikuti arahan Prediden Jokowi atau tidak.

Jika elite parpol dlm KIH mendukung Presiden Jokowi maka akan mudah bg beliau utk lulus dr tes pertama ini. Tetapi jika mereka mbulet, mk akan gagal pula beliau membujtikan janji politik yg sangat ditunggu publik ini. Semoga beliau berhasil menemukan jalan utk memecahkan soal yg cukup sensitif ini dg pendekatan komunikasi beliau yg sudah terbukti efektif sebelumnya.

Simak tautan ini:

http://m.tempo.co/…/0…/Jokowi-Batal-Umumkan-Kabinet-Hari-Ini
Share:

Monday, October 20, 2014

SELAMAT TINGGAL ISTANA, TERIMAKASIH PAK SBY DAN IBU ANI

Hari ini, 20 Oktober 2014, Pak SBY mulai menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa setelah 10 tahun menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Republik Indonesia. Bersama Ibu Ani Yudhoyono (AY), beliau berdiam di Istana Negara dan melaksanakan tugas Konstitusional dan amanat rakyat dibantu oleh para Anggota Kabinet (KIB-1 dan 2). Sejarah akan mencatat bahwa Pak SBY telah meninggalkan legacy sangat penting dalam kehidupan ketatanegaraan di Republik ini dan yang akan menjadi rujukan (referensi) selama NKRI masih tetap berada di bawah payung Konstitusi UUD 1945. Legacy tersebut adalah sebuah proses suksesi kepemimpinan nasional yang aman, damai, dan didukung oleh seluruh rakyat Indonesia secara Konstiotusional. Baru kali ini dalam sejarah Republik Indonesia, seorang Presiden terpilih langsung oleh rakyatnya dan berhasil memenuhi dua masa jabatan secara penuh, serta melakukan pergantian jabatan dengan suasanan yang damai.

Legacy lain juga masih ada, tetapi bagi saya, inilah yang akan menjadi salah satu catatan sejarah terpenting dan menjadikan Pak SBY sebagai Presiden yang besar jasanya bagi negara dan bangsa Indonesia. Jika BK adalah Proklamator Indonesia, Pak Harto adalah Pembangun Bangsa, Pak Habibie pengantar menuju transisi demokrasi, Gus Dur pelindung HAM dan penjaga pluralisme Indonesia, dan Megawati adlh Presiden perempuan pertama di negeri ini, maka Pak SBY adalah Presiden yg mampu menunjukkan kepada bangsa dan dunia bahwa demokrasi bisa hidup dan berkembang dengan kokoh di Indonesia, sebuah negara yang penduduknya ke 4 terbesar di dunia, sangat majemuk dan mayoritas beragama Islam tetapi bukan Negara Islam. Reformasi yg bergulir pada 1998, kini telah berusia 16 tahun lamanya, dan Pemerintahan SBY  berada pd 10 tahun terakhir. Jelaslah bhw kontribusi Presiden SBY dalam proses transisi menuju konsolidasi demokrasi fi Indonesia wajib diapresiasi oleh anak bangsa. Kekurangan tentu ada di sana sini dan akan menjadi catatan sejarah tersendiri, namun tak akan menghancurkan prestasi dan capaian besar beliau.

Bangsa Indonesia harus berterima kasih kepada beliau dan Ibu Ani dan mendoakan agar setelah keluar dari Istana Negara akan terus berkiprah dalam khidmat terhadap bangsa dan NKRI. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu dan secara tulus menghargai jasa-jasa kedua beliau dan berusaha melanjutkan dan mengembangkan legacy yang bermanfaat bagi kemajuan dan pemajuan Indonesia dimasa yang akan datang.

Terimakasih Pak SBY dan Ibu Ani, semoga Bapak dan Ibu selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.. 


Simak tautan ini:

http://www.tempo.co/read/news/2014/10/20/078615801/SBY-dan-Ani-Selamat-Tinggal-Istana
Share:

MENYESATKAN MENGUKUR KEMAMPUAN PEMERINTAHAN JOKOWI DG 100 HARI

Salah satu salah paham dan paham yg salah yg sering dibesar2kan dlm politik Indonesia pasca-Orba adlh mengukur kemampuan, keberhasilan, dan kegagalan kinerja Presiden serta Kabinetnya dg tampilan100 hari pertama mereka. Bukan saja tdk tepat dan tidak layak, tetapi ukuran itu sangat menyesatkan. Bagaimana mungkin suatu Pemerintahan baru yg muncul dg latarbelakang dan kondisi lingkungan strategis (lingstra) yg berbeda2 lalu digebyah uyah dg ukuran 3 bulan pertama. Bisa saja dlm tempo 3 bl itu sebuah Pemerintahan sudah jalan dg baik, misalnya kalau ia adlh lanjutan dari term pertama spt KIB jilid II. Tetapi hal itu jelas tdk bisa digunakan utk mengukur kapasitas sebuah Pemerintahan yg berbeda dan memiliki kekhasan atau tantangan yg sama sekali beda dg sebelumnya.

Pemerintahan Presiden Jokowi bukanlah sambungan Pemerintah SBY dalam arti luas. Bahkan dlm hal paradigma pun berbeda sehingga strategi tatakelola negara mungkin juga berbeda secara signifikan. Belum lagi jika dilihat bgmn lingstra yg dihadapi Presiden Jokowi saat ini dan yad. Konsekuensinya, mengukur kapaditas, apalagi keberhasilan, hanya dg gebyah uyah 100 hari kinerja adlh penyederhanaan masalah yg lebay dan ngirit dalam nalar. Paling2 ukuran tsb hanya utk penyederhanaan dan bahkan cuma sensasi utk konsumsi media dan popularitas publik. Bukan sesuatu yg layak utk dijadikan landasan evaluasi bg kemampuan dan kebijakan2 srrategis dr seorang Presiden dan Kabinetnya.

Program 100 hari bukanlah sebuah keharusan spt yg dilontarkan oleh Denny JA. Ia bisa saja ada atau tidak tergantung kepada fokus yg dimiliki Presiden Jokowi. Publik akan melihat dan menilai kiprah beliau bujan hanya dlm rentang waktu 3 bulan, tetapi pada efektifitas kerja sesuai platform dan renstra Pemerintah. Kalau targetnya hanya utk psikologi massa saja mk ada berbagai strategi komunikasi publik yg bisa digunakan utk meyakinkan publik bhw Pemerintah serius dan kerja keras melakukan upaya perubahan yg lebih baik.

Oleh sebab itu, hemat saya, ukuran yg lbh masuk akal adlh dg memakai platform, rencana strategis, program2 jangka pendek, menengah, dan panjang. Dg ukuran itu mk akan bisa dilihat dan dievaluasi kinerja Pemerintah dan aparatnya secara kongkrit, sistematis, dan bisa dipertanggungjawabkan secara transparan. Termasuk dlm hal ini bgmn Presiden memberikan arahan kpd Kabinetnya dan melakukan pengawasan yg efektif.

Wahasil, omongan Denny JA soal ukuran 100 hari utk menilai kemampuan dan/atau keberhasilan Pemerintah Jokowi dan Kabinetnya perlu dikritisi dan tidak perlu dipandang sebagai kewajiban. Itu hanya meniru apa yg populer di AS dimana para Presidennya biasanya punya agenda 100 hari. Tetapi di sana pun hal itu bukan ukuran utk menilai secara obyejtif maupun politis keberhasilan mereka. Publik Indonesia perlu mengkritisi gagasan dan praksis yg seolah2 menarik dan populer, tetapi kemudian salah terap dan malah kontraproduktif. Denny JA, sebagai tokoh yg berpengalaman akademis di AS dan memiliki pengaruh besar melalui lembaga kajian dan surveinya, mestinya mendidik bangsa ini dg "bener dan pener". Semoga!

Simak tautan ini:

http://m.rmol.co/news.php?id=176417
Share:

IBU SUJIATMI, TELADAN BAGI PARA IBU INDONESIA



Ibu mana yang tak ternyuh, was was, tetapi juga bangga melihat anaknya meraih keberhasilan? Apalagi keberhasilan menjadi orang yang diamanati memimpin sebuah bangsa dan Negara seperti Indonesia. Ibu Sujiatmi Notomihardjo, ibunda Presiden terpilih Joko Widodo, tentu berhak trenyuh dan was-was karena puteranya diamanati tugas begitu besar kendati juga sangat mulia. Tetapi beliau juga berhak bangga karena tidak banyak jumlahnya Ibu-ibu di negeri ini yang anaknya menjadi Presiden yang dipilih rakyat secara demokratis seperti Jokowi. Apalagi jika melihat latar belakang keluarga beliau yang bisa dikatakan dari kalangan kelas menengah biasa. Tetapi itulah Indonesia, negara yang membuka segala kemungkinan bagi warga negaranya utk sukses dan berjaya. Dan Bu Sujiatmi, bukan saja menjadi Ibu seorang Presiden, tetapi juga menjadi contoh dan teladan bagi para Ibu di seluruh persada untuk mendidik putra-putri dan generasi muda mampu meraih cita-cita setinggi-2nya. Last but not the least, beliau adalah bukti nyata bagi anak bangsa bahwa langit adalah batas cita-cita mereka. Dan bahwa doa seorang Ibu utk ananaknya adalah mustajab.
SELAMAT YA BU. Semoga perjuangan dan keberhasilan Ibu mendidik anak bisa menjadi inspirasi seluruh anak bangsa dari Barat sampai Timur, dari Selatan sampai Utara! Amin...
Share:

Saturday, October 18, 2014

MEMBACA PESAN PRABOWO, "JANGAN BERJIWA KURAWA"

Pesan Prabowo Subianto (PS) kpd para pendukungnya perlu dicermati. Beliau mengingatkan agar mereka tdk berjiwa Kurawa, sebuah metafor yg dikenal dg baik olh mereka yg berlatar belakang budaya Jawa atau yg familiar dg kisah pewayangan. Kurawa adalah nemesis dan sekaligus antitesis dari Pandhawa. Kendati mereka bersaudara tetapi kedua kubu tdk bisa eksis bersama secara damai karena permusuhan yg tak mungkin diselesaikan kecuali dg pertempuran habis2an. Kurawa mewakili angkara murka, kesewenang2an, kedengkian, keangkuhan, pokoknya sikap "adigang, adigung, adiguna." Pandhawa mewakili senua yg sebaliknya, dan, karenanya, unggul dlm pertempuran yg dikenal dg nama perang Bharatayudha itu.

Referensi kultural ini dipilih karena merepresentasikan konflik pokitik yg telah dan sedang berlangsung antara KMP dan KIH yg dampaknya sangat besar bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara kita. Bisa dikatakan bhw konflik kedua kubu ini jika tak dihentikan dan diselesaikan dg baik dan bijak, akan membawa pada Bharatayudha versi modern yg hasil akhirnya adlh keterpurukan NKRI di dalam percaturan kehidupan antar-bangsa, di samping kemunduran bangsa Indonesia. Itulah sebabnya belajar dari kisah Bharatayudha, di mana para elit dr kedua kubu yg berkonflik gagal menghindari terjadinya perang, mk PS dan Jokowi berusaha bertemu dan melakukan 'rapprochement' atau saling pendekatan utk menghentikan konflik. Dan utk sementara, usaha itu berhasil serta direspon positif oleh semua pemangku kepentingan, khususnya rakyat Indonesia.

Hanya saja, seperti kisah Bharatayudha, upaya rekonsiliasi antar elite bisa saja hanya berusia pendek. Sama juga dg jerih payah Kresna yg mengusahakan rekonsiliasi antara Kurawa-Pandhawa yg hanya bertahan sebentar, pertemuan antara Jokowi-PS pun belun menjamin bhw rekonsiliasi tsb bisa bertahan terus di masa depan. Sebab akan selalu ada pihak dr kedua kubu yg tidak ingin hal itu terjadi. Ada pihak yg lebih suka jika konflik berjalan terus karena akan membawa berbagai keuntungan pribadi atau kelompok dlm jangka pendek. Dan kelompok ini ada di kubu Kurawa!

Maka sangat tepat peringatan PS agar tidak ada di antara pendukungnya yg bermental Kurawa. Dan seharusnya peringatan PS ini juga berlaku untuk pendukung KIH. Sebab beda dg cerita wayang, di mana Kurawa dan Pandhawa sudah jelas siapa2nya, di dalam konteks politik Indonesia pasca Pemilu 2014 ini siapa yg Kurawa dan siapa yg Pandhawa masih belum jelas. Terpulang pada perkembangan politik nanti siapa yg oleh rakyat akan dinilai sbg representasi kedua kubu tsb.

Simak tautan ini:


(http://m.beritasatu.com/…/218114-surat-prabowo-untuk-penduk…)
Share:

Friday, October 17, 2014

NUSRON DAN MASALAH RELASI ANTARA KEINDONESIAAN & KEISLAMAN

Statemen Nusron Wahid (NW) ttg keindonesiaan dan keislaman kini menjadi salah satu bahan perdebatan di medsos. NW menyatakan bhw "Kita ini orang Indonesia yg beragama Islam, bukan orang Islam yg ada di Indonesia...". Sejatinya NW hanya mengulang apa yg sudah sering dikemukakan almaghfurlah Gus Dur dulu. Beliau memiliki pandangan keislaman adalah komplementer thd keindonesiaan jika dilihat dari kontwks kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adlh konsekuensi logis dari penerimaan thd Konsitusi NRI 1945 dan prinsip NKRI sebagai bentuk final dari sistem bernegara.
Bagi pihak yg tidak menggunakan perspektif Konstitusionalisme, mungkin statemen NW mungkin dianggap mebentang supremasi agama (Islam) dlm kehidupan ummatnya. Bukankah Islam adlh sistem yg total (kaffah)? Jadi memposisikan keislaman sebagai komplemen dari keindonesiaan atau kebangsaan apapun ia dianggap sebuah penyangkalan thd supremasi tsb. Namun bg pemahaman Gusdurian, kekaffahan Islam adlh pd tataran teologis bukan pd tataran praksis politik. Dengan demikian masih ada ruang bagi keberadaan berbagai sistem dan praksis kenegaraan, politik, sosial, budaya dll yg dikembangkan sesuai konteks kesejarahan dan struktur sosial yg berbeda-2. Islam, tidak memaksakan hanya satu sistem kenegaraan seperti misalnya Negara Islam atau Khilafah Islam. Yg penting adlah Islam menjadi salah satu sumber nilai2 moral dan etis yg menjadi landasan sistem tsb.
Jadi debat ttg keindonesiaan dan keislaman memang masih akan terus berlangsung, dan itu wajar2 saja. Yg tidak wajar dan berbahaya adlh jika kemudian muncul pemaksaan pemahaman apalagi yg secara serampangan mengadili dan mengafirkan pemahaman lain. Dan sayangnya, kemungkinan inilah yg masih sangat terbuka.

Simak tautan ini:

http://www.muslimedianews.com/…/transkip-lengkap-komentar-k…
Share:

EFEKTIFITAS SILATURAHMI POLITIK JOKOWI KE KUBU KMP


Dalam politik, kemungkinan selalu ada dan terbuka. Presiden (terpilih) Jokowi dan Prabowo Subianto (PS) yang menempati posisi berbeda sejak pencapresan sampai sekarang dalam pengelompokan koalisi di Parlemen, akhirnya bertemu muka dan saling bersilaturahim. Peristiwa politik seperti ini penting untuk diketahui rakyat Indonesia, karena bisa menurunkan suhu politik yang hari-2 ini tampak mengalami eskalasi kenaikan, terutama setelah KMP melakukan manuver sehingga bisa sapu bersih posisi strategis di Parlemen (DPR dan MPR).

Selain itu peristiwa ini juga membuktikan efektifitas komunikasi politik Jokowi sehingga kekhawatiran aka terjadinya upaya-upaya pengganjalan atas pelantikan beliau di MPR menjadi semakin kecil, kalaulah belum bisa dikatakan sirna sama sekali. Blusukan ala Jokowi sekali lagi menunjukkan hasilnya dengan baik. Setelah bertemu dengan ARB, yg juga petinggi Golkar dan KMP, dan PPP, kini giliran PS dan mungkin akan ada petinggi KMP lain yang akan ditemui mantan Gub DKI tsb. Inilah komunikasi politik yg mampu utk mencairkan kebekuan karena rakyat Indonesia akan melihat secara langsung bagaimana Jokowi membuka diri utk dialog dengan pihak yang berada dlm kubu berbeda dan dengan sikap dan gaya yang santun. Sampai tingkat mana kebekuan itu cair dan sampai berapa lama, itu terpulang juga kepada para elit politik di KIH dan pendukungnya.

Jokowi telah menampilkan sebuah terobosan politik yg bisa dijadikan teladan oleh epara elit, sekaligus menunjukkan bahwa dirinya bukan orang yang tak paham aapalagi tak punya kemampuan dalam bermanuver mengatasi persoalan yg sangat strategis dan sekaligus sensitif secara politis. Bravo Pak Jokowi dan Pak Prabowo! Semoga komunikasi tetap berlangsung untuk kebaikan bangsa dan NKRI!

(http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/10/17/10523971/prabowo.ucapkan.selamat.kepada.jokowi.)
Share:

APA MAKNA AKSI RUWATAN UNTUK AMIEN RAIS DI YOGYA?

Bagaimana memahami dan menyikapi aksi sebagian warga di Yogya yg menggelar upacara ruwatan utk Amien Rais (AR) yg dinilai telah menjadi Sengkuni, salah satu figur dlm pewayangan yg dikenal sebagai penghasut dlm konflik antara Pandhawa dan Kurawa itu? Apkh aksi ini sebuah tindakan pidana pencemaran nama baik thd mantan Ketua MPR RI, mantan Ketum PP Muhammadiyah, mantan Ketum DPP PAN, dan kini masih menjadi sesepuh partai tsb selain sebagai mahaguru di UGM? Ataukah aksi tsb merupakan sebuah protes dari warga masyarakat thd tokoh besar tsb yg merupakan hak asasi mereka?Ataukah ini hanya aksi sensasional utk mencari popularitas dg menggunakan AR sebagai sasaran dg harapan menjadi berita besar dan kontroversi di media dan jejaring sosial? Ataukah ini aksi yg bermuatan politik terkait perseteruan antara dua kubu yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) vs Koalisi Indonesia Hebat (KIH)?. Atau masih ada motif2 lain selain itu semua, atau campuran dari sebagian atau semuanya?
Tentu tidak mudah utk memastikan mana yg paling benar dlm pengertian empiris-matematis. Yg bisa dipastikan hanyalah adanya fakta telah terjadinya aksi ruwatan dari warga, dan statemen dari koordinator ttg maksud digelarnya aksi tsb. Apkh aksi tsb akan menjadi persoalan hukum, saya kira masih harus menunggu respons dari AR atau pihak2 yg merasa dirugikan dan dilanggar haknya serta para penetak hukum. Apakah ini sekadar sensasi dan memburu popularitas belaka, juga masih perlu dibuktikan bagaimana implikasi aksi tsb trhdp pemberitaan di media dan sejauh mana respon publik atas peristiwa tsb.
Yang bagi saya menarik utk dicermati dan ditafsirkan adlh aksi ruwatan ini rasanya baru kali ini digelar bukan karena kemauan dr subyek yakni AR sendiri atau yg mewakilinya. Ruwatan tsb muncul dari luar yg seolah menganggap AR perlu diruwat agar menjadi bersih. Ruwatan ini dg demikian adlh suatu aksi yg diinisiasi oleh pihak yg menilai AR sebagai pihak yg bermasalah. Pemilihan ruwatan sebagai medium memberi pesan kepada publik bahwa aksi ini memiliki legitimasi kultural yg berakar pd tradisi Jawa di mana AR juga mengenalnya sebagai orang Jawa dan tinggal di Yogya. Namun medium ritual tsb dan alasannya belum tentu akan disetujui oleh AR dan terkesan ditentukan secara sepihak oleh para pelakunya.
Sambil menunggu perkembangan dan respons thd aksi ruwatan tsb. rasanya tak berlebihan jika saya mengatakan bhw warga masyarakat kini makin terbuka dan terang2an dlm menyampaikan gagasan dan aspirasi thd para elit. Termasuk aksi2 yg menggunakan simbol2 tradisi yg dianggap mewakili apa yg dirasakan dan harapkan. Terpulang pd para elit tsb bgmn mereka meresponnya. Apkh akan menghasilkan saling pemahaman atau sebaliknya yaitu meluasnya kesalahpahaman dan konflik dlm masyarakat.

Simak tautan ini:

http://indonesiasatu.kompas.com/…/dinilai.jadi.sengkuni.ami…
Share:

Thursday, October 16, 2014

GUYON GUSDURIANS: GARA-GARA SIBUK "RAKER":

Suatu hari dua sahabat ( A dan B) yg sudah 'lamo tak basuo' kesomplokan ketemu di sebuah mall di bilangan Jl. Thamrin Jkt.

A (kaget dan senang): "Wah, akhirnya ketemu juga, mas, sudah lama kangen saya!"

B (rada manyun): "Alaah, wong kamu yang gak mau mencari kok."

A: "Lho saya beberp kali telpon ke rumah yg nrima mbakyu."

B: "Mbakyumu gak pernah bilang ke saya tuch!"

A: "Mungkin karena gak mau ganggu kesibukan mas.."

B (memotong): "Sibuk apa?!"

A: "Setiap kali saya tanyakan mbakyu, beliau bilang mas lagi Raker.."

B : "Oh.. maksud mbakyumu, Raker itu singkatan dari 'oRA KERjo' alias nganggur!"

A : "!!!???***@@@!!!"
Share:

JOKOWI JADI COVER MAJALAH TIME


Joko Widodo (Jokowi), akan menjadi cerita sampul (cover story) majalah Time, edisi 27 Oktober 2014. Tentu saja peristiwa ini akan disambut dengan tanggapan dan komentar, bukan saja di Indonesia tetapi juga di masyarakat internasional yang mengikuti perkembangan di Indonesia dan kawasan ASEAN. Dan tergantung pada perspektif, kepentingan, serta tujuan para komentator, bagaimana cover story ini akan dibicarakan. Bagi saya, ini menjadi salah satu indikator bahwa munculnya fenomena Jokowi sebagai Presiden baru hasil Pilpres 2014 di Indonesia, telah, sedang, dan akan menjadi perhatian internasional karena kepemimpinannya dianggap bisa melahirkan perubahan-2 signifikan di negeri ini dan kawasan. Indonesia adalah salah satu negara yang mau tidak mau harus berperan lebih menonjol (assertive) dalam percaturan internasional di masa depan. Untuk itu ia perlu memiliki ketahanan nasional yang tinggi dan kemampuan yg handal. Kemandirian bangsa dan negara, kesejahteraan rakyat, dan keamanan nasional merupakan tiga komponen utama yg menjadi modal dasar apabila Indonesia akan menjadi pemegang peran tersebut. Selamat berjuang dan bertugas Pak Jokowi!

Share:

Tuesday, October 14, 2014

MANA YG LAYAK DIBANGGAKAN: JOKOWI ATAU FAHRI?

Wakil Ketua DPR-RI yang terhormat dari PKS, Fahri Hamzah (FH), tentu berhak utk tidak mengapresiasi atau tidak berbangga ketika Preisden Jokowi bertemu dengan penemu dan pendiri jejaring sosial Facebook, Mark Zuckenberg (MZ) di Jakarta kemaren. Dan ia juga berhak menghimbau dan mengajak publik utk mengikutinya. Tetapi publik juga berhak untuk menilai apakah alasan yg digunakan FH bisa dipertimbangkan, diterima, dan bahkan diikuti, atau sebaliknya. Sebagai seorang pemimpin lembaga tinggi negara, omongan FH tentu tidak bisa disamakan dengan omongan rakyat biasa seperti saya, karena dia akan menjadi referensi rakyat Indonesia. FH bukan hanya referensi bagi para anggota, kader, dan simpatisan PKS saja, dan omongannya dg cepat akan menyebar ke seluruh dunia. Dengan demikian pengaruh omongan FH jelas sangat besar dan bahkan sampai tingkat tertentu mewakili sebagaian dari bangsa kita.

Alasan FH mengapa pertemuan kedua tokoh tsb tidak perlu dibanggakan adalah karena 'pertemuan itu hanya mempertegas bahwa Jokowi adalah "kekasih" media sosial..' atau dengan kutipan yg langsung dari mulut FH: "Jokowi memang the darling of social media.." Alasan berikutnya adalah karena facebook dan jejaring sosial adalah fenomena "dunia maya" yang berbeda dengan "dunia nyata." Karena itu, masih menurut FH, tidak ada yang perlu dibanggakan. Mengutip omongan FH lagi, "(k)ita bertanya-tanya, apakah kita ada di dunia maya atau dunia nyata? Yang nyata adalah listrik mati, jembatan putus. Di luar itu, ini adalah dunia maya, jangan kita berbangga-bangga." Saya tidak tahu persis apakah dg demikian, dlm pandangan FH, berarti bhw fakta bhw Jokowi berhasil menjadi Presiden RI ke 7 hanyalah fenomena "maya" saja, bukan dunia nyata, atau sebagian besar hanya fenomena maya, dan yang nyata hanya kecil saja?. Wallahu a'lam.

Terlepas dari apa maksud yg sebenarnya, buat saya, dua alasan yg dikemukakan FH tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, bahkan lebih jauh lagi ada terbersit hipokrisi di sana. Secara nalar, kalaupun Jokowi benar sebagai "darling of the media", termasuk dan khususnya jejaring media sosial (medsos), apakah fakta itu sendiri tidak layak dibanggakan? Bukankah fenomen medsos telah berdampak sangat luas dan mendalam terhadap perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia di segala bidang, termasuk ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta hankam? Bukankah PKS sendiri adalah parpol yg sangat terkemuka dalam memanfaatkan medsos dalam kiprahnya memperluas pengaruhnya di seluruh Indonesia bahkan dunia. Sehingga PKS sendiri berhak utk dibanggakan sebagai salah satu fenomena media sosial paling top di negeri ini. Lebih jauh lagi, apakah FH sendiri bukan salah satu "darlings of the media" dan menjadi sohor (dlm arti positif maupun negatif) gara-gara sosmed juga?

Kemudian, terkait dengan alasan kedua yakni dikotomi antara dunia maya dan dunia nyata, pertanyaan saya adlh apakah lalu keduanya begitu terpisah dalam kehidupan manusia, sehingga yang satu menegasikan yg lain? Bukankah apa yang nyata seringkali merupakan implikasi dan perwujudan dari yang maya, misalnya gagasan, pikiran, harapan, dan imajinasi? Saya tidak yakin bahwa dlm kehidupan keseharian FH sendiri, misalnya, ia bisa dengan sangat tegas memisahkan antara apa yg maya dan nyata lalu hanya peduli dg yg disebut terakhir itu saja!. Dalam kehidupan dan karirnya sebagai politisi, bukankah FH setiap saat menggunakan kombinnasi dr "maya-nyata", misalnya saat berpidato, berceramah, dan berwacana. Fh tentu sangat fasih dengan memakai argumentasi yang bersumber dari yg 'maya' seperti ajaran agama, ideologi, cita-cita, dll? Lalu apakah kemudian orang harus menampik semua omongan FH karena semuanya berbau ke'mayaan' itu? Laghi-lagi saya membaui aroma hipokrisi di sini.

Walhasil, jika hanya dua alasan itu yg diajukan oleh FH untuk mengajak orang tidak berbangga pd Jokowi dan pertemuannya dengan MZ, saya tidak bisa menerimanya apalagi mengikuti anjuran tsb. Kualitas omongan FH hanyalah sebuah indikasi orang yang "sirik tanda tak mampu" saja. Paling jauh, omongan tersebut adalah salah satu dari sekian banyak demagogi politik murahan yang seringkali muncul dari FH. Bukan saja demagogi tsb tidak mendidik rakyat Indonesia, tetapi malah beresiko merendahkan nama lembaga tinggi negara  yg namanya DPR. Karena lembaga yang semestinya prestisius seperti Parlemen ternyata dipimpin oleh politisi yang lebih mengedepankan rasa sirik dan melupakan pentingnya kesantunan. Saya terus terang dalam hal ini lebih berbangga pada Presiden Jokowi ketimbang pada Wakil Ketua DPR yg terhormat, FH. Saya tdk tahu bgmn dg anda...

Simak tautan ini:

http://nasional.kompas.com/read/2014/10/13/12560701/Fahri.Hamzah.Pertemuan.Jokowi.dan.Mark.Zuckerberg.Jangan.Dibanggakan.?utm_campaign=popread&utm_medium=bp&utm_source=news
Share:

Monday, October 13, 2014

TANDA KEHORMATAN NEGARA, UNTUK SIAPA?

Presiden mempunyai hak konstitusional utk memberikan penghargaan atau tanda kehormatan, atas nama negara, kepada siapapun yang dipandang pantas. Ini merupakan salah satu hak prerogatif yg melekat padanya sebagai seorang Kepala Negara. Karenanya, pada hakekatnya tidak ada yang bisa melarang Presiden SBY utk memberikan tanda jasa atau kehormatan kepada siapapun, termasuk seorang Menteri yg membantu pekerjaannya.

Hanya, namanya saja tanda kehormatan, tentu memiliki implikasi kepada seseorang atau bahkan lembaga, baik si pemberi maupun si penerima. Itu sebabnya pasti ada berbagai syarat, tertulis maupun tidak bagi pihak yang menerima, termasuk kepantasan utk mendapatkan tanda penghormatan tsb. Kendati tidak bisa eksak tetapi asas kepantasan itu penting, sehingga hal yg sangat berharga tersebut tidak berpotensi kontraproduktif bagi kedua belah pihak. Umpamanya penghargaan dari seorang Presiden lantas dianggap oleh publik dan rakyat sebagai hal yg tidak terlalu penting hanya karena ada kesan penerimanya tidak layak jika dibanding dg prestasinya. Padahal, dalam kehidupan sebuah negara, tidak ada yang melebihi penghargaan yg diberikan oleh negara kepada putra-putri yang terbaik bangsa. Jika sebuah tanda kehormatan negara lantas menjadi sesuatu yang biasa, tentu hal ini juga akan menjatuhkan martabat bangsa dan negara itu sendiri.

Itulah sebabnya, ada sebuah keniscayaan untuk menggunakan standar atau ukuran tertentu kepada siapa penghargaan negara diberikan. Jangan sampai karena hak prerogatif yg digunakan sebagai alasan, lalu malah terjadi ironi: mereka yg pantas dan berjasa malah dilewatkan, tetapi yang sejatinya tidak layak malah dihadiahi. BK pernah mengatakan bahwa bangsa yg besar adalah bangsa yang bisa menghargai para pahlawannya. Kata "pahlawan", mungkin bisa diganti dengan "orang-2 yg berjasa kepada negara." Dan sama dengan seorang pahlawan, orang yg berjasa tentu bukan sembarangan. Idealnya, tentu pihak penerimapun perlu melakukan penilaian diri akan kepantasan tersebut. Masalahnya tidak semua orang yg mau secara serius melakukan penilaian terhadap diri sendiri apakah dirinya layak atau tidak. Yang umum adalah sikap yg dlam istilah Jawa disebut "rumongso biso, ning ora iso ngrumangsani."

Dalam kondisi bangsa yang sedang mengalami berbagai permasalahan dan krisis, terutama dalam kepemimpinan, sangatlah tidak elok jika tanda kehormatan terkesan diobral seperti door prize dg tujuan mendongkrak pencitraan sang pemberi. Seharusnya, justru ketika seseorang memiliki hak prerogatif memberikan tanda kehormatan, ia harus berhati-2 dalam memilah dan memilih. Sebab jika pilihannya sembarangan dan sejatinya tidak memenuhi standar kelayakan dan kepantasan, maka sang pemberi pun akan menuai kecaman dari publik. Hasilnya malah berlawanan: maunya mendapat pujian tapi justru berbalik menjadi ejekan dan bahkan sumpah serapah.


Simak tautan ini:

http://www.rmol.co/read/2014/10/13/175662/Roy-Suryo-Terima-Penghargaan-Presiden-SBY-
Share:

RESEP UNTUK RELASI EKSKUTIF DAN LEGISLATIF YG PRODUKTIF

Statemen Presiden Jokowi mengenai prospek relasi antara eksekutif dan legislatif (DPR/DPD/MPR) kendati sangat positif, konstruktif, dan memberi harapan, tetap harus dicermati secara transparan dan kritis. Sebagai seorang pemimpin yg dikenal low profile dan mengutamakan pendekatan "ngemong", wajar jika Presiden Jokowi menampilkan nuansa harmonis dan optimistik dalam merespon berbagai perkembangan politik yg dihadapi. Bisa dikatakan bhw orientasi nilai budaya Jawa, yg memprioritaskan keselarasan dalam hubungan antar-manusia, terfleksi dalam statemen tersebut, yakni membangun kebersamaan dan menghindari konflik terbuka dalam menghadapi potensi-potensi persilangan dan tabrakan kepentingan. Pendekatan ini terbukti cukup efektif selama dua tahun menjabat sebagai orang nomor satu di DKI dalam menyikapi persoalan-2 strategis yg punya potensi konflik di masyarakat. Termasuk dalam menjalin komunkasi dan kerjasama dengan Wagub Ahok yg mempunyai karakter dan temperamen yg berbeda.

Namun demikian, relasi antara eksekutif dan legislatif di Republik ini sepanjang sejarah tidak pernah sepi dari gejolak. Ketika eksekutif sangat dominan, seperti masa awal BK dan terutama masa Orba di bawah Pak Harto, relasi yang lebih-kurang harmonis itu bisa dipertunjukkan. Namun, ibarat api dalam sekam, relasi tersebut memendam potensi konflik yang luar biasa dan pada saat krisis politik terjadi kemudian menyebabkan eksplosi yg destruktif. Lembaga legislatif kemudian bisa menjadi wahana yang efektif utk menjatuhkan eksekutif atau setidaknya memperlemah dan/atau menghambat efektiftas kinerjanya. Perpolitikan di Indonesia sampai saat ini masih sangat rentan dengan ancaman destabilitas yang sumbernya adlh relasi cair antara eksekutif dan legislatif. Sayangnya, masyarakat sipil Indonesia (MSI) masih belum cukup kuat utk menjadi penyangga dan penyeimbang keduanya sehingga jika relasi tersebut mengalami krisis yg serius akan bisa diredam melalui semacam mekanisme tripartit (eksekutif, legislatif, dan MSI). Kondisi MSi yg sangat terfragmenasi dan terkontaminasi oleh kepentingan-2 politik pragmatis semakin menyulitkan berkembangnya mekanisme tsb saat ini.

Itu sebabnya, Presiden Jokowi dan aparat pemerintahannya tetap harus memiliki peralatan (devices) yg efektif utk mengimbangi kemungkinan eratiknya Parlemen. Mengharapkan hanya pada parpol pendukung (baca= KIH) di Parlemen, sangat tidak cukup buat Presiden Jokowi. Untuk itu preskripsi saya adalah sbb: PERTAMA, mengisi Kabinetnya dg personel yg mumpuni dan akseptabilitasnya tinggi di ruang publik (bukan hanya politik). KEDUA, mengefektifkan salah satu fungsi kantor Sekneg sebagai penghubung (liaison office) dengan Parlemen. Ini berarti figur Sekretaris Negara mirip dengan Kepala Staf (Chief of Staff) Gedung Putih yg mampu menjembatani Presiden dan pemimpin-2 Kongres, terutama jika Kongresnya dikuasai partai oposisi. KETIGA, komunikasi dengan MSI perlu diintensifkan khusunya organisasi mayarakat sipil (OMS) strategis dan memiliki jejaring nasional dan internasional. Dalam hal ini media adlh salah satu komponen OMS yg terpenting. KEEMPAT, strategi "blusukan" yg sudah menjadi 'trade mark' Jokowi perlu dilestarikan, tentu saja dengan format yg harus disesuaikan dengan konteks sebagai Kepala Negara. namun inti strategi ini, yakni dialog langsung dan peninjauan lapangan (daerah) serta institusi-2 strategis, adalah tetap.

Jika preskripsi ini bisa dilaksanakan secara efektif, maka wacana people power mungkin menjadi kurang relevan karena dinamika relasi eksekutif dan parlemen bisa lebih produktif dan potensi konflik akan dapat diredam serta dicarikan solusinya secara elegan. Presiden Jokowi, selain akan mampu bekerja dengan efektif, juga akan menorehkan sejarah baru dalam penguatan sistem demokrasi di Indonesia. Yakni memutus kebiasaan buruk dalam relasi eksekutif dan Parlemen dalam politik Indonesia dan membangun sebuah tradisi baru dalam relasi keduanya dengan memperkuat mekanisme pengawasan dan penyeimbangan (checks and balances) yg benar-2 efektif dan produktif. Insya Allah.


Simak tautan ini:

http://politik.news.viva.co.id/news/read/547003-jokowi--saya-pastikan-parlemen-dan-pemerintah-sudah-nyambung
Share:

Saturday, October 11, 2014

KPK, NYANYIAN NAZARUDDIN, DAN NASIB IBAS YUDHOYONO

Akankah KPK melakukan proses penyidikan dan penyelidikan terhadap Edhi Bhaskoro Yudhoyono alias Ibas, setelah mantan Bendum PD, Muhammad Nazaryddin (MN) menudingnya ikut bermain dalam proyek-2 terkait Hambalang dan Wisma Atlet? Kemungkinan ke arah tersebut bukan tertutup. Apalagi jika benar nyanyian MN bahwa mantan Ketum PD, Anas Urbaningrum (AU), nantinya juga akan mendukung KPK dlm kaitan dengan Ibas itu. (http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/26/anas-akan-ungkap-keterlibatan-sby-ibas-di-kasus-hambalang-dan-century). Dalam perkara tipikor, track record KPK sangat jelas bahwa lembaga ini tidak segan-2 memeriksa petinggi lembaga tinggi negara sekalipun, dan bahkan menjadikannya sebagai terdakwa dalam sidang Pengadilan korupsi. Akil Mochtar (AM), Andi Mallarangeng (AM), Djoko Susilo (DS), Rudi Rubiandini (RR), Angelina Sondakh (AS), dan NM, untuk menyebut beberapa nama, adalah bukti-2 nyata bahwa lembaga anti rasuah tersebut tak gentar menghadapi para petinggi parpol dan pejabat negara.

Ibas memang sudah cukup lama menjadi bahan pemberitaan dan spekulasi publik terkait kasus korupsi, khususnya dalam posisinya sebagai petinggi partai, bersamaan dengan mencuatnya kasus AU. Suara-2 yang menuntut agar putera Presiden SBY dan Sekjen PD itu diperiksa dan dijadikan sebagai tersangka, juga sudah cukup lama dalam wacana politik. Tetapi barulah ketika MN membeberkan kesaksiannya di dalam pemeriksaan KPK akhir-akhir ini, desakan tersebut menjadi makin mengerucut. Selain itu ada juga permintaan AU, saat ia masih dlm proses pemeriksaan KPK, agar Presiden SBY dan Ibas selaku petinggi partai ikut diperiksa, terkait dengan money politics dlm Konggres PD di Bandung pada 2010. (http://nasional.kompas.com/read/2014/10/10/12243441/Menurut.Nazaruddin.Uang.yang.Diterima.Ibas.dari.Berbagai.Proyek.Jutaan.Dollar.AS?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp).

Pernyataan MN tidak bisa diremehkan dan kemungkinan bisa menjadi pintu masuk penyidikan KPK dlm kasus-2 korupsi yg ditengarai dilakukan secara berjamaah. Nyanyian MN sudah menyeret beberapa nama besar dlm PD dan DPR ke hotel prodeo bersamanya. KPK tentu seringkali dituding sebagai pihak yang terlalu percaya kepada MN, dan berbagai teori konspirasi pun sudah banyak dibuat mengenai adanya kongkalikong KPK (dan para petingginya) dengan kekuatan lain utk menjadikan kesaksian MN sebagai alat politik. Sejauh ini KPK bergeming dan terbukti efektif dengan memakai informasi NM, yang tentu saja ditindaklanjuti dengan hati-2 dan tetap memakai prosedur hukum yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Di mata publik Indonesia dan masyarakat internasional, kredibilitas KPK tetap baik dan semakin didukung, walaupun di lembaga-2 politik seperti DPR disikapi miring. Bahkan dengan kemenangan kubu Merah Putih (KMP) pasca-Pemilu 2014, kekhawatiran terjadinya pelemahan KPK melalui jalur legislasi cenderung menguat.

Ibas, PD, dan para pendukungnya tentu berhak membantah kesaksian apapun yang dikemukakan oleh MN dan AU. Dan sebagai petinggi PD bisa jadi Ibas akan menggunakan kekuatan politik, baik partainya sendiri maupun melalui KMP, utk membentengi diri. Belum lagi kekuatan pengacara-2 yang paling top di negeri ini juga pastinya akan dikerahkan utk mempersiapkan pembelaan. Kita lihat saja apakah preseden yg terjadi sebelumnya terhadap para petinggi parpol dan pejabat negara akan berulang. Terpulang kepada KPK apakah kesaksian MN dan AU nanti akan menyeret Ibas ataukah hanya berhenti sebagai hiruk-pikuk dan kegaduhan publik semata. KPK memang sudah mengatakan tidak ada yang perlu ditakuti utk memeriksa siapapun, termasuk Ibas. Tetapi, waktu jua yang akan membuktikannya. (http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/28/kpk-tak-ada-alasan-takut-periksa-ibas).



Simak tautan ini:


http://www.tempo.co/read/news/2014/10/11/063613514/Pembelaan-Ibas-SBY-Soal-Tudingan-Main-Proyek
Share:

RIP : PAK BAKDI SOEMANTO TELAH BERPULANG



Prof. Dr. C. Soebakdi Soemanto, Mahaguru emeritus di Fakultas Ilmu Budaya UGM, wafat dlm usia 74th, pagi ini jam 3.30 di RS. Panti Rapih, Yogyakarta. Saya terbiasa memangggil beliau dg "Pak Bakdi," ketika saya masih mahasiswa 30an tahun lebih yg lalu. Bersama alm. Prof. Dr. Umar Kayam (Pak Kayam), Pak Bakdi adalah seorang sastrawan dan guru yang saya kagumi, baik ketika masih di Yogya maupun setelah di luar sampai sekarang. Bagi saya pribadi, Pak Bakdi adlh sosok cendekiawan dan seniman yg rendah hati, terbuka, akrab dg mahasiswa, berintegritas tinggi, dan yg punya sense of humor yg luar biasa. Sebagai penulis, baik sastra maupun non-sastra, beliau sangat produktif serta kreatif, sehingga julukan sebagai "Penjaga Kesusastraan Indonesia" sangat pas dianugerahkan buat beliau. Bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya dalam dunia kesusateraan dan pendidikan tinggi. Selamat jalan Pak Bakdi...Rest In Peace..

(http://edukasi.kompas.com/read/2014/10/11/07292391/Prof.Bakdi.Soemanto.Berpulang)
Share:

Friday, October 10, 2014

KMP DAN "BACKLASH" AKIBAT STATEMEN HASHIM

Pernyataan Hashim Djojohadikusumo (HD) yg awalnya dimuat di koran ' The Wall Street Journal' (WSJ) dan ditujukan kepada Presiden terpilih Jokowi dan Pemerintahannya nanti, ternyata menuai respon publik di tanah air yang pada umumnya negatif dan merugikan pihak Koalisi Merah Putih (KMP). Dan karena negatifnya itu, pihak KMP, baik secara kolektif maupun masing-2 parpol anggotanya, rame-rame bersuara menolak ikut mengamini omongan HD. Setelah PAN, Golkar, PKS, PD, dan PPP, kini Gerindra (partai dimana DH adlh Waketum Dewan penasehatnya) pun ikut menyatakan bhw omongan DH itu adlah pribadi dan tdk mewakili KMP. Fadli Zon (FZ), politisi paling vokal dari Gerindra dan Wakil Ketua DPR yg baru, bahkan terkesan harus memberi penafsiran yg "mbulet" thd omongan HD agar agak enak didengar dan dibaca publik.

Apa lacur, omongan HD kini telah menuai reaksi negatif dari publik Indonesia, sebagaimana kita lihat di media umum maupun jejaring sosial. Kini, seperti kata pepatah "mulutmu adalah harimaumu", DH dan KMP sedang menghadapi pukulan balik atau "backlash" dari publik dan tentu saja dari kubu lawan, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Presiden terpilih Jokowi. Untuk itu, strategi komunikasi publik yg dipakai oleh KMP adalah: 1) Mengambil jarak dari DH; atau 2) Membuat tafsir sedemikian rupa agar omongan DH kedengaran positif. Sayangnya, baik strategi nomor 1 maupun nomor 2, tampak tidak cukup efektif. KMP belum mampu menghindari kecurigaan publik tentang adanya semacam konspirasi untuk menggagalkan atau setidaknya menjegal Presiden Jokowi dan pemerintahnya ke depan. Namanya saja kecurigaan, tentu tidak boleh ditelan mentah-mentah sebagai fakta. Namun dalam dunia politik, kecurigaan adalah sebuah keniscayaan yang selalu ada dan harus diwaspadai jika tidak ingin terjebak dalam kesulitan dan persoalan yang bisa mengancam eksistensinya.

Ada berbagai alasan kenapa kecurigaan akan adanya konspirasi utk menggagalkan/menjegal Pemerintah Jokowi itu muncul: 1) Masih kuatnya kesan belum legowonya pihak KMP, khususnya Gerindra, menerima kekalahan dalam Pilpres yg secara hukum sudah dianggap selesai; 2) Masih kuatnya personalisasi konflik politik di antara para elite politik dari kedua kubu, KMP dan KIH; 3) Ingatan publik terhadap peristiwa-2 politik di masa lalu terkait konflik antar parpol dan tokoh-2nya, seperti pemakzulan terhadap Presiden ke 4, alm. Gus Dur; dan 4) Masih bercokolnya para politisi yg memiliki rekam jejak ekonomis dalam kejujuran alias suka plinplan dalam ruang politik formal (parpol, parlemen, pemerintah, dll).

Walhasil, statemen DH yang mungkin merupakan pandangan pribadi ybs kini telah berubah menjadi semacam rujukan atau reference dalam wacana dan praksis politik pasca-Pilpres setidaknya dalam 5 tahun ke depan. KMP boleh saja menikmati keunggulan dalam manuver-2 politik di Parlemen, tetapi dalam politik wacana dan merebut simpati publik, bisa jadi ia telah mengalami kekalahan cukup serius yg bisa menggusur capaian tsb. Yakni tumbuhnya pandangan publik yang kurang simpatik thd KMP yang dengan mudah akan berkembang. Apalagi jika dalam dinamika politik ke depan, kecurigaan thd adanya agenda konspiratif thd Pemerintahan Jokowi ternyata didukung bukti-2 yg valid berupa kiprah para tokoh dan politis KMP!


Simak tautan ini:

http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/10/10/08175881/fadli.zon.pernyataan.hashim.bukan.mewakili.koalisi.merah.putih
Share:

Thursday, October 9, 2014

MEMAHAMI "KETIDAK-PAHAMAN" JOKOWI THD PEMIKIRAN HASHIM DJOJOHADIKUSUMO

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menyatakan tidak paham dengan pemikiran Hashim Djojohadikusumo (DH), Waketum DPP Gerindra dan adik Prabowo Subianto (PS), yg konon akan menggunakan kekuatan untuk menginvestigasi dan menghambat pemerintahan Jokowi. (http://hariansinggalang.co.id/hashim-bilang-ada-harga-yang…/). Presiden Jokowi bahkan bilang dirinya "... nggak ngerti pemikiran seperti apa kalau seperti itu. Ada jegal-menjegal, ini untuk rakyat dan negara. Ini bukan untuk kepentingan Jokowi..."

Benarkah Jokowi tidak paham dg statemen DH? Bisa jadi demikian. Namun ketidak pahaman beliau, dalam pemahaman saya, punya nuansa dan makna yg tidak sederhana. Ia adalah "sanepo" atau "pasemon" alias kritik halus. Bagi orang yg paham bahasa Jawa, kata "ora ngerti", jika diletakkan dalam konteks tertentu justru bisa bermakna sebaliknya: pihak yg tidak dimengerti itulah yg sebenarnya bermasalah. Dengan kata lain, menurut Jokowi, DH justru yg tidak paham dengan masalah ketatanegaraan karena pemikirannya yang kontradiktif dengan tujuan bernegara. Dalam pemikiran Jokowi, urusan bernegara harus melampaui urusan/kepentingan kelompok, partai, golongan, apalagi kepentingan pribadi-pribadi. Jika DH dan kubu KMP bermaksud memakai kekuatan yg dimilikinya utk menginvestigasi dan menghambat pemerintahan Jokowi, maka berarti tujuan keduanya berlawanan dengan tujuan dan etika bernegara. Kekuatan oposisi, dalam sistem demokrasi yg dianut oleh Konstitusi RI bukanlah itu, tetapi sebagai parter dan sekaligus pengawas pihak yang berkuasa agar kepentingan rakyat, bangsa dan negara dapat diselenggarakan dengan baik dan tepat.

Sementara itu dalam kerangka berfikir HD, politik dan kenegaraan tak terlepas dari kepentingan partai, koalisi partai, dan bahkan pribadi-pribadi. Maka jika HD bicara tentang "ada harga yang harus dibayar..", bisa dimaknai bhw Jokowi dan PDIP diminta bertanggungjawab terkait proses dan hasil pergulatan politik sebelum dan pasca-Pilpres yg bermuara pada konstelasi politik di Parlemen saat ini. Semua orang tahu, misalnya, pihak HD berkontribusi besar bagi keberhasilan Jokowi dan Ahok saat mereka menjadi cagub dan cawagub DKI. Bukan saja terkait dukungan politik partai Gerindra kepada PDIP, tetapi juga dukungan finansial bagi kedua calon tsb. Pencapresan Jokowi yang kemudian disusul dengan kekalahan PS dalam Pilpres 2014, tentu merupakan pukulan berat dan bahkan sikap 'penghianatan' yg dilakukan oleh Jokowi maupun PDIP. Jokowi dan PDIP dianggap tidak menepati janji: Pihak pertama tdk menyelesaikan tugas sebagai Gubernur selama 5 th, sedang pihak kedua malah mengajukan Jokowi sebagai capres yang menjadi pesaing (dan mengalahkan) PS. Implikasi dari proses demikian tentu tidak bisa diabaikan dalam politik dan kenegaraan di depan.
Pertarungan dua paradigma berfikir ini tampaknya akan ikut mewarnai wacana dan praksis perpolitikan Indonesia yang akan datang. Para penyelenggara negara dan rakyat Indonesia, sebagai pemangku kepentingan utama dalam kehidupan bernegara, sudah seyogyanya memahami implikasi pertarungan ini bagi perkembangan bangsa dan negara. Ini berarti pula bhw keterlibatan dan kepedulian mereka thd perkembangan politik akan sangat menentukan apakah Indonesia akan aman dan damai serta produktif, ataukah sebaliknya penuh dengan gonjang-ganjing dan berbagai kerawanan...

Simak tautan ini:

http://politik.rmol.co/read/2014/10/09/175189/Jokowi-Heran-dengan-Pemikiran-Adik-Prabowo-
Share:

POLRI DAN AKSI DEMO FPI DKI

Cukup melegakan bhw Polri akhirnya berhasil memroses salah satu pemimpin demo FPI di Balaikota DKI, yg diwarnai kekerasan dan perusakan property publik. Kapolda DKI dan Kabareskrim Polri patut diacungi jempol dan didukung seluruh warga masyarakat karena upaya keras mereka utk menuntaskan masalah ini. Ketegasan dan kepemimpinan seperti ijilah yg semestinya dumiliki oleh Pemerintah dlm menghadapi virus 2 pencipta keresahan dan kerusakan di masyarakat dg menggunakan isu agama Islam.

Habib Novel  Bamukmin (NB), sang pemimpin demo tsb, faktanya menyerahkan diri kepada Polri. Tetapi fakta pula bhw ia sempat buron bbrp hari sehingga Polri mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) atas namanya. Artinya penyerahan diri NB dilakukan stlh Polri melakukan pengejaran dan pencarian intensif thdnya. Dukungan publik juga sangat kuat agar Pemerintah dan aparat berani bertindak dan bila perlu membubarkan ormas yg satu ini.

Polri masih harus terus didorong dan didukung oleh publik agar konsisten menghadapi ulah pendemo FPI yg sarat kekerasan kendati dlm kasus DKI ini telah menunjukkan kesigapan dan  ketegasan. Tetapi ini bisa jadi karena adanya faktor anggota Polri yg ikut menjadi korban kekerasan pendemo. Seandainya tidak demikian, mungkin saja gerak cepat ini tdk terjadi seperti dlm berbagai peristiwa demo kekerasan FPI sebelumnya di beberapa daerah. Polri mesti menyadari bhw kekerasan tdk pilih2 tebu jika telah terjadi dan tdk segera dihentikan. Wibawa Polri ikut menjadi taruhan manakala para pelaku kekerasan bisa semaubya dan seakan2 berada di atas hukum!

Demikian pula pengawasan publik hrs dilakukan thd proses hukum yg sedang terjadi thd NB. Sebab bisa saja Polri akan mndpt tekanan dr luar maupun dr dalam sendiri agar bersikap lunak atau bahkan hanya formalitas saja ketika memeriksa NB. Jika perlakuan Polri lunak thd pelaku kerusakan dan kekerasan, tebtu akan menurunkan kepercayaan publik thdnya. Pdhl mslh kepercayaan publik ini adlh salah satu problem utama yg dihadapi Polri dlm bbrp tahun belakangan.

Sambil menunggu dan memantau kiprah Polri dlm menghadapi FPI, kita juga terus menyuarakan kegeraman moral thd para pelaku kekerasan di dlm masyarakat. Apalagi thd pelaku kekerasan yg berdalih mewakili agama dan kepentingan ummat beragama.

 Simak tautan ini:


http://m.okezone.com/read/2014/10/08/338/1049892/akhirnya-pentolan-fpi-habib-novel-menyerah
Share:

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS